Semua orang yang merupakan tamu dari papa angkat Allesio sudah pergi, sekarang Allesio kecil benar-benar akan tinggal di sini bersama kedua orang tua barunya dan juga seorang adik perempuannya.
Allesio terdiam sambil duduk di sofa ruang tamu rumah milik keluarga barunya ini. Tidak melakukan apa-apa dan termenung, hal itu malah membuat Allesio akhirnya sadar dengan perasaannya yang ternyata sedang tercampur aduk ini.
Mungkin, akan ada banyak perasaan sakit lain yang akan Allesio rasakan seiring berjalannya waktu. Mungkin, bukan hanya mereka saja yang akan mengejek atau menghinanya. Akan ada banyak orang yang sangat tidak setuju dengan keputusan dari papanya. Akan banyak orang yang merasa iri padanya dan memutuskan untuk menjatuhkannya.
Allesio harus berusaha untuk keras kepala dan tahan banting, ia juga tidak boleh mengeluh. Kalau papa meminta Allesio melakukan sesuatu, maka Allesio akan melakukannya. Kalau papa meminta Allesio bisa, maka ia harus bisa dan memberikan semuanya melebihi apa yang papanya harapkan.
Papa bukan hanya menyelamatkan dirinya, papa juga menyelamatkan seluruh keluarganya sejak kecil. Panti asuhan bobrok yang sudah menjaganya bertahun-tahun. Ia harus pandai mengucapkan terima kasih dengan cara menjadi pengganti Ryu dengan baik.
Huft! Kalau dipikir-pikir, jika Ryu masih ada mungkin dia tidak akan ada di sini. Tidak bisa makan enak, mengunakan baju bagus atau juga seperti menonton TV besar yang ada di hadapannya sekarang ini.
Tiba-tiba dadanya terasa sakit, perih sekali. Apa ia boleh menyayangi keluarga ini? Apa ia boleh berharap kalau keluarga ini nantinya akan menyayanginya? Apa ia boleh berharap kalau keluarga ini tidak akan pernah menyakitinya?
"Allesio, sekarang sudah malam, lebih baik kau kembali ke kamarmu dan tidurlah!" seru papa Allesio kepada anaknya itu. Papa Allesio terdiam saat melihat Allesio yang sepertinya sedang termenung.
Allesio sebenarnya sejak tadi tidak berpindah dari sana, sibuk duduk di atas sofa ruang tengah rumah mereka dan hanya diam saja. Papanya pun mulai merasa khawatir. Bukankah keluarga papanya sudah membuat pendekatan yang nyaman dengan anak laki-laki barunya ini, kenapa Allesio malah terlihat murung seperti ini?
Jujur, wajah Allesio memang datar seperti biasa, hanya saja sorot matanya berbeda. Seperti ada kesedihan di sana. Apa mungkin Allesio merindukan rumahnya? Panti asuhan yang sekarang sudah menjadi milik keluarga Raesha itu?
Papa berjalan mendekati Allesio. Duduk tepat di samping Allesio duduk. Lalu, ia pun sedikit menyenggol tangannya anak laki-lakinya itu.
Tatapan Allesio berpaling ke arah papanya. Jujur, Allesio baru sadar kalau papa ada di sampingnya.
"Tunggu, sejak kapan?"
"Sudah agak lama. Mungkin 2 menit," jawab papa Allesio asal. Allesio hanya menganggukkan kepalanya mengerti.
"Kau belum mau tidur? Apa kau harus beradaptasi dulu dengan rumah ini?" tanya papa Allesio penasaran. Allesio mengelengkan kepalanya. Rumah ini sudah sangat lebih dari cukup dengan apa yang Allesio harapkan dan doakan selama ini.
"Kamarmu! Bagaimana dengan kamarmu? Aku sendiri yang mendesainnya. Aku yakin kau suka warna abu-abu seperti itu. Aku yakin kau menyuka—" Papa terdengar sangat antusias saat membahas mengenai kamar baru Allesio. Papa juga terlalu banyak bicara malam ini. Papa menceritakan banyak hal mengenai kamar baru miliknya. Dari warnanya, pemilihan barang-barang, baju dan berbagai macam lainnya.
"Apa kamar itu dulunya adalah kamar Ryu?" Pertanyaan itu langsung lolos dari mulut Allesio. Mata Allesio membulat, apalagi setelah ia melihat ekspresi sedih dari wajah papanya. bodohnya kau, Allesio!
Ibu yang kau tidak tahu wajahnya saja akan membuatmu terasa sedih jika ada seseorang yang membahasnya, apalagi Allesio malah membahas Ryu yang merupakan anak kesayangan dari papanya.
"Iya, kau benar! Tapi, semua barang-barang di sana adalah barang-barang baru. Semuanya adalah milikmu," Jawaban papa sama sekali tidak membuat Allesio kecil puas. Persetan dengan barang-barang, ia hanya tidak mau dijadikan pengganti Ryu.
Ryu adalah Ryu. Allesio adalah Allesio.
Saat Allesio ingin mengatakan sesuatu, lidahnya malah terasa keluh. Tidak ada satu katapun yang terlintas di pikirannya. Tidak ada hal yang ingin ia sadari untuk merasakan rasa sakit yang lebih parah dari ini. Karena sebenarnya, dadanya sudah merasakan rasa sesak itu.
Tunggu, apa ini pengaruh dari jantung barunya itu? Apa mungkin jantung itu meminta untuk keluar dari tubuhnya karena tidak cocok dengan dirinya? Apa Ryu marah karena Allesio mengunakan jantung ini dan mengambil semua kebahagiaan Ryu?
"Tidak ada yang akan menghakimimu karena kau harus mengganti Ryu. Kau anakku dan kau bukan penggantinya. Kau adalah kau dan Ryu adalah Ryu," Rasanya Allesio ingin tersenyum saat papa mengatakan hal itu, tapi papa tidak sadar kalau semua hal yang papa lakukan malah membuat Allesio makin berpikir kalau dirinya hanyalah pengganti seorang Ryu.
Papa Allesio langsung memeluk Allesio erat, Allesio tidak membalasnya. Jika Allesio balas memeluk, mungkin ia tidak akan bisa lepas dari rasa sayang sekaligus rasa bersalah.
"Ayo, tidur! Sekarang sudah malam dan kau harus berisitirahat, anakku,"
Andai Allesio punya papa dan mama. Apa mungkin rasanya akan sebahagia ini?
***
"Kau juga merebut semua hal yang seharusnya dimiliki kak Ryu! Kau juga memanfaatkan keluargaku untuk mendapatkan seluruh harta ini?! Aku tidak usah menyebutkan kenyataan bahkan kau juga memanfaatkan tuan besar Raesha agar kau bisa cepat kaya dan membeli apapun yang kau mau, kan?!" Kata-kata dari Nero memang benar-benar sudah keterlaluan.
Mata Allesio membelak. Nero dan kakaknya tidak ada bedanya, selalu berpikiran negatif mengenai dirinya.
Seharusnya mereka sadar, Allesio lah yang menjalani perusahaan ini selama lebih dari 3 tahun, malah di tahun sebelumnya Allesio harus belajar banyak hal dari papanya. Sementara mereka malah asik dengan dunia remaja mereka.
Sibuk berpacaran, sibuk bermain dengan geng tidak jelas, sibuk mempermainkan wanita di luar sana. Masih lebih baik seorang Allesio yang harus mengganti seluruh hidupnya dengan belajar dan menjadi seorang Raesha yang tidak memiliki kekurangan apapun.
Sementara itu, setelah mendengar apa yang dikatakan laki-laki itu, Mata Yasa membulat nyalang. Yasa naik pitam. Amarahnya mungkin tidak bisa ia bendung lagi. Seorang laki-laki yang bisa dibilang baru beranjak dewasa ini dengan mudahnya mengatai orang lain dan melukai perasaannya. Sungguh! Yasa tahu kalau Allesio kuat, tapi ada rasa tidak terima ketika ada seseorang yang dengan tega menghina sahabat sekaligus bosnya itu.
"Tuan muda Raesha, tutup mulut an—"
"Yasa!!"
Nero langsung berbalik ke arah Yasa dan menatapnya marah.
"Berani kau mengatakan hal tidak sopan seperti itu kepadaku? Kau mau membelanya? Ah, sesama orang miskin, kalian pasti sudah berbagi perasaan dan saling mengerti satu sama la—"
"Cukup, Nero!"
***
Bersambung