Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Serigala Merah

🇮🇩DaoMaoThomas
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.5k
Views
Synopsis
Orlando, anak kecil yang dulunya berbahagia dengan keluarganya. Perlahan tapi pasti ia tahu keluarganya akan buyar. Sepeninggal keluarganya, ia menapakkan kaki ke dunia baru tanpa ia ketahui. Sendiri, pemurung, pendiam, kesepian melandanya. Ia melaksanakan tugasnya tanpa banyak bantahan. Dan selalu kembali dengan hidup untuk seseorang.

Table of contents

Latest Update2
Bab 22 years ago
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1

Entah kenapa hari ini terasa berbeda.

"Ayah pulang!" seru ayahku membuka pintu rumah. Di belakangnya ada seorang lelaki. "Coba tebak, ayah dapat promosi jadi kepala kantor!"

"Selamat datang ayah!" sambutku dan ibu di pintu depan. "Berarti jadi dong kita masak ikan panggangnya. Kebetulan sekali ibu sudah beli. Terus tadi Orlando dapat penghargaan olimpiade catur yah!"

"Wah senangnya. Selamat ya," ayah mengelus kepalaku. Begitu juga ibu wajah mereka berdua kelihatan senang. Sebagai hadiah atas prestasi dan pesta karena ayah dapat promosi. Ayah dan ibu memasak ikan panggang. Makanan kesukaanku dan ayah. Ayah datang bersama temannya.

"Halo Orlando, selamat atas kemenanganmu dari Haruka," ucap Pak Hakamichi rekan bisnis ayah. Ia membuka kotak manisan. "Kamu mau?"

"Terima kasih, sama-sama Paman Hakamichi," balasku sambil menyalaminya dan mengambil satu manisan. Orang ini aneh daritadi dia tersenyum menyeringai padaku.

Kukira keluarga kami terus bahagia. Hingga tempat ayah bekerja mengalami kebangkrutan dan karyawannya di PHK. Ayah lebih sering mabuk-mabukan dan memukuliku serta ibu. Beliau jadi sering marah dan merusak barang di rumah.

"Hari ini kita akan pergi Ando," ucap ibu mengemasi barang-barangku dan barang-barangnya. Disaat ayah pergi keluar untuk membeli minuman keras. Aku dan ibu menyelinap kabur.

Kami kabur menuju rumah yang dibeli ibu yang terletak di kota pesisir yang berjarak 4 daerah dari rumah kami yang lama. Menggunakan kereta kami kabur ke sana. Kami hidup cukup baik-baik saja awalnya.

"Ando, jangan khawatir. Ibu yang akan mencari uang," ucapnya suatu malam ketika aku tidur. Yang dimaksud ibu mencari uang adalah ia menjadi seorang pelacur di bar guna menghidupi kami berdua.

Kehidupan sekolahku berjalan lancar. Setidaknya aku berhasil mengenyam pendidikan SD dengan baik dan lulus. Masalah mulai muncul ketika aku mulai menginjak bangku SMP waktu kelas 8. Ayahku muncul kembali.

Ketika aku pulang. Kulihat ayah dan ibu bertengkar dengan hebat. Ayah membentak ibu dan menyuruhku keluar membeli botol minuman keras. Karena ketakutan aku berlari keluar membeli minuman keras.

Ayah berusaha menggauli ibu. Ia mencengkram keras lengan kananku. Karena tidak tahan aku memukulkan kresek plastik yang ada di tangan kiriku berisi botol minuman keras ke kepala ayahku. Ayahku pingsan, ibuku menyuruhku lari keluar memanggil bantuan.

Namun, ketika aku kembali. Mobil polisi dan ambulan terparkir di depan rumahku. Beberapa petugas polisi memasang garis polisi di rumahku. Warga berkerumun di sekitar rumahku.

Aku menerobos garis polisi dan masuk ke ruangan tempat ayah dan ibuku bertengkar. Ayah tewas bersimbah darah, ibu tewas gantung diri. Pecahan botol kaca ada di mana-mana.

Ada sebuah wasiat di meja. Seketika juga hatiku terasa sakit dan sesak. Aku berteriak sekeras-kerasnya. Petugas memeriksaku dan membawaku pergi ke rumah sakit karena luka memar di wajah dan tubuhku.

Selama dirumah sakit. Aku bertemu Haruka, anak yang aku lawan di olimpiade catur sebelum semua tragedi ini terjadi. Seorang gadis seumuran denganku. Ditempatkan di ruangan yang sama denganku. Ia mengajakku berkenalan. Kami bertukar cerita kami. Ia sama denganku keluarganya tidak peduli akan dirinya. Ia sudah biasa sendirian di rumah sakit ketika sakitnya kambuh. Orang tuanya hanya menyuruhnya pergi ke rumah sakit sendirian lalu mereka membayar pengobatannya.

Suatu hari, perawat datang kepadaku diikuti seorang pria yang kukenal wajahnya. "Selamat, kami telah menemukan seseorang yang akan mengasuhmu. Beliau ini orangnya."

Perawat menunjuk kepada Pak Hakamichi yang berada di belakangnya. Haruka memalingkan wajahnya dari Pak Hakamichi. "Haruka, sepertinya kamu telah bertemu dengan teman main barumu."

"Mulai hari ini kamu tinggal bersamaku, Orlando," ucapnya mengelus kepalaku. "Haruka, harusnya kamu bilang jika pengobatanmu selesai. Ayah akan menjemputmu lebih cepat."

Haruka terdiam tanpa suara. Aku hanya terdiam saja ketika Pak Hakamichi membawaku dan Haruka pergi. Kami menuju rumahnya, lebih tepatnya sarangnya.

Aku dirawat dengan baik oleh pelayannya. Beliau memberiku pakaian dan makanan yang cukup. Tapi hal itu tidak memberiku kebahagiaan. Raut mukaku sudah terbiasa dengan murung dan datar. Tidak ada lagi senyuman yang menghiasi wajahku kala itu. Kecuali saat aku bermain dengan Haruka. Hingga harus Haruka tinggal di tempat terpisah bersama ibunya karena Paman Hakamichi melakukan sesuatu.

Suatu hari, aku dipanggil untuk menghadap Pak Hakamichi. "Orlando, Anda dipanggil Tuan Besar ke kamarnya," panggil salah satu pelayannya. Aku menuju kamar Pak Orlando.

Hakamichi tersenyum menyeringai. Ia menyuruhku duduk di pangkuannya. Ia menyuntikkan sesuatu di leherku. Hal itu membuatku lemas tak berdaya.

Ketika aku sadar. Aku berada di sebuah ruangan gelap. Waktu itu sedang ada badai, kilatan petir membuatku dapat melihat sekilas apa yang terjadi pada diriku. Tanganku di tali. Dipakaikan baju pelayan perempuan serta wig hitam panjang terpasang dirambutku. Seseorang membuka pintu dengan kasar. "Disitu kamu rupanya. Hakamichi sialan."

Orang itu membawa pisau di tangan kanannya. "Penjilat matilah!" orang itu menyerangku. Karena tidak ingin mati. Aku secara refleks memposisikan tanganku yang tertali ke arah sabetan pisaunya. Sabetan pisau orang itu membebaskanku. Kutendang kemaluannya, kemudian merebut pisaunya, kutusukkan di perutnya. Orang itu masih hidup ketika aku mencabut pisau dari perutnya. Kugorok lehernya dan membuatnya tewas seketika.

Hakamichi muncul dari sudut ruangan. Tertawa dengan keras dan bertepuk tangan. "Sungguh merupakan bakat tersembunyimu!"

Beliau menggendongku pergi. Ia tetap tertawa dengan keras. Orang ini aneh, pikirku. Melihat orang mati kenapa ia tertawa keras? Sambil tertawa ia berteriak, "Pelayan! Bawa mayat orang itu keluar jadikan abu!"

"Bakat yang bagus. Kamu dapat membunuhnya dengan mudah serta wajahmu membuatmu dapat kabur dengan mudah!" ucapnya sambil mengelus kepalaku.

Ia menjilati sedikit cipratan darah di wajahku. Jujur saja, aku merasa takut dan jijik apa yang akan ia lakukan padaku. Apakah ia seorang homo? Atau psikopat yang haus darah. Aku pasrah mau diapakan olehnya toh aku juga berutang budi padanya.

Ia membawaku ke kantornya. Ia tetap tertawa dengan keras. Aku didudukkan di sebuah sofa. Diberi sebuah coklat batangan olehnya. Aku disuruh makan olehnya.

"Tak kusangka selain caturmu ada bakat lain yang hebat! Bakat dalam membunuh!" cerocosnya sambil mengambil sesuatu.

Aku tidak mempedulikannya. Setelah makan coklat itu aku meminta ijin untuk pergi. Namun, ditolak olehnya. Ia tetap menyuruhku untuk tetap tinggal.

"Sayang sekali jika bakatmu ini disia-siakan," ucap Hakamichi sambil memanggil pelayannya. "Mandikan dia. Lalu bawa kemari lagi."

"Kasihan kamu nak. Masih kecil sudah disuruh membunuh orang," pelayan mengucapkan itu ketika memandikanku. Aku tetap terdiam dan tenang.

"Pantas saja Nona Haruka menyuruhku untuk menjagamu," tambahnya sambil mengguyur badanku dengan air panas.

"Bisa keramas sendiri?" tanyanya. Aku balas dengan anggukan kecil saja. Kemudian mengkeramasi rambutku. Setelah itu pelayan mengguyurku lagi dan memasukkanku ke dalam bathtub.

"Mau kuceritakan sesuatu?" tanya pelayan sambil menunggu diluar. "Sembari menunggu mandimu selesai."

Aku membalas dengan anggukan saja. Pelayan itu mulai bercerita. Saat ia selesai bercerita aku keluar dari bak mandi. Setelah memakai bajuku. Pelayan itu mengantarku ke ruangan Hakamichi lagi.

Hakamichi menyuruhku duduk di pangkuannya lagi. Ia mengelus kepalaku dengan lembut. "Anak baik, kamu berhasil menyingkirkan musuh terbesarku menguasai ini."

"Hentikan elusanmu. Itu menjijikkan," tukasku ketika tangannya mengelus punggungku. Akhirnya aku mengeluarkan sepatah kata setelah beberapa bulan hanya berbicara dalam hati saja.

"Bisa bicara juga kamu rupanya!" serunya.

Ia mengambil kotak manisan. Menyetel sebuah film animasi di komputernya. Lalu kami menghabiskan waktu nonton film animasi di sana.

Setelah film usai. Hakamichi menyuruhku kembali ke kamarku untuk tidur. Sudah pukul 23:00. Pelayan mengantarkanku ke kamarku.

Keesokan harinya, Haruka datang ke kamarku, "Selamat pagi Orlando! Sepertinya kamu beristirahat dengan cukup. Ayo bermain catur lagi! Aku ada kompetisi nih!"

"Baiklah," jawabku sambil membantu Haruka menata bidak caturnya. Kami berdua berada di teras lantai dua.

"Ando, apakah ayah melakukan hal aneh-aneh padamu?" tanyanya.

"Tidak," jawabku sambil bermain catur.

"Bilang kepadaku saja jika ayah berbuat hal yang aneh. Aku akan membencinya lebih dalam lagi," katanya. "Bagaimana sekolahmu?"

"Cukup bagus juga, sebentar lagi kita lulus kan. Kamu daftar SMA di mana?" tanyaku.

"SMA 3 ***," jawabnya melangkahkan bidaknya lagi. "Kamu?"

"Aku tidak tahu," jawabku sambil melangkahkan bidakku. "Skakmat Haruka."

"Ah, lagi-lagi aku kalah. Lagi ayo main lagi," pinta Haruka sambil menata bidak catur. Pak Hakamichi menghampiri kami tanpa kami sadari.

"Wah Haruka, bermain ya?" ucapnya sambil mengelus kepala kami berdua. "Ando akan ikut aku untuk kusekolahkan secara khusus."

Haruka dan aku terdiam ketika Hakamichi ikut duduk bersama kami. "Selamat karena kamu keterima tes masuk SMA mu Haruka. Selamat juga untuk Ando yang berhasil melewati tes."

"Ayah kami tidak ingin diganggu. Bisakah ayah pergi atau kami pergi?" tanya Haruka langsung. "Mohon maaf ayah, aku hanya ingin bermain bersamanya saja."

"Oh silakan," Hakamichi pergi meninggalkan kami berdua. "Nanti temui aku Ando."

Separuh hari aku habiskan untuk bermain dengan Haruka. Haruka pulang kembali ke rumah ibunya. Aku menghadap Hakamichi di ruangannya.

"Berkemaslah. Besok akan kuantar kamu ke sekolahku," perintahnya.

"Sekolah seperti apa itu?" tanyaku penasaran.

"Sekolah khusus orang-orang yang berbakat," jawabnya sambil merokok. "Kamu punya bakat spesial. Sayang jika kamu menghabiskan waktu di sekolah biasa."