Chereads / Serigala Merah / Chapter 2 - Bab 2

Chapter 2 - Bab 2

"Orlando, kamu sudah siap?" tanya Hakamichi kepadaku. Kami berangkat menggunakan helikopter pribadinya.

"Tidak tahu," jawabku sambil naik ke dalam. Pelayan di luar menutup pintu helikopter kami. Ia memberi tanda kepada pilot kami untuk berangkat.

Jika dilihat-lihat lagi. Pilot kami bukan pilot biasa. Dari tampilan luarnya saja kalian bisa menyimpulkan ia preman, bukan pilot. Walaupun ia memakai setelan rapi. Ia tidak menyembunyikan tato naga di leher belakangnya.

Soal tato, kemarin Hakamichi memberiku satu di telapak tanganku. Sebuah tato naga yang melindungi bola naga. Untuk menutupinya, aku menggunakan sarung tangan putih yang dibelikan olehnya.

"Jangan merasa gugup Ando," kata Hakamichi sambil tertawa keras. "Kamu mempunyai bakat, jangan khawatir kamu ditindas di sana. Kamu tinggal menunjukkan bakatmu saja."

Dalam perjalanan, Hakamichi tertidur. Sementara aku mengawasi perjalanan kami. Dari sini dapat kusimpulkan kami keluar dari negara asal kami.

Kami terbang di atas hutan lebat. Kata Hakamichi hutan ini adalah fasilitas pribadinya. Fasilitas pribadi yang didapat dengan bantuanku. Bantuan membunuh saingannya malam itu.

"Itu sekolahmu," Hakamichi menunjuk sebuah sekolah di tengah hutan luas. "Bakatmu akan berguna di sana."

Helikopter kami mendarat di lapangan milik sekolah. Aku turun duluan lalu Hakamichi di belakang mengikutiku. Aku dituntunnya berjalan dan dia memegangi pundakku. Memasukkan sesuatu ke dalam saku bajuku. Dua orang bersenjata menghampiri kami.

Hakamichi berbicara menggunakan bahasa asing yang tidak kumengerti. Kedua orang itu mengangguk lalu membawaku pergi. Sebelum pergi Hakamichi memberi sebuah pesan, "Lakukan apapun untuk bertahan hidup di sini. Lakukanlah bakatmu tunjukkan kemampuan Serigala Merahmu."

Aku di bawa oleh dua orang penjaga itu menuju asrama. Di dalam ruangan ini ada 15 anak laki-laki yang beragam asalnya. Berbeda bahasa menghambat kami untuk berinteraksi.

Bel berdentang keras. Kami semua dikumpulkan di lapangan. Kami dilatih fisik berlari mengelilingi lapangan, halang rintang, beladiri. Setelah itu kami masuk ke dalam kelas untuk belajar.

Di dalam kelas pengajar kami bukan guru biasa. Ia membawa pistol di dalam setelan rapinya. Rupanya ia guru bahasa. Ia mengajarkan kami bahasa Inggris.

Seseorang masuk membawa jadwal untuk kami. Aku pahami dan baca jadwalnya. Jadwalnya sama seperti sekolah kebanyakan. Hanya ada latihan militer di pagi dan sore saja.

Sore hari setelah kami selesai pelajaran. Kami dilatih fisik untuk bertarung dengan boneka. Sebenarnya aku tidak ingin ikut. Namun, karena dipaksa aku ikut beladiri ini.

Ada satu gadis yang sangat energik dan super dalam mengeluarkan tenaganya. Di saat yang lain baru saja merusak satu boneka. Ia sudah menghancurkan 3 boneka latihan. Dia dan aku sama-sama mendapatkan apresiasi dari pelatih.

Pelatih membunyikan peluitnya. Kami disuruh istirahat sebentar sebelum lari lagi. Baru saja kami duduk sudah di suruh untuk lari keliling lapangan lagi.

Malam harinya kami mendapat jatah makan. Jatah makan yang diberikan mirip dengan jatah makan para tahanan. Aku duduk sendirian di pojok kantin. Aku sengaja mengasingkan diri dari mereka. Karena bisa saja mereka menghajarku nantinya.

Hal kurasakan dari tatapan mata mereka saat aku datang bersama Hakamichi. Mata mereka penuh iri melihatku bersama Hakamichi. Tiba-tiba gadis tadi siang duduk menghampiriku.

"Yohoo! Hei anak baru!" sapanya. "Jangan mengabaikanku."

"Aku bukan orang baru," balasku.

"Aku Sasha, siapa namamu?" tanyanya sambil memakan rotinya.

"Orlando," jawabku singkat padat dan jelas. Aku dengan cepat menghabiskan makananku dan kembali ke asrama. Selama perjalanan ke asrama, aku amati di sini ada siswa perempuan sebanyak 10 orang. Mereka dilatih bersama kami para laki-laki.

Di asrama ketika aku belajar materi dari buku. Materi yang kudapatkan bukanlah materi biasa. Melainkan materi dasar-dasar dalam membunuh, bertarung, merakit senjata, bom, racun.

TAK!

Seseorang melemparkan batu padaku. Aku tidak menggubrisnya. Salah satu anak laki-laki mendekatiku. Wajahnya nampak tidak senang ketika mendekatiku.

"You! Nyu gai! Fight!" ucapnya.

Aku menahan tawaku ketika mendengarnya mengucapkan bahasa Inggris dengan lucu. Aku tetap tidak menggubrisnya dan aku masih membaca bukuku. Orang itu melemparkan pisau ke arahku. Aku berhasil menangkapnya dengan mengapitkan buku tebal yang kubaca.

Aku mengambil pisau itu. Pisau ini asli, kenapa mereka membiarkan anak kecil memegang pisau asli. Kurasa bukan kecil tepatnya, kami seusia anak SMA. Orang itu mengeluarkan pisau lagi dari sakunya.

Orang-orang yang tadinya diam di asrama menyoraki musuhku. Ia memasang posisi menantang. Oh ini yang namanya yang kuat menindas yang bawah. Kupasang senyum palsu di mukaku. Kubuang pisau yang kupegang. Kudekati ia tanpa ada rasa ingin membunuh sekalipun.

Penonton terdiam, musuhku hanya diam melihatku berjalan mendekatinya. Ketika aku sudah dekat dengannya. Dekat sekali, seperti orang yang hendak berpelukan.

Aku mengayunkan pukulan uppercut. Musuhku mengelak ke belakang. Kutarik kaosnya kebelakang. Kusingkirkan pisau dari tangannya. Mengambil pena di sakuku dan menusukkannya ke lantai di dekat lehernya.

Orang itu gemetaran. Kini penonton bersorak untukku. Ada 5 orang yang diam saja. Berarti mereka temannya yang tak suka gerombolannya di kalahkan.

Mereka bangkit membawa pisau mereka masing-masing. Mereka menyerangku aku terkena sayatan pisau mereka. Tapi anehnya aku tidak merasa sakit. Walaupun aku yakin ada darah keluar dari luka. Aku tidak merasakan sakit.

Kuambil pisau milik musuhku tadi. Kulumpuhkan mereka semua dengan tusukan di perut dan paha mereka. Dua orang yang aku tusuk, sisanya mundur ketakutan.

Para penjaga datang. Mereka membawaku pergi untuk pemeriksaan fisik. Mereka juga mengobati yang terluka tadi.

"Oke jangan gugup. Ini pemeriksaan pertamamu kan? Sekarang coba duduk tenang di sana sementara aku mengecekmu," perintah sang dokter sambil menunjuk tempat tidur. Lalu aku dibius.

Beberapa jam berlalu. Pemeriksaanku selesai mereka tidak memberikan hasilnya padaku. Entah apa yang mereka lakukan tadi.

Aku dikembalikan ke asrama dengan sebungkus kue coklat. Aku tidak memakannya, kubagikan saja kepada yang lain. Mereka tampaknya ingin memakannya.

"Twerima kasih," ucap mereka saat kuberi kantong kue itu.

Kalau dilihat-lihat akulah terbesar nomer dua di sini. Musuhku tadi yang terbesar pertama. Kurasa mereka masih anak-anak.

Karena aku belum mengantuk. Kuputuskan untuk berada di atap sambil membaca. Di atap kutemukan gadis tadi. Ia melakukan hal yang sama.

"Selamat malam, er Ando," sapanya.

"Malam Sasha?" balasku.

Aku duduk berjauhan dengannya membaca bukuku tadi. Sasha menggeser posisinya mendekatiku. Aku menggeser lagi menjauhi. Terus berulang kali hingga akhirnya tempat duduk kami sangat mepet dengan pagar pembatas atap.

"Apa maumu?" tanyaku sambil meletakkan bukuku.

"Senyum dan perianglah. Aku jadi kesepian jika hanya aku yang periang di sini," jawabnya.

"Mustahil," balasku.

"Kalau begitu jadilah temanku?" tanyanya. "Kurasa kamu berbeda dengan yang lainnya."

"Baiklah," jawabku. Padahal aku benci memiliki teman. "Senang menjadi temanmu."

"Mari kita keluar tempat ini sebentar," katanya sambil mengambil bukuku dan menutupnya.

"Kemana? Penjaga nanti akan memarahi kita lho," balasku.

"Penjaga itu tidak memarahi kita. Mereka ditugasi mengawasi perkembangan kita," ucapnya sambil melompat dari pagar atap.

"Hei! Hei! Kau bisa patah kaki jika melompat dari sini!" seruku berusaha memegangi kakinya.

"Tidak bodoh!" balasnya. Ternyata ia melompat dari pagar sini mendarat di atas tutup tandon air yang berada di dekat asrama. Lalu menuruni tangganya dan lari menuju hutan.

"Sialan," umpatku sambil turun dan mengejarnya. Kukatakan alasanku keluar mengejar Sasha. Penjaga di lobby memberiku pisau untuk berjaga-jaga jika keluar ke hutan pada malam hari sambil tertawa.

"Sasha! Di mana kamu?" seruku memanggilnya. Ah, tenggorokanku terasa sakit untuk berteriak karena sudah lama tidak bicara.

SREET!

Aku menginjak sebuah jebakan tali gantung. Secara refleks kuambil pisau yang diberi penjaga tadi. Dengan cepat memotongnya lalu terjun dengan aman.

"Yah gagal," Sasha muncul dari balik semak-semak. "Ikuti aku!"

Sasha berlari ke dalam hutan. Aku mengejarnya dari belakang. Hutan ini ternyata penuh dengan halang rintang. Kami sampai di ujung tebing. Sasha terbaring terengah-engah di sana. Aku mendekatinya dengan nafas yang biasa saja.

"Mustahil kamu tidak merasa kelelahan," ucapnya sambil duduk. "Sini berbaringlah dan lihat ke atas. Jadikan ini motivasi untuk terus semangat."

Sasha menyuruhku tiduran di sampingnya. Aku melihat ke arah langit. Bintang-bintang bermunculan. Nampak indah dan cantik dari sini.

"Keren kamu tadi bisa melewati jebakan itu. padahal penjaga tidak bisa melewatinya lho," ucapnya sambil bertepuk. "Jika sudah pagi kita harus kembali. Itu aturanku Tuan Muda Manja Ando."

"Hoi siapa itu? namaku Ando," sanggahku.

"Kamu kan anak spesial yang dipilih oleh Tuan Hakamichi langsung. Kata Tuan Hakamichi, aku akan jadi partnermu nanti jika lulus," jawab Sasha.

"Aku akan kembali sekarang," aku berdiri dan masuk ke dalam hutan. Sasha mengikutiku dari belakang sambil mencoba bersiul.

"Sasha, hentikan siulanmu itu!" seruku. Ketika aku membalikkan badanku. Sasha memelukku dengan erat. Ia membisikkan sesuatu di telingaku.

"Terima kasih mau menjadi temanku," lalu ia berlari masuk ke arah asrama cewek.

"Apa-apaan dia itu," umpatku kesal. Aku menyimpan kembali pisauku. Penjaga mempersilahkanku masuk ke asrama cowok.