"Ceritakan padaku, ada apa sebenarnya? Semuanya tanpa terlewat," pinta Ratu pada Dion.
Saat ini mereka berdua berada di kantin rumah sakit. Ratu menginginkan kejujuran dari Dion.
Dion menyeruput minuman kalengnya. Menatap tajam ke arah Ratu. Seperti menimbang, apa yang akan dia ceritakan terlebih dahulu.
"Seperti yang sudah ku jelaskan, Nyonya koma karena penyakit kankernya. Penyakit yang sudah bertahun-tahun beliau idap tanpa banyak yang tahu. Hanya aku dan dokter tentu saja," kata Dion.
Ratu membuka mulutnya hendak menyela, namun Dion lebih dahulu mengangkat tangannya memberi isyarat agar Ratu mendengarnya saja.
"Aku mengenal Nyonya Nabila beberapa tahun yang lalu. Sekitar lima tahunan. Beliau orang yang baik, bahkan sangat baik. Aku sendiri heran bagaimana orang sebaik dia bisa mempunyai masalah yang pelik dengan keluarga yang tak satu pun peduli," sindir Dion yang membuat Ratu terhenyak.
"Pertemuanku dengan Nyonya pertama kali adalah saat beliau menolong ibuku. Dulunya aku cuma pelayan kafe biasa dengan gaji pas-pasan. Ibuku sakit keras dan aku tak mampu membawanya berobat. Saat sedang kritis, tanpa ada satupun kenalan yang mau membantu, Nyonya Nabila datang memberikan bantuan. Walau akhirnya ibuku meninggal karena terlambat mendapatkan pertolongan."
Dion menarik nafas panjang. Netranya sedikit berkaca.
"Tapi aku sangat berterima kasih pada Nyonya Nabila. Beliau yang bukan siapa-siapa justru lebih berhati mulia daripada mereka yang berstatus saudara. Bahkan Nyonya Nabila menawarkanku untuk melanjutkan kuliah. Tentu saja ku terima. Tapi saat itu juga aku bertekad untuk mengabdikan diri pada Nyonya."
"Padahal Nyonya sendiri bilang, tak perlu membalas budi. Bahkan mempersilahkan aku jika memang ingin mencari pekerjaan di luar. Tapi tidak, aku memilih bekerja dengan beliau. Sama seperti karyawan butik yang lain. Apa kamu tahu, sebagian besar karyawan butik seperti aku? Yang hidupnya ditolong oleh Nyonya dan diberi peluang untuk menjadi lebih baik," tutur Dion.
Ratu menggeleng.
"Nyonya sangat baik. Sangat royal. Menganggap kami pegawainya seperti layaknya keluarga. Tak segan mengulurkan tangan jika ada yang kesulitan. Beliau sering bilang, karena beliau kesepian. Hingga butuh banyak kehadiran orang-orang yang peduli padanya. Beliau ingin lebih bermanfaat untuk orang. Ketika keluarganya sendiri tak peduli. "
Dada Ratu terasa sesak. Seakan ada beban berat menghimpit di dalam sana.
"Lalu beberapa tahun lalu Nyonya di vonis kanker. Pukulan yang berat untuk beliau. Berobat kesana kemari tanpa support dari keluarga. Berusaha selalu terlihat baik-baik saja. Padahal beliau lemah. Beberapa kali harus dilarikan ke rumah sakit karena drop. Beliau terbaring lemah tapi sering disangka bersenang-senang denganku," cibir Dion.
"Saat-saat sakit, saat-saat terlemahnya, beliau selalu meminta salah satu dari kami membuntutimu, hanya untuk sekedar bisa melihatmu dari jauh. Lewat video yang kami kirimkan. Lalu beliau akan memuji betapa cantiknya dirimu, dan begitu sayangnya padamu," ujar Dion.
Pantas saja, Ratu sering merasa ada orang yang sedang mengawasinya. Dia pikir itu suruhan papanya.
"Tanpa kamu sadari, beliau juga yang selalu menutup skandal-skandal yang kau buat. Beruntung, beliau berteman dengan banyak kalngan atas. Beliau akan mendatangi orang-orang yang tersakiti dan memohonkan ampun atas namamu. Nyonya rela merendahkan diri agar kesalahanmu dimaafkan. Kalau tidak, sudah pasti hidupmu tak akan tenang karena teror yang mereka lakukan."
"Lalu tentang papamu, semua bukti kejahatan ada di tanganku. Semua tersimpan aman. Hanya menunggu waktu saja. Sampai ulang tahunmu ke 23 dan semua bisa terbongkar. Tapi semua tergantung keputusanmu. Apakah ingin memberikan hukuman setimpal atau tidak. Terhadap orang yang sudah menghancurkan hidup ibumu dan membunuh kakek nenekmu."
"Kenapa Nyonya tidak langsung membongkar kejahatan papamu? Karena Nyonya memikirkan dirimu. Takut kau menjadi pelampiasan amarah papamu. Takut papamu melukaimu. Karena Nyonya tahu papamu tak memandang bulu. Siapa yang menghalanginya untuk suatu tujuan, akan dihabisi."
"Nyonya ingin memastikan hidupmu baik-baik saja, walaupun tertekan, paling tidak itu tidak mengancam jiwamu. Makanya nyonya memilih mengalah dan mengorbankan perasannya sendiri. Hanya demi kau aman dan baik-baik saja."
Dion diam. Merasa penjelasannya sudah cukup untuk diterima Ratu. Ratu sendiri sudah mulai terisak. Menangisi derita yang menimpa mamanya.
"Kenapa Mama tidak jujur dari awal?" bisiknya.
"Karena jika Nyonya jujur, apa kamu akan bisa menekan rasa marah ke papamu? Tidak! Justru dengan sifat egoismu, kau bisa menghancurkan semua yang sudah disusun. Sebentar lagi ulang tahunmu yang ke dua puluh tiga. Hanya menunggu itu untuk menyelesaikan masalah yang papamu buat."
"Apa Mama akan baik-baik saja?" lirih Ratu.
Dion menggeleng.
"Kanker sudah menyebar ke organ penting beliau. Semua upaya pengobatan tak berhasil menekan pertumbuhan sel-sel kankernya. Hanya memperparah keadaan nyonya. Hidup Nyonya sekarang bergantung pada alat-alat penopang kehidupan. Dan entah bertahan sampai kapan. Dokter bilang, hanya mukjizat yang bisa menyelamatkannya," kata Dion.
Ratu semakin terisak. Rasanya sakit di hati. Menyadari kesalahannya terhadap mamanya. Dan sadar, tak ada waktu lebih untuknya bisa menebus kesalahannya itu.
"Berapa lama?"
Dion mengangkat bahunya. Terlihat ada beban di tatapan pemuda tampan itu.
"Tak akan lama," jawab Dion.
Dan Isak Ratu semakin pecah. Sakit, sakiittt sekali rasanya. Kenapa Tuhan tak pernah berpihak padanya?
Setelah tangisnya mulai reda, Ratu mengajak Dion ke kamar mamanya. Ratu ingin menghabiskan hari-harinya bersama Nabila. Sekalipun tak akan lama.
"Apa kau memberitahu papamu?" tanya Dion.
"Tidak. Dia sedang bersenang-senang dengan sekretarisnya," jawab Ratu.
"Cepat atau lambat pasti dia akan tahu. Apalagi jika kau absen dari perusahaan," cetus Dion.
"Mama yang terpenting untuk saat ini," sahut Ratu.
"Tapi kau harus tetap menjaga agar papamu tidak curiga. Jadi aturlah, bagaimanapun caranya. Sampai ulang tahunmu tiba, jangan membuat papamu mengetahui semua," saran Dion.
Ratu mengangguk.
"Masuklah. Aku akan pulang. Aku harus memastikan butik-butik dan usaha lain Nyonya tetap berjalan lancar. Aku akan kembali esok," kata Dion.
Ratu mengangguk. Lalu mengawasi punggung tegap Dion berlalu sampai menghilang dari pandangan. Dalam hati, Ratu berterima kasih karena Dion menjaga mamanya.
Kemudian Ratu pun masuk. Duduk di samping pembaringan mamanya. Menatap sendu ke arah wanita tangguh yang kini terbaring lemah itu. Berharap dengan kehadirannya, Nabila akan terbangun.
Sekali saja, Ratu ingin mendengar mamanya mengucapkan sayang. Dan begitupun dirinya, ingin menyampaikan kata maaf. Karena jika tidak, penyesalan akan selalu membayangi hidup Ratu.
"Ma, bangunlah. Apa Mama tidak benar-benar menyayangi Ratu, hingga tak mau memberi kesempatan untuk Ratu untuk bicara? Bangun Ma, Ratu butuh Mama. Ratu butuh Mama untuk menguatkan Ratu. Jika Mama pergi, siapa yang akan menyayangi Ratu? jangan biarkan Ratu sendiri, Ma."
Ratu menyampaikan segala keluh kesahnya. Namun, keadaan tak berubah. Semua masih sama. Tak ada jawaban, selain mesin deteksi jantung yang berbunyi teratur. Nabila masih enggan membuka matanya.