Langit malam tanpak sangat indah, terlihat bulan Purnama mulai menyinari bangunan-bangunan di kota yang tidak tersorot lampu jalanan.
Manusia memang mahluk yang unik, sebagian dari mereka memiliki sifat yang ramah dan peduli terhadap sesama. Namun siapa sangka dibalik keramahannya itu tersimpan masa lalu yang kelam.
"Katakan saja, Dev. Kau tidak perlu ragu, jika ada yang ingin tanyakan," Benjamin sambil tersenyum.
"Jadi begini, Ben. Aku ingin tahu, alasan apa yang mendasarimu menjadi seorang penyidik?" tanya Devon sedikit ragu.
"Haha …Hanya itu saja? Aku kira kau ingin bertanya apa," Benjamin tertawa cukup puas.
"Aku serius, Ben. Aku eh … hanya ingin tahu saja,"
"Maafkan aku, Dev. Huh … Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini tapi tidak ada salahnya jika aku menceritakan sedikit saja,"
"Kalau kau merasa keberatan … Tidak perlu memaksakan dirimu, Ben. Jika kau tidak mau menceritakannya,"
"Tidak apa-apa, Dev. Kau tidak perlu merasa bersalah, akan kuceritakan semua yang ku ingat,"
"Baiklah, Dev," Devon coba memperbaiki posisi duduknya.
"Jadi … Aku terlahir dikeluarga sederhana, ayahku merupakan seorang gypsy sedangkan ibuku asli dari prancis. namun saat itu terjadi insiden mengerikan yang membuat mereka mereka meninggal dunia dan saat itu aku baru berusia tujuh tahun.
Sampai beberapa bulan kemudian, datang seorang pria yang tiba-tiba mengangkatku sebagai anaknya, aku sangat senang saat itu, karena bisa merasakan makanan mewah untuk pertama kalinya dan mendapatkan kasih sayang seperti kedua orang tuaku dahulu. Aku belajar bertahan hidup, bertarung dan semua hal yang aku tahu saat ini berkat orang itu.
Aku tinggal bersamanya kurang lebih sekitar lima tahun sampai usiaku menginjak dua belas tahun, hingga suatu ketika ia pergi meninggalkanku karena ada urusan mendadak, aku memutuskan untuk menunggunya kembali, namun sudah tiga tahun ia tak kunjung kembali," tegas Benjamin.
"Lalu apa yang terjadi setelah itu?" Tanya Devon.
"Setelah itu? … Hmm … Setelah itu aku memutuskan untuk bekerja sebagai penjual koran keliling, penghasilannya aku gunakan untuk makan dan kebutuhan sehari-hari selama satu tahun lamanya sampai usiaku enam belas tahun.
Saat usiaku menginjak dua puluh tahun aku bertemu seorang gadis yang sangat cantik, dua tahun lamanya kami bersama, sampai kami memutuskan untuk menikah ditahun 1914 dan pada saat itu usiaku menginjak dua puluh dua tahun,"
"Aku tidak percaya kau sudah pernah menikah sebelumnya, Ben?" Devon sangat terkejut.
"Ya mau bagaimana lagi, Dev. Sudah menjadi hal yang tabu di negaraku untuk menikah di umur sebesar itu," ucap Benjamin.
"Apakah istrimu cantik?" tanya Devon sedikit tersenyum.
"Menurutku dia wanita tercantik yang pernah aku temui selama hidupku, sayangnya dia sudah tiada, Dev," ucap Benjamin sambil memberikan foto pernikahan mereka..
"Istrimu benar-benar cantik, Ben. Aku sangat iri denganmu. Tapi ngomong-ngomong apa yang terjadi dengan istrimu?" tanya Devon sambil kembali memberikan foto kepada Benjamin.
"Pernikahan kami hanya berjalan lima bulan, karena saat itu merupakan awal mula perang besar terjadi, akibatnya pemerintah di negara ku memerintah kepada setiap laki-laki untuk ikut andil dalam perang. Aku terpaksa meninggalkan istriku sendirian," ucap Benjamin.
"Terus bagaimana kau tahu istrimu telah tiada?" tanya Devon.
"Setelah berakhirnya perang di tahun 1918 dan ditahun 1919 aku memutuskan pulang ke Italia untuk menemui istriku, Namun sesampainya di Kota Roma yang kudapati hanya kenyataan pahit bahwa istriku sudah tiada, ia meninggal akibat pandemi yang berlangsung saat itu," ucap Benjamin.
"Pandemi? Maksudmu influenza yang berasal dari Spanyol itu?" tanya Devon.
"Yap … orang-orang biasanya menyebut flu Spanyol, aku tidak menyangka penyakit itu bisa tersebar begitu cepat, setelah itu aku memutuskan untuk menjadi penyidik di kepolisian, hingga akhirnya aku bisa berada disini,"
"Aku benar-benar tercengang mendegar masa lalumu yang begitu kelam, Ben. Namun masih ada satu hal yang masih mengganjal pikiranku?" tanya Devon. .
"Memangnya apa? Bukannya aku sudah menceritakan semuanya padamu?" tanya Benjamin.
"Alasan apa yang mendasarimu menjadi seorang penyidik?" tanya Devon.
"Astaga … Hampir saja aku lupa, aku tidak mengatakan padamu. Sebenarnya pekerjaan dari orang yang mengangkatku sebagai anaknya itu seorang penyidik, orang itu bernama Fransisco Calio, sejak aku bertemu dengannya pertama kali, disitulah aku sudah memutuskan untuk menjadi seorang detektif," jelas Benjamin.
"Hmm … Tapi biasanya kebanyakan orang yang memiliki masa lalu sama sepertimu justru membuat mereka terjerumus kedalam dunia kejahatan, kebanyakan dari para penjahat yang kami tangkap memiliki masa lalu yang kelam, hmm … Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku untukmu,"
"Sudahlah, Dev. Mungkin jika aku tidak bertemu dengan orang itu, nasibku akan sama dengan narapidana,"
Tak terasa waktu terus berjalan dan hari mulai bertambah gelap. Akhirnya Devon sadar bahwa tengah malam hampir tiba.
"Waktu berjalan begitu cepat, Dev. Hampir berjam-jam kita diam disini," ucap Benjamin.
"Lebih baik kita segera pergi dari sini, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam," ucap Devon tengah memperhatikan jam saku miliknya.
"Dimana Dovi? Sebelum pergi tidak ada salahnya untuk pamit padanya?" tanya Benjamin.
"Aku tidak tahu, Ben. Tapi aku rasa dia tidak akan kembali kesini dalam waktu singkat, sebaiknya kita segera pergi, waktu hampir tengah malam,"
"Tapi, Dev… "
"Dengarkan aku, Ben. Sebaiknya kita segera kembali, lagi pula bukankah kau harus melanjutkan kasusmu itu besok? Kau harus membutuhkan stamina yang cukup," ucap Benjamin.
"Kurasa kau benar, Dev. Sebaiknya kita pergi sekarang juga," ucap Benjamin.
Benjamin dan Devon memutuskan untuk segera pergi meninggalkan bar, mereka pergi tanpa sepengetahuan Baldovino.
"Maafkan aku, Dovi. Aku harus segera pergi tapi akan kutinggalkan ini disini untukmu sebagai rasa terimakasih ku," Benjamin sambil meletakan beberapa koin franc disamping gelasnya.
"Ayo, Ben. Kita pergi sekarang," ajak Devon.
Mereka segera meninggal area bar dan mulai memasuki kota Av-Rosal. Benjamin mulai menatap ke arah bulan, terlihat cahaya bulan purnama semakin terang menerangi kota.
"Aku tidak tahu kemana tujuanku saat ini?" tanya Benjamin.
"Aku tahu kau tidak punya tempat untuk tidur, tidak perlu khawatir, Ben. Untuk malam ini kau boleh tinggal di apartemenku,"
"Terima kasih banyak, Dev. Kau sudah mengajakku jalan-jalan dan sekarang kau memberikanmu tempat bernaung,"
"Tidak perlu dipikirkan, Ben. Aku hanya membantumu sebagai rekan kerja, itu saja,"
Akhirnya Benjamin memutuskan untuk menginap di apartemen milik Devon dan mereka segera pergi ke sana.
Singkat cerita pagi hari tiba. Ini merupakan hari kedua Benjamin menginjakkan kakinya di Kota Marseille, terlihat ia tengah bersiap-siap untuk melanjutkan kembali kasus pertamanya.
Tak lama mereka berdua sudah siap untuk berangkat ke kantor, mereka segera pergi dan memulai dengan menikmati jalanan di kota. Setelah beberapa saat, mereka tiba di kantor kepolisian. Terlihat Madeline berdiri di depan pintu masuk.
"Madeline? Apa yang kau lakukan disitu?" tanya Devon.
"Astaga, apa yang terjadi padamu, Ben? " tanya Madeline yang kaget melihat luka-luka di wajah Benjamin.
"Aku yang membuatnya seperti itu, Maddie. Aku mengajaknya jalan-jalan semalam namun siapa sangka kami harus berhadapan dengan sekelompok bandit, benar-benar mengejutkan," ucap Devon.
"Padahal kau baru satu hari tinggal disini, tapi kau sudah mengalami hal seperti ini, Ben. Benar-benar diluar dugaan," ucap Madeline.
"Sudahlah, Maddie. Kau tidak perlu khawatir seperti itu, luka seperti ini sudah biasa bagiku," ucap Madeline.
"Tapi apa kau yakin akan melanjutkan kasus ini dengan lukamu itu, Ben? Jika tidak, kita bisa menunggu sampai luka-lukamu sembuh," ucap Madeline.
"Maafkan aku, kawan-kawan. Aku tidak bisa lama-lama disini, aku harus segera ke ruanganku," ucap Devon.
"Silahkan, Devon. Oh ya aku benar-benar berterima kasih kau kau sudah membantuku kemarin," ucap Benjamin.
"Tidak perlu berterima kasih seperti itu, Ben. Seperti yang kukatakan kemarin, aku hanya membantu sebagai tekan kerja," ucap Devon.
Devon segera meninggalkan Benjamin dan Madeline, ia segera masuk ke kantor dan pergi ke ruangannya.