"Sepertinya kamu mendadak jadi terkenal, The."
Theana meringis mendengar ucapan Eliza. Ia merasa tidak nyaman dengan tatapan dari karyawan yang lain, bahkan mereka berbisik-bisik sambil meliriknya.
"Hah, lihat Tuan Putri kita sudah datang," ucap Keyra sambil bersedekap. "Hebat ya kamu bisa diterima kembali kerja di sini padahal kamu sudah mempermalukan bos."
Melihat Eliza yang tampak emosi Theana segera menariknya melewati tubuh Keyra yang berdiri angkuh.
"Aku jadi semakin yakin kalau kamu memang menjual diri pada atasan termasuk juga bos baru kita," ucap Keyra sambil tersenyum sinis.
Theana menghentikan langkahnya, kemudian dia berbalik menatap Keyra. "Mulut kamu sepertinya gak pernah disekolahkan ya?"
Kakinya berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Keyra. "Dengan pendidikan yang tinggi sepertinya percuma kalau kamu gak bisa menjaga sikap! Dan aku peringatkan sama kamu jangan menyebar fitnah, cari tahu dulu baru kamu boleh berkoar-koar di depan semua orang."
"Semua sudah jelas, tanpa bukti sekalipun. Pikir pakai logika, mana ada orang yang sudah melakukan berbagai macam kesalahan tetapi tetap diterima di perusahan besar. Kamu bahkan bukan siapa-siapa di sini!"
Hembusan napas kasar Theana keluarkan. Sebenarnya dia juga tidak tahu ada motif apa Aresh sampai masih mau menampungnya padahal ia sudah membuatnya malu di hari pertama pria itu masuk kerja.
"Kamu diam? Itu artinya kamu sudah mengakui kalau kamu memang murahan!"
Keyra tersenyum puas melihat Theana yang tidak sedikitpun membuka suara untuk membalas ucapannya seperti biasanya.
"Dapat informasi dari mana kamu kalau Theana menjual diri pada saya?"
Keyra tersentak dan menunfuk takut. Sial! Sepertinya dia salah memilih berurusan dengan bos barunya ini.
"Saya tanya sekali lagi, dapat informasi dari mana?"
"I-itu ... Mmm, maksud saya karena Theana sering menjajakan tubuhnya jadi bisa saja dia menggoda Anda ... Begitu maksud saya Pak," jawab Keyra gugup.
Theana yang mendengar itu ingin membuka suara untuk membalas omong kosong Keyra.
Namun sepertinya Aresh sudah lebih dulu melakukan itu. "Kamu pikir saya akan semudah itu tertarik pada dia?" tanya Aresh sambil menunjuk ke arah Theana yang tengah melotot.
"Bu-bukan begitu Pak, saya tahu selera Anda sangat tinggi jadi tidak mungkin Anda akan suka dengan dia."
Aresh menatap Keyra yang tengah tertawa canggung dengan datar. "Sekali lagi saya dengar kamu berkata seperti tadi maka silakan angkat kaki dari perusahaan ini."
Aresh berbalik dan menghiraukan berbagai macam tatapan dari para karyawannya. Mulanya dia ingin makan di sini sambil mendekatkan diri pada karyawannya namun yang ia dapatkan adalah penghinaan.
"Hahaha ... Hahaha ... Hahaha." Theana tertawa puas. Walaupun Aresh menyebalkan setidaknya dia bisa membungkam mulut Keyra.
"Makanya Keyra kalau punya mulut itu dijaga, nah sekarang kamu sendiri yang dapat masalah," ucap Eliza senang.
"Diam kamu!" bentak Keyra.
"Uuuu ... Aku gak mau diam, aku kan punya mulut jadi gak apa-apa kalau aku ngomong, lain ceritanya kalau aku gak punya mulut ya aku diam lah."
"Kamu!"
Theana tersenyum puas. "Jangan marah lah, kan ucapan Eliza benar."
"Kamu jangan senang, mentang-mentang bos membela kamu."
"Aku gak senang kok, aku sedih karena kamu dimarahi bos," ledek Theana yang kemudian tertawa tanpa suara.
Puas membuat Keyra emosi Theana dan Eliza duduk di kursi yang belum terisi dan memakan makan siang mereka.
"Wah, aku baru saja melihat drama yang sangat bagus."
Eliza yang melihat kedatangan Indra berdecak. "Jangan mulai deh."
"Apa?"
"Kamu mau meledek kita kan?"
"Kalau kamu merasa yaudah ... Kamu benar."
"Ish!" desis Eliza kesal.
*
Theana keluar dari kantor setelah keadaan cukup sepi, saat ini dia sendirian karena Eliza sudah pulang diantar Indra yang tentunya terdapat pertengkaran terlebih dahulu sebelum mereka pergi.
Sampai di depan matanya menemukan obyek yang cukup menarik. Theana terus memperhatikan sampai dia memiliki ide yang cukup gila. "Sudah saatnya aku membalas kamu dengan lebih sadis Keyra."
Theana menyeringai senang saat Keyra dan pria itu bercumbu mesra di tempat yang ramai tanpa tahu malu.
Karena terlalu fokus Theana sampai tidak menyadari Aresh berada di sampingnya. "Ada apa dengan senyum itu?"
"Ck, ternyata kamu," decak Theana terkejut. "Bukan urusan kamu."
"Gadis licik, aku tahu apa yang kamu pikirkan," ucap Aresh.
"Aku pikir kamu seorang peramal sampai bisa tahu apa yang aku pikirkan," ejek Theana dengan senyum tipis.
"Gak perlu untuk menjadi peramal untuk tahu rencana jahat apa yang ada di otak sempitmu," balas Aresh yang langsung berlalu dan meninggalkan Theana yang menggerutu.
"Dia pikir dia siapa berani menghina aku? Dia bahkan gak tahu berapa IQ ku. Kalau dia tahu pasti dia akan malu dan meminta maaf!"
"Memang berapa IQ mu?"
Theana menoleh. "Gak bosnya gak asistennya sama-sama suka ngagetin." Theana menatap Bayu tajam.
"Aku ingin tahu IQ siapa yang paling tinggi antara kau atau Tuan Aresh."
"Huh? Memang berapa IQ bosmu itu? Pasti berada di bawahku," ucap Theana meremehkan.
"Kamu pikir untuk menjadi CEO butuh IQ berapa? Dibandingkan dengan karyawan biasa seperti kamu."
Theana berusaha menahan emosinya dan berusaha memberikan senyum meski tampak sekali dipaksakan. "Menurutku IQ seseorang tidak selalu tentang siapa yang jabatannya lebih tinggi."
"Oke, kali ini saya setuju dengan kamu ...."
Theana tersenyum lebar. Akhirnya pria ini satu pemikiran juga dengan dirinya.
"Tapi untuk menjadi pemimpin tentu sangat dibutuhkan IQ yang tinggi, lebih tinggi dari karyawan yang biasanya."
Geraman Theana tertahan. Dia menatap benci pada Bayu. Ia merasa dipermainkan dengan kata-kata oleh pria itu.
"Sudah ya, sepertinya Tuan Aresh sudah menunggu lama. Lain kali saja kita membahas ini."
"Ish! Menyebalkan!" gerutu Theana.
Bayu masuk ke dalam mobil dan mulai melajukannya.
"Bagaimana?" tanya Aresh dengan tangan dan mata yang sibuk pada ponselnya.
"Persis seperti keluarga itu," jawab Bayu yang membuat Aresh tersenyum puas.
"Besok buat pertemuan dengan mereka untuk membahas tentang ini," perintahnya.
"Baik."
"Dan minta salah satu bawahanmu untuk mengawasinya, aku yakin dia akan nekat untuk mendekati kekasih wanita itu."
"Maksud Tuan pria yang di depan tadi?"
Aresh hanya mengangguk.
"Baik Tuan."
Sementara itu Theana sampai di kostnya. Namun dari kejauhan dia bisa melihat seseorang wanita berdiri di depan pintu dengan tatapan tidak bersahabat.
"Waduh," gumam Theana. "Pasti mau mau nagih bulanan nih."
Theana bingung antara harus kabur atau mendatangi Ibu pemilik kost. Di tengah kebimbangan ternyata Ibu kost itu sejak tadi sudah melihat keberadaannya.
"Sini kamu!"
"Mati aku."
Theana jalan pelan dengan rasa takut yang memupuk. "Hehe, Ibu udah lama nunggu? Silakan masuk."
"Gak usah basa basi kamu, bayar tunggakan kamu sekarang kalau gak kamu mending cari tempat lain."
"Eh, jangan begitu Bu. Em ... Bisa tolong kasih saya waktu?"
"Waktu, waktu, waktu! Kamu sudah nunggak lima bulan dan saya masih berbaik hati membiarkan kamu tetap tinggal di sini!"
"Tolonglah Bu, satu minggu cukup kok Bu. Saya janji akan melunasi semuanya."
"Benar ya kamu?!" tanya Ibu kost dengan tatapan tajam.
"Iya Bu."
"Oke satu minggu kalau gak kamu pergi saja."
Setelah itu Ibu kost pergi dan Theana bernapas lega karena tidak jadi diusir.