Axel kembali ke dalam istana menemui kedua orang tuanya dan juga istrinya yang sedang berkumpul di ruang tengah. Mereka sedang menikmati teh dan juga cemilan siang seperti biasanya. Axel duduk dan menunggu pelayan menuangkan the untuk dia, tak ada satu kata pun yang keluar, ia hanya duduk diam melihat cemilan di hadapannya.
Ayahnya mendengar jika dia baru saja dari ruang prajurit untuk melihat strategi yang dibuat oleh mereka. Ayah Axel pun berkomentar pedas dengan apa yang dilakukan oleh anaknya di ruang prajurit itu.
"Dari pada kau memikirkan perang, lebih baik memikirkan kerajaan."
"Apakah aku terlihat berniat untuk kembali ke medan perang?" jawab Axel.
"Lantas mengapa bersusah payah mengurusi mereka?"
"Jika salah satu kota di Nirwana jatuh ke tangan musuh, siapa yang akan disalahkan dan menanggungnya?"
Perdebatan kembali terjadi, Axel tampak sudah tidak tahan lagi dengan sikap ayahnya yang terus saja menyudutkan. Nada bicaranya pun sudah mulai meninggi, namun ia berusaha untuk tetap mengontrolnya.
Charlotte dan ibu Axel kembali tidak bisa berbuat apa-apa, perdebatan kali ini cukup berbahaya jika ada yang ikut campur, keduanya berada di emosi yang sangat maksimal. Charlotte pun hanya bisa menundukan kepalanya dan diam.
"Sudah, jangan berdebat lagi." Ibu Axel mencoba menenangkan situasi. "Axel akan naik tahta saat waktunya tiba, Yah. Saat dia menjadi raja juga pasti akan berbeda dari saat ini, jangan terus menyudutkannya."
"Jangan membelanya. Dia tidak akan berubah jika terus saja hanyut dalam perasaannya yang bodoh itu." Raja beranjak dari duduknya dan bergegas pergi dari ruangan tersebut.
Axel hanya terdiam melihat ayahnya pergi meninggalkan mereka. Rasa kecewanya tumbuh seiring langkah ayahnya menjauhi mereka.
Ibu Axel mengejar ayahnya untuk berbicara lebih dalam lagi. Jika terus seperti ini, mungkin saja Axel akan semakin tidak mau naik tahta menjadi raja. Namun, Charlotte berusaha untuk membuka pikiran Axel, ia juga tidak ingin misinya untuk menjadi ratu gagal karena keegoisan hati suaminya.
Perkataan paling ampuh untuk meluluhkan setiap anak adalah ketika membicarakan kematian orang tuanya, itulah yang dilakukan oleh Charlotte. Ia mengingatkan kepada Axel jika ayahnya sudah tidak muda lagi, mereka tidak akan tahu sampai kapan ayahnya akan bertahan menjadi raja dan memimpin kerajaan.
*
Axel kembali pergi ke danau untuk menenangkan hatinya, Charlotte yang khawatir mengikuti tanpa diketahui oleh suaminya. Ia ingin tahu apa yang dilakukan Axel jika sedang dalam suasana hati seperti ini. Mungkin saja, dengan seperti ini Charlotte akan lebih bisa memahami dan membuat nyaman.
Liontin yang membuat Charlotte gelisah kembali dikeluarkan oleh Axel. Ia tampak memandang dalam liontin itu dan menggenggam dengan erat. Charlotte pun kembali panas hati, tanpa pikir panjang dirinya menghampiri Axel.
"Apakah setiap ada masalah kau lari ke sini?"
Axel yang merasakan adanya pergerakan dari awal, sebelum Charlotte berbicara terdiam. Ia malas untuk berdebat dengan istrinya saat ini. Axel pun menyuruh Charlotte untuk pulang ke istana sebelum dirinya di cari oleh sang ibu.
"Tidak ada salahnya menemani suamiku, bukan? Apakah Ibu akan marah jika aku pergi bersamamu?"
"Aku ingin sendiri," jawab Axel.
"Saat ini aku ingin menjadi temanmu, bukan istrimu. Berbagilah apa pun denganku."
"Tidak segampang itu. Sudahlah, aku ingin pulang saja." Axel yang berdiri menghadap danau berbalik badan dan pergi menjauh dari Charlotte. Akhirnya, Charlotte pun mengikuti Axel karena dia juga tidak berani berada di luar istana sendirian.
Kali ini Axel tidak menyembunyikan liontinnya, ia masih memegang liontin itu sambil berjalan meninggalkan Danau. Charlotte kembali membahas liontin itu dengan apa yang telah diingatnya malam kemarin.
"Bukankah liontin itu adalah tanda cinta sepasang kekasih? Ibuku memiliki satu,"
"Cinta bukan hanya dengan kekasih saja, bukan?" Axel menjawab dengan nada datarnya. Sekali lagi, sikapnya menunjukan jika dirinya tidak ingin membahas apa pun tentang masa lalu atau sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya.
Charlotte yang menerima jawaban itu pun akhirnya bungkam, ia menyadari jika masih belum bisa menembus pertahanan suaminya untuk bercerita tentang wanita yang menduduki singgasana hatinya saat ini. Tapi, ia yakin, apa pun itu akan segera diketahuinya cepat maupun lambat, Charlotte hanya perlu untuk berusaha sedikit lagi.
*
Axel dan Charlotte sampai di istana sebelum makan malam, masih ada waktu untuk membersihkan diri dan bersiap dengan rapi sebelum menuju meja makan. Namun, kepanikan mulai terjadi ketika istana tidak seramai biasanya. Pelayan tidak terlihat di mana pun, dan dayang pribadi Charlotte, Anna, pun juga tidak ada.
"Ke mana semua orang?" ujar Axel.
"Anna juga tidak ada," balas Charlotte melihat Axel.
Axel bertanya kepada prajurit yang berjaga, dan prajurit mengatakan jika semua orang sedang berada di kamar raja. Raja tiba-tiba terjatuh dan tidak sadarkan diri, tabib sudah dipanggil dan sedang dalam perjalanan. Kepanikan dirasakan oleh semua orang, oleh karena itu mereka semua membantu ratu di kamar.
Mendengar penjelasan prajurit penjaga, Axel dan Charlotte pun berlari menghampiri raja. Mereka juga menjadi panik dan ketakutan mulai timbul, takut jika ada sesuatu yang tidak diharapkan terjadi begitu saja. Axel jadi tersadar, apakah ucapan-ucapan yang dilontarkan ayahnya sebelum ini adalah firasat yang dirasakannya? Axel tidak mau berpikiran buruk, karena itu akan menjadi beban bagi dirinya.
Sesampainya di kamar raja, Axel menemui ibunya, berusaha tenang, dan melihat ayahnya yang masih tidak sadarkan diri. Ibunya berlinang air mata melihat sang ayah terbaring, ia tidak menyangka jika ini tiba-tiba saja terjadi. Sebagai menantu Charlotte berusaha memberikan pundaknya kepada sang mertua.
"Tenanglah, Bu, ayah tidak akan kenapa-napa," ujar Charlotte.
"Axel, Ibu mohon kepadamu, dengarkanlah ayahmu, terimalah tahtanya, dan pimpinlah kerajaan." Sambil menangis sang ratu berusaha untuk membujuk anaknya.
Situasi ini seperti yang pernah dikatakan oleh sang ibu, Axel akan menjadi seorang raja jika sudah waktunya tiba. Ucapan ibunya itu juga dirasa seperti sebuah pertanda jika apa yang dialami oleh ayahnya akan terjadi. Ini baru tidak sadarkan diri, bisa saja ayahnya tidak ada secara tiba-tiba.
Axel menundukan pandangannya, ia merasa menyesal dengan sikap yang sudah diberikan kepada sang ayah beberapa waktu lalu. Axel pun berusaha merendahkan egonya dan menyadari jika dia juga harus memikirkan orang-orang disekitarnya. Ayahnya sudah cukup kecewa dengan apa yang sudah ia lakukan.
Axel berjalan ke ranjang ayahnya, ia berusaha untuk berbicara, meskipun ayahnya tidak mendengarkan sama sekali. Ia ingin ayahnya tahu jika dirinya akan menuruti apa yang akan menjadi keinginan sang raja. Axel ingin berbakti sebelum ayahnya bener-benar tiada dan meninggalkan dunia ini.
"Ayah, maafkan aku, aku seharusnya memikirkan dirimu yang ada di hadapanku. Aku akan menerima tahtamu dan menjadi raja sepertimu," bisik Axel.
Tak lama, tabib yang dipanggil ke istana pun datang. Tabib yang sangat terkenal sakti dengan obat-obatan yang diraciknya dari bahan-bahan langka itu pun diharapkan bisa menyadarkan dan menyembuhkan sang raja.