"Naraya, cepat ke ruangan saya."
Astaga. Naraya baru saja duduk di kursi kerjanya setelah kembali dari studio untuk syuting acara musik. Belum ada lima menit dirinya menenangkan otot-ototnya, tapi suara manajernya sudah kembali menggema di ruang kerjanya. Kalau saja Naraya punya sedikit kewenangan di kantor ini, mungkin dia akan berteriak saking lelahnya dia hari ini.
Datang ke kantor pagi sekali untuk persiapan syuting. Bertemu dengan artis yang permintaannya sangat-sangat tidak masuk akal. Dan sekarang, dia harus bertemu dengan sang manajer entah untuk membahas apa.
"Semangat, Nar. Habis ini gaji lo bakal naik. Aye-aye," seru Wanodya yang mendengar juga mendengar panggilan manajer mereka.
Naraya hanya bisa mendesah pasrah saat ini. Menjadi budak korporat memang selalu seperti ini, kan? Keluh-kesah tidak bisa diungkap semua. Kalo sampai begitu, siap-siap saja mendapat ceramah dari atasan.
Lebih baik Naraya bangkit dari duduknya dan segera pergi menemui orang yang memanggilnya tadi. Dengan ekspresi malas, Naraya mengetuk sekali pintu ruangan manajernya dan setelah itu dia masuk tanpa menunggu diperintah.
"Ada apa Ibu manggil saya?" tanya Naraya saat dia sudah berdiri di depan meja kerja sang manajer.
"Duduk dulu, Naraya," pinta sang manajer.
Ingin sekali Naraya mendengus. Kalau manajernya itu memintanya untuk duduk dulu, berarti pembahasan mereka kali ini akan sedikit panjang. Padahal Naraya kan saat ini ingin istirahat dulu.
Dahayu menutup map hitam yang berkas didalamnya baru saja dibubuhi tanda tangan. Setelah itu dia menatap Naraya sepenuhnya.
"Project dokumenter The Heal sudah sejauh mana? Kapan mulai syutingnya?" tanya Dahayu.
Alamak. Mati kau Naraya. Atasanmu sudah mulai tanya soal project itu sementara kamu bertemu mereka saja baru sekali, Naraya membatin sambil merutuki dirinya sendiri.
"Hm … hari ini saya akan ketemu manajer mereka buat bahas tema project nya. Kemarin baru ketemu sama petinggi di sana, jadi sifatnya masih formal dan belum membahas hal rinci mengenai project tersebut. Hari ini saya akan mulai membahasnya dan akan menentukan waktu syuting di mulai," jelas Naraya.
Wah … Naraya benar-benar kagum dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa penjelasan itu meluncur dengan sangat lancar dari mulutnya padahal beberapa menit yang lalu dia sama sekali tidak memikirkan mengenai rencana dari project-nya tersebut.
Dahayu manggut-manggut. Dia kembali melihat naskah yang kemarin sempat diberikan Naraya sewaktu rapat. Dia kembali menekankan aspek penting dari proses syuting nanti yang sama sekali tidak boleh hilang.
"Permintaan saya kemarin harus kamu pertahankan dalam naskah ini, Naraya. Jangan sampai ada orang yang menentang isi naskah ini. Yang lain bisa saja kamu rombak atau hilangkan jika anggota The Heal meminta. Tetapi, untuk yang satu itu saya harap kamu jangan pernah menghilangkannya karena itu unsur penting dari project ini dan akan mendongkrak karya ini nantinya," tambah Dahayu.
Naraya hanya bisa mengangguk sebagai jawaban permintaan atasannya itu, meskipun dia merasa permintaan itu tidak terlalu memberi efek berarti pada project tersebut.
"Dya, sinopsisnya diperbanyak, ya. Setelah ini kita ke Star Entertainment buat bahas ini," pinta Naraya kepada Wanodya begitu dirinya keluar dari ruangan Dahayu.
Tanpa banyak bertanya lagi, Wanodya langsung melaksanakan perintah Naraya. Beberapa staf yang juga termasuk dalam tim project tersebut ikut dikerahkan Naraya untuk mempersiapkan proposal yang kemarin sempat mereka revisi setelah rapat dengan petinggi dua perusahaan yang bekerja sama tersebut.
Naraya pun langsung menghubungi manajer The Heal mengenai rapat mereka hari ini. Meskipun terbilang mendadak, tapi untung saja manajer The Heal menyanggupi permintaan Naraya itu. Akhirnya mereka janjian untuk rapat sekitar satu jam lagi.
***
"Ih … katanya hari ini libur, kok tiba-tiba rapat, sih? Males, ah."
Bang Arnan mendengus mendengar penolakan salah satu anak asuhnya itu. Siapa lagi kalau bukan si keras kepala, Aksa. Padahal empat temannya sudah menunggu di mobil, tapi Aksa masih bermalas-malasan di balik selimutnya.
"Ayolah, Sa, anak-anak yang lain udah nungguin tuh di mobil. Bentar doang, kok, rapatnya. Ini juga karena Naraya yang mintanya mendadak, jadi gue iyain aja karena emang lagi nggak ada kerjaan juga, kan?"
Aksa langsung berbalik begitu nama Naraya disebut Bang Arnan. Bang Arnan menyunggingkan senyum kemenangan. "Lo harus ketemu Naraya, kan?" tanya Bang Arnan dengan menaik-turunkan alisnya.
"Kenapa lo nggak bilang dari tadi, sih?" sungut Aksa sembari menyibak selimutnya dan melompat dari kasur untuk segera siap-siap.
Bang Arban terkekeh melihat tingkah Aksa. Dia tahu Aksa sedang uring-uringan belakangan ini karena ingin bertemu Naraya dan meluruskan kejadian tempo hari. Dan Bang Arnan rasa hari ini adalah kesempatan Aksa.
"Lama banget, sih? Lagi berendam lo di dalam?" sembur Ekamatra begitu Aksa dan Bang Arnan masuk ke mobil.
"Kalo bukan karena Naraya, nih, anak bakal terus ada di balik selimut," ucap Bang Arnan yang langsung mendapat delikan tajam dari Aksa.
"Wah … sekarang mainannya udah pindah haluan, ya? Udah nggak sembarang cewek lagi ternyata." Itu sahutan dari Batara.
"Nih anak kapan insyafnya, sih?" Kalau itu suara Ekamatra yang duduk di samping Aksa.
Mobil itu pun kembali bergerak dengan seisi mobil yang terus-terusan mengejek Aksa yang kedapatan tertarik dengan kehadiran Naraya di pertemuan hari ini. Apalagi si Ekamatra. Dia adalah orang yang tidak ada henti-hentinya menyoraki Aksa. Katanya dia mencium bau-bau bucin dari tubuh Aksa. Akhirnya dua orang itu kembali berdebat. Yang lainnya hanya bisa geleng-geleng kepala. Sudah salah mereka menempatkan Ekamatra di samping Aksa.
***
Saat ini, di ruang rapat kantor manajemen The Heal sedang berlangsung rapat antara pihak Naraya dengan pihak The Heal. Pertemuan itu langsung masuk ke inti pembahasan karena Naraya sengaja ingin membatasi interaksi dengan Aksa.
Namun, bukan Aksa namanya jika tidak mengganggu Naraya. Alasan terbesarnya datang hari ini, kan, ingin bertemu Naraya. Tetapi, Aksa menangkap kalau Naraya enggan berinteraksi dengannya. Biarkan saja. Aksa akan mengambil kesempatan sekecil apapun itu agar bisa dia mengusik Naraya yang sejak tadi sama sekali tidak menatapnya.
"Gimana? Konsepnya udah dipahami? Kalo ada yang masih bingung dengan konsep ini, katakan saja. Juga kalau ada keinginan kalian yang ingin kalian tuangkan dalam konsep ini, silakan juga. Waktu revisi konsepnya masih ada beberapa hari lagi sebelum syutingnya dimulai, kok," tandas Naraya begitu dia menjelaskan panjang lebar mengenai konsep yang dia bawa.
"Gue mau mengajukan keberatan."
Semua atensi yang ada di ruangan tersebut teralihkan ke Aksa saat laki-laki membuka suara disertai dengan tangan yang terangkat. Naraya mendengus seakan tahu kalau Aksa sebentar lagi akan mengajukan hal yang membuatnya sakit kepala.
"Lo keberatan sama apa, Sa?" tanya Bang Arnan.
"Gue mau kehidupan di belakang panggung gue jangan di sorot," ucap Aksa.
Naraya mengerutkan dahi karena belum bisa menangkap maksud Aksa. "Maksud lo apa?"
"Ya … kegiatan pribadi gue jangan disorot, lah. Apalagi sampe masuk ke rumah pribadi gue," jawab Aksa.
Tuh, kan. Naraya juga bilang apa. Pasti anak ini akan membuatnya sakit kepala. Mana ada dokumenter tapi tidak menyorot hal-hal di belakang panggung? Astaga. Naraya ingin sekali memaki Aksa saat ini juga.
Naraya memijat pangkal hidungnya untuk meredam sakit kepala yang tiba-tiba menyerang begitu Aksa membuka mulutnya. Wanodya yang ada di sebelahnya langsung mengelus pelan lengannya untuk membuat temannya itu sedikit tenang.
"Ya, nggak bisa dong. Dokumenter ini kan tujuannya buat kasih tahu ke fans kalian gimana kalian di balik panggung. Kalo nggak disorot bukan dokumenter lagi dong namanya. Gimana, sih?"
"Ya … urusan kalian buat ganti itu dengan yang lain. Gue nggak mau aja kegiatan gue dilihat orang lain," balas Aksa keukeuh pada pendiriannya.
"Kalo nggak mau disorot nggak usah jadi artis aja, elah. Nggak profesional banget, sih," gerutu Naraya tidak tahan dengan tingkah Aksa.
"Apa lo bilang?!" seru Aksa dengan nada bicara naik satu oktaf.
"Aksa," tegur Lengkara.
"Lo tuh artis, harusnya tahu dong konsekuensi dari pekerjaan lo ini. Kalo lo keberatan dengan kehidupan pribadi lo disorot, mending nggak usah jadi artis, jadi intel aja sana," ketus Naraya.
"Lo--"
"Bawa Aksa keluar, Lengkara," pinta Bang Arnan.