"Sarapan dulu, sayang," tegur ibu Naraya saat melihat putrinya itu mondar-mandir di ruang tengah entah mencari apa. Pakaiannya sudah rapi, pertanda dia sudah siap ke kantor sekarang.
Naraya menoleh sebentar sebelum kembali masuk ke kamarnya. Beberapa menit kemudian dia sudah keluar dengan tas selempangnya.
Naraya menghampiri ibu dan ayahnya yang sudah ada di meja makan. Sebenarnya ini masih terlalu pagi untuk Naraya berangkat, tapi karena dia harus mempersiapkan segala hal untuk syuting pertama project dokumenternya, akhirnya dia harus berangkat lebih awal.
Ayahnya pun sebenarnya akan berangkat ke kantor nanti jam 8. Tapi, karena dia harus mengantar putrinya ke tempat kerja, jadi dia ikut sarapan dan mengantarkan Naraya dengan penampilan yang masih terlihat santai. Toh setelah itu dia akan kembali ke rumah.
"Udah mulai sibuk?" tanya sang ayah bertepatan dengan istrinya yang memberikan piring yang sudah berisi nasi goreng ke hadapannya.
Naraya mengangguk dengan mulut yang dipenuhi nasi goreng. "Udah ada project baru," jawab Naraya setelah mulutnya selesai mengunyah.
"Jangan skip makannya, sayang," timpal sang ibu.
"Nggak janji kalau itu," balas Naraya dengan sedikit kekehan.
"Nggak bisa gitu dong. Kamu mau tumbang di tengah-tengah pekerjaan kamu?"
"Ih … ayah kok doain Naraya gitu, sih," sungut Naraya.
"Bukain doain, tapi kasih tahu. Kamu nggak mau juga pekerjaan kamu keteteran karena kamunya drop karena skip makan?"
Naraya manggut-manggut saja mendengar nasehat ayahnya. Dia sadar betul dengan konsekuensi ketika skip makan. Tapi, dia juga sering lupa jika sudah serius dengan pekerjaannya. Jika sudah seperti itu, butuh seseorang yang harus menyeretnya jauh dari meja kerja dan membawanya ke tempat makan. Dan kebanyakan peran itu dilakukan Wanodya saat di kantor.
***
Hari pertama syuting, Naraya akan berkunjung ke tempat latihan The Heal. Ya, Naraya akan mengambil gambar proses syuting The Heal. Tim dokumenternya ini tidak banyak. Hanya ada dirinya yang bertindak sebagai produser yang merangkap sebagai sutradara. Untuk tim lapangan ada dirinya dan juga satu asisten serta satu orang dari tim kreatif. Sisanya ada Wanodya yang bertindak sebagai penulis naskah dan beberapa editor yang mereka kebanyakan bertugas di kantor saja.
Sebelum ke kantor manajemen The Heal, Naraya harus ke kantornya untuk mengambil kamera. Sesampainya dia di kantor, ternyata Risky–asistennya–dan Anggun–tim kreatif–sudah menunggunya di kantor dengan peralatan yang mereka butuhkan.
Meskipun ini masih terlalu pagi dan kemungkinan besar personil The Heal juga belum di tempat latihan, tapi tim dokumenter Naraya sudah harus siap-siap. Mula dari mengatur tata letak kamera serta ada memahami lagi beberapa spot yang bisa digunakan sebagai tambahan sinema mereka.
Meskipun ini dokumenter pertama Naraya di dunia musik, tapi Naraya seperti sudah memiliki gambaran jelas seperti apa proses syuting yang dia inginkan. Itulah kenapa kemarin dia juga sempat berdebat dengan Aksa saat laki-laki itu menyatakan keberatannya.
Setelah dipikir-pikir lagi, alasan manajernya untuk tidak menghilangkan unsur kehidupan pribadi dari artis itu sangatlah masuk akal. Naraya jadi tahu kalau ternyata kehidupan pribadi seseorang yang jarang diketahui banyak orang memang lebih banyak menarik perhatian penonton. Itu Naraya dapatkan setelah menonton beberapa karya dokumenter dengan tema yang sama.
Mobil yang dikemudikan Risky sudah berhenti di basement kantor Star Entertainment. Risky dan Naraya mengeluarkan kamera mereka, sementara Anggung mendapat tugas membawa beberapa script yang memang menjadi tanggung jawabnya.
Di rapat kemarin juga, Bang Arnan dan pihak dari Star Entertainment sudah memberi akses masuk ke mereka agar tidak perlu menunggu Bang Arnan dulu. Jadi, mereka bisa langsung siap-siap untuk melakukan set kamera dan mereview kembali script yang akan mereka gunakan di syuting kali ini.
***
"Terima kasih semuanya, syuting hari ini sampai di sini aja," ujar Naraya kepada semua orang yang ada di dalam ruang latihan tersebut.
Mungkin karena sudah sering bertemu, para personil The Heal tidak canggung lagi dengan keberadaan Naraya. Bahkan terlihat Lengkara yang langsung menghampiri Naraya tepat Naraya mengatakan syuting mereka hari itu selesai.
"Gimana? Kita nggak kaku, kan?" tanya Lengkara yang ikut duduk di samping Naraya yang selonjoran di lantai ruang latihan mereka.
Naraya tersenyum simpul sembari menggeleng. Dia menjawab pertanyaan Lengkara dengan tangan yang masih sibuk menata kamera. "Nggak, kok. Kalian keliatan natural di kamera. Emang beda, ya, kalo kerja sama orang se-profesional kalian."
"Syukur, deh, kalo hal itu bisa mempermudah pekerjaan kalian."
"Pokoknya kalian bersikap seperti biasa aja. Anggap gue sama alat-alat ini nggak ada," ucap Naraya dengan sedikit kekehan.
Sudut bibir Naraya langsung turun begitu melihat Aksa yang juga ikut duduk di depannya dan Lengkara.
"Ngapain Lo?" tanya Naraya terdengar sedikit ketus.
Lengkara hanya bisa membuang napas berat begitu mendengar nada bicara Naraya. Sepertinya dia harus tetap di tempat untuk menghalau dua orang ini kembali berdebat.
"Santai dong nanyanya. Lo kayaknya PMS Mulu kalo bicara sama gue," balas Aksa.
Naraya mendengus. Benar, sih, dia memang akan otomatis kesal dengan kehadiran Aksa. Dia pun tidak tahu cara bersikap biasa ke laki-laki itu.
"Habis ini mau makan bareng, nggak? Gue yang traktir," usul Aksa tiba-tiba.
Lengkara mengernyitkan dahi sambil menatap penuh selidik ke arah temannya itu. "Ada apa, nih? Tumben banget."
"Pengen aja," balas Aksa asal.
"Naraya juga, kan?" tanya Lengkara sambil menunjuk Naraya.
Sebelum Aksa menjawab pertanyaan Lengkara, Naraya sudah lebih dulu menyela. "Nggak usah. Gue harus balik ke kantor sekarang."
"Kok cepat balik, sih?" Ada sedikit kekecewaan terdengar dari pertanyaan Aksa itu.
"Gue banyak kerjaan di kantor. Sorry, ya. Gue balik dulu," pamit Naraya saat itu juga tanpa mempedulikan lagi ekspresi Aksa saat ini.
Sepeninggalan Naraya dan dua temannya, Lengkara langsung mengikuti lengan Aksa untuk menyadarkan lagi laki-laki itu. Dia bisa menangkap jelas kekecewaan di wajah Aksa saat ini dan hal itu yang membuatnya penasaran.
"Kecewa banget, bro?"
Aksa hanya berdecak lalu meninggalkan Lengkara begitu saja. Lengkara hanya bisa geleng-geleng kepala melihat perubahan sikap Aksa yang begitu cepat.
***
Bertepatan dengan kedatangan Naraya di meja kerjanya, ada telpon dari Mas Tirta masuk ke ponsel Wanodya. Dia memilih mengangkat panggilan itu lebih dulu daripada menyapa Naraya.
"Iya, Mas?" tanya Wanodya dengan sedikit mengeraskan suaranya agar bisa didengar Naraya, tapi temannya itu terlihat tidak fokus dengan sekitarnya karena dia lebih memilih untuk menatap layar komputernya dengan begitu serius.
"Naraya masuk kerja hari ini?" tanya Mas Tirta di seberang.
"Iya, Mas. Ini dianya baru nyampe dari syuting. Kenapa? Dia nggak balas chat Mas Tirta lagi, ya?"
"Iya. Dia udah sibuk lagi pasti, ya?"
"Iya, Mas. Dia udah syuting lagi sama The Heal," jelas Wanodya.a
"Sudah gue duga." Terdengar dengusan di seberang telepon. "Gue titip pesan buat dia aja, ya, Dya. Tolong bawa dia makan sekarang, gue yakin dia belum makan siang."
Wanodya terkekeh. Dia pun akan melakukan itu tanpa perlu diminta Mas Tirta atau siapapun itu. "Siap, Bos."
Setelah panggilannya dengan Mas Tirta berakhir, Wanodya pun langsung menyeret Naraya ke kantin. Dia tidak peduli dengan penolakan sahabatnya itu. Jika dia tidak membawa Naraya makan sekarang, bisa dia pastikan beberapa jam lagi Naraya akan berakhir di IGD karena Gerd nya kambuh.