~Coba saja dulu. Kalau sulit untuk lanjut, cukup berhenti dan cari jalan lain~
Kini keduanya sudah berdiri di tepi rooftop sambil memandangi pemandangan malam yang gelap di kejauhan sana. Beberapa saat yang lalu, mereka baru saja menyelesaikan makan malam hasil dari pesan antar yang cukup memakan waktu yang lumayan lama. Dan sekarang, mereka istirahat sebentar untuk selanjutnya kembali ke rumah masing-masing.
Naraya berbalik dan duduk di lantai rooftop sambil bersandar ke dinding pembatas yang hanya sebatas dada. Mas Tirta pun ikut duduk di sampingnya.
"Mas, gimana kalo gue cari tempat baru aja? Sekarang gue bener-bener nggak nyaman kerja di bidang yang nggak gue sukai," kata Naraya.
Mas Tirta memandang lama wajah Naraya, menelisik kedua netra Naraya dan mencari isi di baliknya. Lalu…
"Lo masih pengen di situ, Nar. Jangan cari tempat pelarian, deh. Nanti nyesal baru tahu rasa," balas Mas Tirta.
Naraya mencebikkan bibirnya cemberut. Dia juga tahu dia masih suka ada di kantornya sekarang. Hanya saja dia tidak suka dengan program yang diberikan padanya saat ini.
"Habisnya gue bete, semua saran gue nggak mereka terima. Padahal kan demi kemajuan bersama juga," keluh Naraya.
"Cara bicaranya, Nar. Jangan ngegas mulu coba. Kasih mereka pengertian dengan cara yang halus. Pasti mereka mau kok."
Naraya diam. Tapi tidak dengan isi kepalanya. Terlalu berisik dan meributkan banyak hal. Mulai dari mencari kebenaran dari ucapan Mas Tirta, mencari letak kesalahannya, juga cara agar sarannya bisa diterima lagi oleh timnya. Dan yang terpenting, suasana kerjanya jadi kondusif lagi.
"Gue punya ide, Nar," celetuk Mas Tirta.
Derana menoleh seakan tertarik dengan ide yang dimaksud. "Apaan tuh, Mas?"
"Gimana kalo untuk tema kalian minggu depan usahakan pake satu tema aja. Misalkan, sekarang The Heal kan lagi ngeluarin album baru, nah kalian undang mereka ke acara kalian dan pake tema mereka untuk keseluruhan acara kalian. Point pentingnya itu si The Heal. Dan gitu seterusnya," papar Mas Tirta semangat.
Naraya menerawang dan berpikir. Ada beberapa point penting yang dia tangkap dari usul Mas Tirta tadi. Pertama, ambil kesempatan comebacknya The Heal. Kedua, usung tema yang sesuai dengan tamu utama. Dan yang ketiga, lakukan hal itu untuk tamu di minggu-minggu berikutnya.
Mata Naraya langsung berbinar saat paham dengan maksud dari usulan Mas Tirta itu. Dan menurutnya itu termasuk penampilan yang terkesan fresh juga tidak terlalu ribet.
"Mas, itu ide yang bagus. Makasih, Mas. Aaa… kok Mas Tirta bisa sepintar ini, sih?" seru Naraya semangat. Dia seperti mendapatkan oasis di tengah gurun. Benar-benar menyegarkan kepalanya.
Senin nanti, dia tidak perlu berdebat lagi menagih konsep baru dari timnya. Dia sudah punya gambaran akan membawakan konsep seperti apa nanti di acara mendatang. Dan dia yakin timnya akan setuju dengan idenya ini.
***
"Gimana?"
Naraya kembali bertanya setelah dirinya dengan panjang lebar memaparkan ide yang baru dia rangkai malam sebelumnya. Benar-benar gambaran konsep keseluruhan. Mulai dari dekorasi panggung, sampai ke pemilihan tamu untuk mengisi acara benar-benar dijabarkan Naraya dengan detail kepada semua tim acara musik.
Untuk beberapa saat dia terdiam menunggu respon dari rekan-rekan kerjanya. Sampai akhirnya, ketua tim kreatif dan penulis naskah mengangguk dan mengacungkan jempol pertanda mereka sangat setuju dengan ide yang dipaparkan Naraya tadi.
Senyum lebar pun tidak bisa dia tahan saat ruang rapat itu dipenuhi dengan tepukan meriah dari rekan-rekan kerjanya. Dia bangga sekaligus malu mendapatkan pujian yang berlebihan.
"Ratu rating kita benerang kembali, guys," seru Gaga—sang penulis naskah.
"Stop-stop. Kita jangan senang dulu. Gue harus bicarain ini dengan Manager. Kita pastikan lagi tamu-tamu ini apakah bisa diundang untuk acara minggu ini atau nggak. Dari tim kreatif mungkin bisa mencari cadangan tamu yang sekiranya bisa mengisi konsep untuk minggu ini. Setelah itu kita paparkan ke Manager untuk langkah selanjutnya."
Semua orang di ruangan itu kembali mengangguk. Setelah rapat itu selesai, mereka langsung kembali ke meja kerja masing-masing untuk mengerjakan tugas-tugas yang sudah diberikan Naraya tadi.
Dia pun sibuk merevisi lagi beberapa bagian dari konsepnya yang tadi sempat mendapatkan masukan. Meskipun dia kukuh dengan apa yang sudah diputuskan, tidak serta-merta membuatnya menutup pintu masukan dari rekan-rekan yang lain.
***
"Keliatannya lagi senang, nih, apa yang terjadi, Nar?" tanya Wanodya saat mereka sedang makan siang di kantin.
Naraya tertawa kecil lalu memasukkan sesendok nasi ke mulut, mengunyahnya lalu membalas rasa penasaran Wanodya. "Gue udah dapat konsep yang sesuai dengan keinginan gue dan bisa diterima sama yang lain."
"Wih… apaan tuh?"
"Gue bakal ngundang The Heal. Nanti lo liat aja nanti gimana acara yang bakal gue buat," balas Naraya dengan bangga.
"Akhirnya, Naraya balik lagi," kekeh Wanodya.
Setelah jam makan siang berakhir, Naraya langsung meminta hasil revisi dari rekan-rekannya yang lain. Begitu semuanya rampung, Naraya akhirnya membawa konsep barunya itu ke Manager.
Dengan sedikit gugup, Naraya menunggu keputusan dari sang Manager apakah akan menerima konsepnya ini atau disuruuh revisi lagi. Syukur-syukur kalau hanya disuruh revisi untuk beberapa bagian saja. Jangan sampai konsep yang dia tawarkan ini tidak sesuai lagi dengan pendapat sang Manager.
Dahayu menutup map berisi konsep yang sudah dirancang Naraya. Setelah butuh beberapa saat dirinya untuk membaca serta memahami dari konsep baru acara yang dipegang Naraya, dia pun akhirnya menyetujui.
"Bagus. Saya suka dengan konsep kali ini. Benar-benar fresh dari yang sebelumnya. Dan juga… saya suka kamu ngundang The Heal sebagai peluncuran konsep baru kamu," kata Dahayu puas.
Naraya tersenyum senang. Dia pikir Managernya itu akan memiliki selera lain atau pandangan lain mengenai suatu acara. Akan tetapi, ternyata mereka punya jalan pemikiran yang sama.
"Makasih, Bu. Saya senang Ibu bisa terima konsep baru ini," ucap Naraya jujur.
Dahayu manggut-manggut. "Saya begitu tertarik dengan band The Heal. Saya rasa tidak ada alasan saya untuk tidak menerima konsep kamu ini. Saya harap kamu bisa mempertahankan kinerja ini dan bisa memberikan wajah baru untuk acara musik kita."
Apakah Naraya bangga mendapatkan pujian itu dari atasannya? Tentu saja. Dia bukannya sombong atau bersikap sok karena selalu berhasil dalam membuat acara menarik. Hanya saja dia akan terima semua pujian yang diberikan kepadanya karena itu dia rasa sebagai bentuk apresiasi terhadap diri sendiri yang sudah bekerja keras melakukan yang terbaik.
***
"Eh, datang lagi. Keliatannya lagi bahagia, nih. Ada apa?" tanya Mas Tirta.
Ya. Naraya kembali mengunjungi Mas Tirta di kafenya. Tepat pulang kantor, dengan menebeng di mobil Wanodya, Naraya mampir lebih dulu ke kafe Mas Tirta untuk membicarakan ide yang diberikan Mas Tirta kepada beberapa hari yang lalu.
Mas Tirta menghampiri Naraya di meja biasa sambil membawakan pesanan Naraya. Seperti biasa, jika Naraya datang, Mas Tirta akan menyerahkan tugasnya kepada pegawainya dan memilih berbincang-bincang dengan Naraya.
"Jadi… ada kejadian bahagia apa, nih?" tanya Mas Tirta lagi.
"Ide yang Mas Tirta kasih ke gue kemarin akhirnya bisa diterima Manager dan rekan-rekan kerja gue," ujar Naraya sedikit menggebu-gebu.
"Oh, ya? Wah, selamat, Nar. Akhirnya lo bisa jalanin acara yang sesuai dengan selera lo," balas Mas Tirta tidak kalah antusias.
"Ini semua berkat Mas Tirta. Kalau aja Mas Tirta nggak ngasih ide waktu itu, pasti sekarang gue masih kelimpungan putar otak buat cari konsep yang bagus."
"Nggak, Nar. Itu semua karena keahlian lo. Ide gue hanya mentahan. Yang buat dia lebih kreatif dan fresh itu karena keahlian dan kerja keras lo."
"Pokoknya ini berkat kita semua. Berkat Mas Tirta, berkat gue, dan berkat kerja keras rekan-rekan kerja gue. Karena hari ini gue lagi bahagia, gimana kita keluar jalan-jalan? Gue yang traktir, deh," ajak Naraya.
"Yakin, nih, mau traktir?" tanya Mas Tirta lagi. Naraya pun langsung mengangguk mengiyakan.
Dan hari itu, keduanya menghabiskan waktu senang-senang bersama hampir larut malam. Mas Tirta paling tahu mengajak Naraya ke tempat-tempat yang seru tapi masih membuatnya nyaman.
Beberapa kali mereka singgah di penjual gerobak hanya karena Naraya yang katanya ngidam makan sesuatu. Mas Tirta tentu saja langsung menyetujuinya. Selama gadis itu bersenang-senang, Mas Tirta akan senang hati membawanya kemana saja.
"Makasih, ya, Mas. Harusnya gue yang buat lo senang hari ini, tapi malah sebaliknya," kata Naraya sebelum dirinya berpisah dengan Mas Tirta.
Setelah itu, keduanya benar-benar berpisah. Mas Tirta masuk ke mobilnya dan kembali, serta Naraya masuk ke rumahnya.