~Senang di awal memang sering memberikan akhir yang tragis.~
Terpaan sinar matahari yang begitu menyengat seketika membuat Naraya menyipitkan matanya. Dia baru saja turun dari bus yang mengantarkannya ke perusahan The Heal.
Ya, hari ini dia akan bertemu dengan sang manager bandd tersebut untuk membicarakan mengenai projek terbarunya. Dia belum menghubungi Bang Arnan terlebih dahulu untuk meminta bertemu karena memang dia tidak memiliki kontak Bang Arnan.
Meskipun begitu, Naraya tetap memberanikan diri untuk bertemu walau belum punya janji sebelumnya. Dia melangkah pasti menuju ke meja respsionis yang ada di lantai 1. Sang resepsionis itu pun menyambutnya dengan ramah.
"Selamat siang, Bu? Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mau ketemu Bang Arnan, bisa?" kata Naraya sambil menyodorkan kartu namanya ke resepsionis tersebut.
Wanita berpenampilan formal itu awalnya menatap Naraya dan kartu namanya dengan ragu. "Sudah buat janji sebelumnya?"
Naraya menggeleng. Dia sudah duga pasti resepsionis ini akan menanyakan hal tersebut. "Tapi, Bang Arna tahu saya, kok."
Mendengar hal itu, bukannya percaya, resepsionis itu malah semakin ragu. Tapi, tetap saja dia harus menjalankan tugasnya. Mau atau tidaknya Bang Arnan bertemu Naraya itu urusannya bukan urusan resepsionis.
Setelah berbicara sejenak di telepon, akhirnya Naraya disuruh menunggu sejenak sampai Bang Arnan datang menghampirinya. Tidak perlu waktu lama baginya untuk menunggu karena Bang Arnan saat ini sudah berada di hadapannya.
"Kok nggak ngasih tahu mau ke sini, Nar?" tanya Bang Arnan langsung.
Naraya tersenyum simpul. "Bukannya sengaja nggak ngasih tahu, Bang. Emang nggak punya kontak Bang Arnan aja," jawab Naraya terkekeh.
"Oalah. Minta ke Mas Tirta aja kan bisa. Ya udah, ayok naik, yuk. Kita bicara di atas," ajak Bang Arnan.
Naraya pun ikut di belakang Bang Arnan. Saat keduanya hendak masuk ke dalam lift, tiba-tiba Naraya menghentikan langkahnya.
Bang Arnan yang melihat itu juga ikut berhenti. "Kenapa?" tanyanya.
"Bang Arnan naik aja. Gue mau lewat tangga aja. Kita ketemu di lantai berapa?"
Hal itu sontak membuat Bang Arnan kebingungan. Mereka kan bisa pergi bersama dengan lebih mudah menggunakan lift. Kenapa Naraya malah memilih untuk menggunakan tangga darurat? Apa jangan-jangan ….
"Lo phobia tempat sempit?" tebak Bang Arnan.
Naraya kelagapan beberapa detik, tapi dengan cepat dia mengendalikan ekspresinya. Akhirnya dia mengangguk saja membenarkan tebakan Bang Arnan yang sepenuhnya salah itu.
"Kalau gitu kita berdua aja le—"
"Nggak usah, Bang. Gue bisa pergi sendiri," tolak Naraya cepat. Dia kan tidak naik lift bukan karena phobia tempat sempit, tapi karena tidak ingin berdua saja dengan
Bang Arnan di tempat tertutup itu. Kalau ada orang lain selain mereka, mana mau Naraya bersusah payah harus naik tangga segala?
Setelah berhasil memaksa Bang Arnan naik sendiri menggunakan lift, Naraya pun harus menapaki setiap anak tangga itu sendirian. Beberapa kali dia merutuki dirinya sendiri yang tidak mengajak salah satu anak magang cewek biar bisa menemaninya.
Saat teringat akan sesuatu, seketika langkah Naraya terhenti. "Mereka kan cowok semua, terus gue sendiri, dong yang cewek? Aduh gimana, nih? Kenapa lo ceroboh banget, sih?"
Memikirkan hal itu saja sudah membuat kepanikan Naraya muncul. Dia belum pernah berada di satu tempat bersama laki-laki lain tanpa ada seorang teman perempuan—seperti sekarang ini.
Untung saja otak Naraya bisa bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya di saat keadaan genting seperti ini. Dia pun langsung menghubungi Wanodya untuk menemaninya bertemu dengan Bang Arnan.
"Dya, lo lagi ngapain sekarang di kantor?" tanya Naraya langsung saat panggilan mereka terhubung.
"Gue? Lagi mau rapat, nih," jawab Wanodya di seberang.
Naraya mendengus. Dia pikir temannya itu sedang lowong. "Aduh, gimana dong. Gue pengen minta tolong ke lo, nih."
"Mau ngapain? Lo sekarang lagi di perusahaan The Heal, ya? Udah ketemu mereka?"
"Itu dia masalahnya, Dya. Gue baru ngeh kalo mereka semuanya laki dan gue sekarang panik karena memikirkan harus berada di ruangan yang sama bareng mereka," ujar Naraya mengutarakan kekhawatirannya.
"Nggak apa-apa, Nar. Lo nggak perlu takut sama mereka. Mereka baik dan nggak bakal jahatin lo atau buat sesuatu yang nggak nyaman ke lo. Mereka kayak Mas Tirta, kok. Percaya sama gue. Ok?"
Naraya berulang kali menegaskan dalam kepalanya kalimat seperti yang dikatakan Wanodya tadi. Tapi, tetap saja kepanikan itu masih menyelimutinya.
"Nar?" panggil Wanodya saat tidak ada respon dari Naraya.
"Gue bakal coba, Dya," balas Naraya akhirnya.
***
Tidak semua pikiran buruk akan berakhir buruk juga. Ada beberapa yang hanya sebagai bentuk kekhawatiran belaka. Dan ada memang yang akan benar-benar terjadi. Tapi, tidak dengan sekarang.
Pikiran buruk yang membuat Naraya panik tadi, ternyata tidak terjadi. Dia pikir tidak akan bisa menyelesaikan pertemuannya bersama Bang Arnan dengan baik. Tapi, ternyata semuanya berjalan lancar.
Untung saja Bang Arnan membawanya di sebuah kafe kecil yang ada di lantai 5 ini. Meskipun tidak terlalu besar sama seperti kafe yang ada di lantai 1, tapi ada beberapa orang yang juga sedang bersantai di sini. Dan itu sedikit membantu Naraya untuk tidak panik karena harus bicara berdua saja dengan Bang Arnan.
"Kita emang mau perform ke beberapa acara musik, tapi selama ini The Heal belum pernah main ke acara musik perusahan lo, Nar," ujar Bang Arnan setelah Naraya menjelaskan maksud kedatangannya hari ini.
"Kenapa?" tanya Naraya. Bang Arnan menggaruk tengkuknya. Sangat jelas sekali ekspresi tidak enak Bang Arnan. Hanya dengan melihat gelagat Bang Arnan itu langsung membuat Naraya mengerti. "Kalian nggak perform di tempat kami karena acaranya nggak bagus, kan?"
Tepat sekali. Itu yang ada di kepala Bang Arnan selaku manager The Heal. Juga, Aksa dan Ekamatra sering menolak jika mendapat undangan untuk perform di acara itu.
"Ng … bu-bukan gitu, Nar," balas Bang Arnan gagap. Jelas sekali kalau memang seperti itu kebenarannya.
Naraya mengembuskan napas berat. Ternyata memang seburuk itu acara musik di tempatnya. Kenapa dia harus mendapatkan tugas yang buruk seperti ini?
"Gue maklum kok. Gue juga ngakuin acara kami emang buruk. Nggak usah ngerasa nggak enakan gitu." Naraya menegakkan tubuhnya dan menatap serius Bang Arnan.
"Acara itu udah jadi tanggung jawab gue dan sekarang udah gue ubah total karena memang gue akui buruk acara itu dulu. Tapi, sekarang Bang Arnan harus percaya sama gue dan tampil di acara itu karena konsep yang gue buat kali ini benar-benar berbeda dari acara manapun yang ada di Indonesia. Gue yakin banget. Apalagi kalo The Heal yang jadi pembalik acara itu."
Naraya berusaha meyakinkan Bang Arnan kalau acara yang kini berada di bawah naungannya benar-benar berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Jadi, tidak ada alasan lagi bagi The Heal untuk menolak tampil di acaranya.
"Gue tanya dulu ke anak-anak, ya? Soalnya si Aksa sama Eka keras banget nggak mau tampil di acara itu," kata Bang Arnan.
Dia sebenarnya tidak enak dengan Naraya yang rela datang langsung ke sini untuk menemuinya dan meminta untuk The Heal tampil di acaranya—yang kata Eka adalah acara paling buruk yang pernah dia temui. Apalagi Naraya sempat membantu Aksa. Jadi, dia akan sulit untuk menolak permintaan Naraya itu.
Namun, di satu sisi lagi dia tidak yakin apakah personil The Heal akan setuju. Pasti mereka akan meragukan acara itu berubah meskipun sudah dipegang oleh orang yang berbeda.
***
"Gimana, Nar? Udah dipastikan mereka bakal tampil di acara kamu?"
Naraya menelan salivanya susah payah. Managernya sudah menanyakan kepastian The Heal tampil, tapi Bang Arnan belum memberinya jawaban sejak kemarin. Dia kan jadi bingung mau jawab apa ke Dahayu sekarang.
"Manager mereka bakal kasih jawabannya hari ini, Bu," jawab Naraya walaupun dia tidak yakin.
"Segera pastikan hari ini juga, Naraya. Acaranya dua hari lagi. Udah mepet buat bicarain konsep bareng mereka."
Tepat setelah keluar dari ruangan managernya, Naraya langsung bergegas ke perusahaan The Heal lagi. Bang Arnan tidak bisa dihubungi sekarang. Dan dia sudah tidak sabar menunggu di tempatnya lagi. Akhirnya dia pergi bersama dengan salah satu anak magang. Dia tidak ingin kepanikan kembali menyelimutinya seperti kemarin.