Di tengah hiruk pikuk keramaian kota di jalan raya, Reva terus menatap lalu-lalang kendaraan dari jendela lantai lima di ruangannya. Satu per satu berbondong-bondong untuk segera sampai di tempat tujuan. Tatapannya begitu jeli, sebaliknya, pikirannya saat ini justru terfokus pada rencana yang baru-baru ini ia susun.
"Kenapa, ada masalah lagi? Berhentilah, sebelum kamu terlalu jauh ikut campur urusannya." Laki-laki yang saat ini tiba-tiba hadir di tengah lamunan Reva adalah Jordy.
"Tidak bisa, gue harus menemukan apa yang gue cari. Jika tidak, gue tidak akan pernah tau apa niat pria itu menikahi sahabatku," bantah Reva pada laki-laki di hadapannya.
Melihat Reva yang terus bersikeras dengan keputusannya, pria itu pun langsung terdiam. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya untuk beberapa saat.
"Bagaimana jika tidak berhasil?"
"Kenapa tidak berhasil? Ini hanya langkah awal, kedepannya gue pastikan akan mendapatkan informasi yang selama ini gue cari."
Sejak lama Jordy terus mengingatkan Reva akan keinginannya itu, ia tau bahwa Erlan bukanlah orang biasa. Meskipun hubungan kedua perusahaan adalah partner kerja, namun tetap saja, perusahaan Erlan sangat berpengaruh untuk perusahaannya.
"Baiklah, aku sudah memperingatkanmu, Rev. Kedepannya, kamu harus menjaga identitas aslimu dengan sebaiknya. Semoga nasib baik selalu menyertaimu."
Jordy sangat mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya. Hal ini terlihat dari kedua matanya yang terus menerus menaruh harap untuk keselamatan Reva. Jika ia tau bagaimana caranya untuk menghentikan Reva, pasti sudah ia lakukan.
"Terimakasih, gue berjanji untuk tidak melibatkan lo dalam masalah gue," tutur Reva meyakinkan Jordy.
Mendengar hal tersebut, Jordy mengangguk mengiyakan.
'Apa pun yang terjadi, aku akan tetap bersamamu, Rev!' batin Jordy dalam hati.
Pagi ini wanita itu dijadwalkan untuk bertemu dengan klien, sudah bisa ditebak, klien itu adalah Erlan. Seseorang yang selalu membuat tidurnya tidak tenang.
"Mau aku temani?"
Jordy memegang lengan kanan Reva, Reva yang saat ini tengah menaruh tas di pundaknya, mengakibatkan sedikit tertahan karena tawaran dari Jordy.
"Tidak perlu, gue bisa sendiri. Lagi pula dengan lo ikut bersamaku, juga tidak akan banyak membantu," ucap Reva tanpa segan mengatakan hal itu. Terpaksa, kalau tidak pria itu pasti terus membujuknya agar mau ia dampingi.
Jordy langsung membuang muka, memperlihatkan raut wajah yang sangat kesal dengan ucapan perempuan di hadapannya.
"Ah, sudahlah. Gue sudah berjanji untuk tidak merepotkanmu, jika tidak, kamu akan terjerat dengan masalahku ini. Percayalah, aku pasti mampu melakukan hal itu."
"Kamu tidak harus menggodanya, kan? Lebih baik bersikap elegan daripada murahan. Menggoda suami orang dengan alibi kebaikan, apa itu pantas?"
"Bagaimana jika dibalik, menggoda seorang pria demi kebaikan istrinya? Sepertinya itu lebih pantas,'' jawab Reva dengan tertawa kecil.
Seketika raut wajah Jordy menjadi merah.
"Ayolah, kenapa lo seperti orang yang cemburu, sih! Jangan-jangan, lo suka ya sama gue?"
"Enak saja, tidak mungkin lah. Jika kamu terkena masalah, lalu dibunuh, itu artinya aku harus kerepotan mencari batu nisan berwarna biru untukmu nanti. Jadi repot kan nantinya!"
Kenapa harus biru? Selama ini Reva sangat menyukai warna biru. Apa pun barang yang mau ia beli, semuanya harus serba biru.
"Yeh, enak aja. Lo nyumpahin gue mati? Tapi syukurlah, jangan sampe lo suka sama gue. Ribet jadinya."
"Kenapa ribet, kalau suka kan tinggal bilang."
"Asal nyeplos kalo ngomong."
Reva langsung memegang kedua lengan Jordy, lalu menatapnya lekat.
"Kita udah lama sahabatan, jangan sampai ada perasaan cinta di hubungan ini. Tau kenapa? Karena cinta bisa putus begitu aja. Tapi kalau sahabat? Sampai kapan pun kita akan terus bareng-bareng."
Terjebak friendzone, ungkapan yang tepat buat mereka berdua.
"Baiklah, tidak masalah," terlalu berat untuk mengiyakan, namun Jordy tetap berusaha baik-baik saja dengan ucapan Reva.
Seusai melepas sentuhan di kedua lengan Jordy, Reva pun segera bergegas keluar dari ruangan kerjanya.
"Tunggu sebentar,"
"Jangan sampai lupa, kamu harus bisa menyembunyikan identitasmu. Jangan sampai kebiasaanmu bisa terbaca dengan mudah oleh Tuan Erlan."
"Siap, bos!!"
Reva segera melangkahkan kedua kakinya menuju ke arah lift. Pertemuannya kali ini, ia harus bisa mendapatkan informasi yang akurat. Dengan terus melihat jarum jam yang melingkar di tangan kanannya, ia pun langsung keluar menggunakan mobil kantor.
"Apa sebelumya Nona sudah membuat janji dengan Tuan Erlan?" tanya resepsionis.
"Sudah, saya membuat janji dengannya pukul 10 pagi."
Resepsionis itu langsung memperhatikan detik pada benda bulat yang menempel di dinding.
"Seharusnya lima menit lagi Tuan Erlan sudah sampai. Anda bisa menunggunya di dalam," ucap perempuan itu pada Reva. Kemudian mengantarkannya menuju ke ruangan Erlan.
"Terimakasih," ucap Reva pada resepsionis itu.
"Sama-sama. Saya permisi dulu, Nona."
Dengan sopan, ia menunduk dan meninggalkan Reva sendirian di dalam ruangan itu.
Reva sengaja datang lebih awal, karena dengan begitu ia memiliki kesempatan untuk mencari bukti niat buruk Erlan pada sahabatnya, Clara.
Namun sial. Kemacetan di jalan membuatnya harus kehilangan waktu sepuluh menit, waktu yang seharusnya bisa ia gunakan untuk mencari informasi. Namun tidak apa, ia masih mempunyai waktu lima menit untuk digunakan dengan sebaik-baiknya.
Reva kembali meneliti setiap sudut ruangan. Baru saja ia mau beraksi, namun lagi-lagi dirinya harus menghadapi kesialan.
"Sial! Ada apa dengan hidup gue hari ini. Sudah macet di jalan, sekarang malah ada CCTV di ruangan ini," gerutunya dalam hati.
Cctv ditempatkan di salah satu sudut yang mengarah langsung ke meja kerja, yang mana Cctv tersebut mempunyai empat pasang mata.
'Bodoh, dia tidak akan mudah membiarkan ruangan pribadinya dijamah orang asing begitu saja, Reva!' pikir Reva dalam hatinya. Terlalu mengentengkan musuh juga tidak baik.
"Maaf, Nona. Anda sudah menunggu saya lama."
Ketika pikirannya melayang entah ke mana, tiba-tiba ada seseorang yang langsung masuk ke dalam ruangan. Erlan, dia sudah datang.
"Halo, apa Anda mendengar suara saya?" Melihat Reva yang masih terpaku dengan kedatangannya, pria itu pun langsung memberi sinyal untuk segera merespon.
"I … iya dengar, Tuan. Saya baru saja datang. Tidak, tidak menunggu lama kok." Dengan berusaha menghilangkan rasa tegangnya.
"Baiklah, silahkan duduk Nona. Rupanya dari tadi Anda menunggu dalam keadaan berdiri. Atau mungkin ada sesuatu yang mau Anda lakukan di ruangan saya ini?"
"Sesuatu maksud Tuan? Saya tidak berani melakukan apa pun di ruangan Tuan."