Bahkan demi menegaskan ancaman, Miranti terlihat langsung saja bergerak untuk bangkit dari berbaringnya. Dengan tetap membelakangi Indra, ia kembali membetulkan tali daster yang tadi ia sisihkan. Kemudian tangan wanita itu pun terus bergerak untuk menyibakkan kain di bagian tersebut, dan lebih membuka bagian pundak dan punggung atasnya agar semakin mudah untuk dipijat secara langsung.
Setelah itu, iapun kembali berbaring. Akan tetapi, kali ini ia malah berbaring terlentang untuk saling berhadapan dengan Indra yang sedang berlutut di sisi tubuhnya. Lalu dengan tatapan tajam layaknya ia sudah kembali menjadi sang bos besar, wanita tersebut memandangi wajah sang suami untuk menuntut jawaban.
Sampai disini, Indra menjadi merasakan sebuah dilema akan segera muncul. Karena itulah, segera saja ia mencari-cari alasan untuk menggagalkan maksud istrinya.
"Putri kan sekolah." Demikian ujarnya untuk mengendurkan niat Miranti.
"Disini banyak sekolah bagus. Sebagai kakak iparnya, aku juga punya hak dan kewajiban untuk memberikan yang terbaik bagi Putri." Tak kalah akal, wanita itu langsung saja menjawab.
"Apa Ibu mau? lalu, rumah sana gimana?" kembali, Indra menggatakan sesuatu agar istrinya juga memikirkan hal tersebut.
"Jarak dari sini ke rumahmu kan hanya satu jam saja kalau pakai mobil sendiri. Dengan sekian banyak kendaraan dan sopir yang selalu siap untuk mengantar, Ibu tidaklah akan kesulitan kalau sewaktu-waktu ingin menengok rumah. Mau tiap hari juga bisa." Sepertinya, sang istri juga tidak kekurangan argumentasi untuk mematahkan pertanyaan Indra.
"Kalau tiap hari pulang pergi ya capek."
"Makanya biar disini saja. Kan Ibu bisa aja nengok kesana seminggu sekali. Rumah juga bisa dititipin tetangga."
"Ah, coba nanti aku pikirkan."
"Nggak usah dipikir, tanyakan saja langsung pada ibu."
"Tapi kan perlu juga dipikirkan, Mbak …"
"Hmm … tapi jangan lama-lana, karena minggu besok aku pengin nengok ibu. Jadi, kuharap Mas Indra sudah bisa memberi keputusan. Dengan begitu, kita bisa langsung memboyong ibu kesini."
"Cobalah aku pertimbangkan nanti." Tetap saja, Indra terlihat keberatan dengan sebuah kemungkinan jebakan yang bisa saja sudah disiapkan Miranti untuk menjerat dirinya.
"Iya, Mas … tapi sebagai anak lelaki sulung, sebaiknya Mas Indra lebih memperhatikan Ibu. Bukankah seorang ibu akan menjadi tanggungjawab anak lelaki sulung, disaat beliau sudah tidak memiliki suami lagi?" akhirnya, keluarlah senjata pamungkas wanita tersebut.
---
Apa yang diperdengarkan dari kata Miranti, adalah merupakan sebuah serangan dahsyat yang langsung tertuju pada nuraninya. Karena apa yang dikatakan wanita tersebut, adalah sebuah kebenaran yang mutlak. Terlebih lagi, rasa tanggungjawab Indra memanglah akan selalu menggelora saat disinggung dengan terkait perasaannya pada sang Ibunda.
Dengan menyinggung hal yang tak dapat ia ingkari lagi, sepertinya Miranti memang sudah sangat berniat untuk mengajak Widuri tinggal bersama mereka. Dan apa yang kini sudah dikatakan itu, tentu saja telah saja membuat Indra menjadi terdiam tak berdaya.
Agar dapat mengalihkan perhatian Miranti, akhirnya pemuda itu pun mulai bertindak nekad. Karena untuk membuat sang istri melupakan maksud dan niatnya, tentunya ia harus terlebih dahulu menaklukkan hatinya. Dan satu-satunya jalan agar wanita tersebut menyerah pada seluruh kehendaknya, adalah dengan memberikan sedikit demi sedikit dari apa yang dimauinya.
Tak mau menunggu lebih lama hingga semua pembicaraan berkembang liar tak terkendali, Indra segera saja mulai untuk membuat istrinya menjadi lupa akan semuanya.
"Rileks, Mbak … sementara aku mikir, biarkan angan Mbak Mira mengembara pada hal-hal yang indah saja," demikian kata Indra sambil mulai memijat bagian depan kaki jenjang halus tersebut.
"Hu uh … aku memang benar-benar ingin melepaskan semua ketegangan ini. Tapi, Mas Indra harus sambil mikirkan Ibu juga. Aku harap, Ibu bersedia menemani Chaca disini," jawab Miranti seolah tanpa sadar, sambil memejamkan matanya untuk menikmati kembali pijatan. Dengan pasrah, ia mulai menikmati remasan serta urut lembut yang dilakukan pada bagian telapak kakinya.
Mencoba untuk bersantai, Miranti berusaha untuk sepenuhnya larut dalam sensasi rileks yang tengah diberikankan oleh si pemuda. Karena dalam pijatan lembut dan usap perlahan tangan-tangan Indra, pada akhirnya telah menghadirkan layaknya sebuah belai yang membuat dirinya hanyut dalam rasa penuh ketenangan.
Karena itulah, ia hanya terlihat menurut dan mandah saja untuk diperlakukan apapun seperti yang diinginkan oleh sang pemijat. Bahkan saat kakinya diangkat untuk menapaki kasur hingga jadi dalam posisi menyiku, iapun tetap pasrah untuk tenggelam dalam kenyamanan.
Jemari lembut yang memijat ringan dan menelusuri otot betisnya, dengan perlahan menari hingga sampai lututnya yang tertekuk keatas. Namun dalam lamunan sang wanita yang tengah menikmati serta meresapinya, tangan si pemuda bahkan malah lebih terasa seperti tengah membelai dengan mesra sepanjang kaki bawahnya.
---
"Shhh ..." tanpa sadar, wanita itu mendesah saat ia mengambil napas panjang. Sebab sensasi kemesraan yang mendadak saja telah menjadikan perasaannya nyaman, kini telah seketika melingkupi dirinya.
"Kenapa, Mbak?" Tanya si pemuda yang sedikit terkejut dengan reaksi Miranti. Karena sejujurnya saja, Indra juga tengah berusaha untuk tetap fokus agar pikirannya tidak melenceng dari tujuan semula.
Namun, sesaat kemudian ia jadi tersadar. Karena dari kesalahan perbuatannya sendiri, sebuah pemandangan lain malah telah saja menjadi semakin mendebarkan hatinya. Akibat lutut Miranti yang ia posisikan sedemikian rupa, hal itu malah membuat kain yang semula menutupi kedua paha malah jadi terbuka. Sehingga, dengan sendirinya telah semakin menampakkan kehalusan kulit yang semantara tadi masih tertutup dengan rapat.
"Hhh ... nggak papa. Pijatanmu enak. Rasanya malah jadi lemes dan ngantuk ..." jawab si wanita secara asal.
"Merem aja, istirahatlah ... buat tubuh Mbak Mira senyaman mungkin," jawab si pemuda dengan napas sedikit bergetar.
"Hu um ..." sambil berkata demikian, wanita itu kembali memejamkan matanya.
Sembari tetap berlutut di depan kedua kaki Miranti, Indra segera meneruskan pijatannya dengan berpindah untuk melakukan hal sama pada kejenjangan lembut kaki sebelahnya. Disana, ia kembali mengurut dan memijat sepenuh perasaan. Lalu seperti yang terjadi sebelumnya, iapun melihat sang wanita seperti menahan napas dan menghembuskannya kembali dalam desah lembut tertahan.
Hingga beberapa saat kemudian, terdengar kembali suara sang pemuda yang memecah keheningan,
"Mau dipijat yang atasnya juga?" Dengan sedikit ragu, Indra meminta ijin pada istrinya untuk meneruskan pijitan pada daerah atas lutut. Karena baginya, daerah tersebut adalah merupakan area yang sangat intim, sehingga akan terasa kurang sopan jika ia tak mendahului untuk meminta perkenan terlebih dahulu.
"Hu um, boleh ... disitu malah rasanya pegel dan tegang banget," jawab Miranti cepat dengan tanpa berani menatap mata suaminya. Lalu saat si pemuda menoleh padanya, sekilas ia malah melihat jika wajah putih Miranti telah terlihat jadi sedikit memerah.
Saat Indra tak juga bergerak, agaknya Miranti seperti bisa membaca keraguan dari pemuda tersebut. Karena itulah, ia kembali berkata,
"Jangan ragu atau malu, Mas ... bukankah aku istrimu? Kalau kamu sungkan, aku malah jadi tersinggung karena kau begitu menganggapku sebagai orang lain." Demikian ucap kembali sang istri tanpa mau memandang wajah suaminya.
"Oh, enggak ... kamu memang istriku. Walau tak kau kehendaki selamanya, tapi itu akan sama istimewanya dalam hatiku." Dengan cepat, Indra menjawab agar tak menjadikan bertambahnya salah paham.
"Hmm ... kalau kamu menganggapnya sama, mengapa juga masih canggung untuk menjamah tubuhku?" Kata-kata yang nakal, Miranti langsung saja menyahut. Hanya saja anehnya, ucapan tersebut tak berani dikatakan secara terus terang sambil menatap mata.
"Iya, iya ... nih, udah aku pegang. Tadinya kan lagi mikir mau diurut dari bawah atau atas," merasa tersindir, langsung saja Indra mendaratkan tangannya diatas lutut Miranti. Sementara yang terjadi dalam dirinya, adalah detak jantung yang kini mulai berpacu dengan lebih cepat dibanding biasanya.
---
Masih tetap dengan berlutut, pemuda itu mulai memijat ringan diatas paha putih yang serupa dengan kelembutan beledu hangat. Lalu yang menjadikan dirinya seakan tak akan dapat menguasai diri lagi, adalah kenyataan yang dapat ia lihat dari wajah sang pemilik kilit mulus itu sendiri.
Karena paras yang semakin merona tersebut, kini nampak memejamkan matanya dengan sebuah ekspresi yang sedemikian menggetarkan hatinya.
***