Jika bisa berlari dari situasi ini, Eve ingin sekali melakukannya sekarang juga. Kedatangan Jordan benar-benar membuatnya mati kutu. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa selain patuh pada perintahnya. Jika tidak... keberadaannya di sini bisa saja terancam.
"Ayo, angkat wajahmu," perintah Jordan.
Setelah cukup lama bimbang, akhirnya Eve mengangkat wajahnya yang saat ini terasa sangat hangat karena menahan malu. Tunggu, malu? Ya, dia malu karena masih mengingat kejadian siang tadi di air terjun.
Jordan mengulum senyum lagi. Wajah oval Eve terlihat sangat menarik baginya. Apalagi mata besarnya yang terlihat sangat berbinar, walau ada sedikit sayu.
"A-ada apa Alpha Jordan menemuiku? A-apakah hamba melakukan sebuah kesalahan?" Eve memberanikan diri untuk bertanya.
"Tidak. Kau tidak memiliki kesalahan apapun. Bukankah sudah kubilang bila aku yang akan menggantikan pelayan untuk menjawab semua pertanyaanmu?"
'Ah, sial! Aku benar-benar akan terjebak sekarang,' batin Eve memekik.
"O-oh, oke... tapi sepertinya hamba tidak perlu jawaban itu lagi sekarang."
Jordan memainkan mimik wajahnya. Pria itu sekarang tahu jika Eve merasa tak nyaman dengan keberadaannya.
"Kau bahkan mengusirku sebelum mempersilahkanku duduk," katanya masih dengan raut wajah yang terlihat menyenangkan. Tapi menakutkan bagi Eve.
Wanita muda itu kembali teringat ucapan Belleza barusan yang mengatakan jika Jordan sedang merasa kesepian. Pikiran kotornya tiba-tiba bermain di kepala.
'Tidak. Jangan. Tidak boleh. Mana mungkin ini bisa terjadi. Tapi apa dia benar-benar akan menjadikanku pengusir rasa sepinya?' batin Eve lagi.
"Bisa jadi," celetuk Jordan.
"M-maksud tuan?"
"Iya, aku bisa jadi akan menjadikanmu pengusir rasa sepiku," tukas Jordan.
Eve tercengang. "B-bagaimana bisa tuan...."
Jordan berjalan santai semakin mendekat ke depan Eve berdiri. "Boleh aku duduk?" tanya sang Alpha.
Ia menunjuk sofa panjang berwarna cream di sampingnya.
Eve lantas mengangguk cepat. Ia benar-benar terjebak dan takkan bisa melepaskan diri lagi kali ini.
"Apakah Belleza belum memberitahumu?" Jordan berbicara tanpa menoleh ke arah Eve yang berdiri tegak di samping sofa. Cara Eve berdiri sudah seperti seorang pelayan yang siap dengan segala titah sang Alpha.
Meski belum mengerti maksud dari pertanyaan Jordan, Eve memilih untuk menjawab, "s-sepertinya belum, tuan."
Jordan mengulum senyum penuh kebanggaan, seraya menatap Eve yang sedang menunduk memandangi kedua kakinya yang terbungkus kaus.
"Setiap werewolf pasti memiliki kemampuan istimewa, dan sebagai seorang pemimpin, aku tentu memilikinya. Tanpa memberitahumu, kau bisa menduga kemampuan istimewaku bukan?" kata Jordan seolah memberi teka teki paling gampang bagi Eve.
"Membaca pikiran?" Dengan polosnya Eve mengucapkan kalimat itu dari mulut.
Jordan tertawa renyah mendengar jawaban Eve yang begitu polos. "Baiklah, aku mulai percaya jika kau memang werewolf yang baru saja datang ke dunia ini," tukasnya.
Eve menautkan sebelah alis, ia merasa Jordan salah menanggapi ucapannya barusan.
"Jadi apa yang ingin kau tanyakan padaku, Eve?"
"Emm... saya hanya merasa tidak sepantasnya mendapatkan perlakuan seistimewa ini, tuan. Bagaimana bisa saya yang hanya pendatang baru memiliki ruangan yang jauh lebih luas dari werewolf lain yang telah lebih lama tinggal di sini?"
"Maksudmu Belleza?"
"B-bukan hanya Belleza, t-tapi... bagaimana dengan werewolf yang lainnya juga tuan?" Meski merasa sedikit canggung, Eve cukup baik dalam berkomunikasi dengan Jordan.
Jordan menyunggingkan senyuman tipis ke arah Eve yang masih saja menunduk. Namun tak sengaja tatapn Eve menangkap kedua manik Jordan yang sedang memperhatikannya. Seketika ia bergegas mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia merasa semakin canggung dan sangat malu. Benar-benar aneh. Seolah Jordan satu-satunya pria yang pernah ia temui dalam hidup ini.
"Aku adalah sang Alpha, Eve. Jadi semua keputusan tergantung dariku. Dan rakyat yang berada di bawah titahku tak dapat mengelak darinya."
Bibir Eve terkatup rapat. Kalimat Jordan barusan terasa begitu kuat, bahkan seolah menusuk masuk ke dalam jantungnya. Werewolf jantan ini benar-benar menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
"Jadi, jika ada werewolf lain yang mencoba protes atau menyakitimu dengan perkataannya, kau bisa memberitahuku," lanjut Jordan.
Eve memejamkan kedua matanya dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Ketika dulu ia hidup bersama Noah, hanya pria itu satu-satunya tempat ia bergantung dari gangguan manusia lainnya di luar sana. Namun setelah mengetahui jika dirinya bukanlah seorang manusia biasa, perlakuan yang ia alami sangat jauh berbeda.
'Apakah aku ditakdirkan untuk menerima semua perlakuan sebaik ini di kehiduoan keduaku ini?' batinnya, tanpa ingat jika Jordan bisa membaca apa yang diungkapkan hatinya.
Jordan kembali mengulum senyum tipis. Sang Alpha berwajah teduh dan menyenangkan ini senang mendengar pikiran Eve kali ini. Jadi ia merasa tak salah pilih untuk mengistimewakannya. Meski sampai detik ini ia belum tahu pasti siapa Eve sebenarnya.
"Baiklah, selamat beristirahat Eve. Semoga tidurmu nyenyak," ucap Jordan lantas beranjak dari sofa.
Belum sempat Eve mengucapkan terimakasih, ia telah melesat jauh meninggalkan tempat itu. Sementara si pelayan yang tadi mengantarkannya ke tempat ini datang kembali.
"Mulai malam ini, saya yang akan menjadi pelayan anda, nona Eve," ucapnya tiba-tiba.
'Hahh? Kejutan apalagi ini?'
Eve mengusap wajah dengan frustasi, seraya mengangkat kedua tangan ke udara. Ia sudah tak punya waktu untuk memperlihatkan ekspresi keheranannya lagi. Tubuhnya sudah cukup lelah dan ia hanya ingin beristirahat saja.
***
"Eve...."
"Eve...."
"Kumohon... kau hanya ditakdirkan untukku. Kau hanya akan menolongku. Jangan terbuai oleh yang lain...."
Eve tak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya. Seolah ada beban berat yang tiba-tiba menindih tubuhnya dengan sangat kuat. Ia ingin terbangun dari lenguhan-lenguhan permintaan tolong itu lagi. Ia tak bisa meneruskan mimpi buruk ini lagi. Bahkan ini yang terburuk. Eve tak dapat melihat siapa dia. Siapa yang sedang mengajaknya berbicara. Ia hanya bisa mendengar lenguhan menyakitkan itu. Suara yang terus menerus menyebut namanya.
'Tidak! Aku harus bangun! Bangunlah Eve!'
'Seseorang! Kumohon tolonglah! Tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini!'
"Haaahhh... haaahhh... haaahhh...." Eve tersengal sangat kelelahan.
"Ada apa nona? Tubuh anda sangat berkeringat. Bahkan pakaian yang anda kenakan basah kuyup!" Pelayan yang dari semalam menemani Eve membangunkannya.
Eve mengusap wajah dengan kedua tangan. Ia belum bisa berpikir jernih. Pelayan itu benar. Bahkan seluruh helai rambutnya basah, seperti baru habis keramas.
"Bisa tolong ambilkan minum?" pintanya.
Pelayan itu bergegas mengambil segelas air dan memberikannya pada Eve.
"Nona baik-baik saja?" tanyanya setelah Eve menandaskan seluruh isi gelas.
Eve mengangguk tanpa menatap ke arah pelayan. Namun kedua maniknya menatap ke arah jendela kamar yang tertutup rapat oleh gorden berwarna putih tulang.
"Ini masih tengah malam, nona," ucap si pelayan seolah mengetahui isi pikiran Eve.
***
Bersambung.