"Kau yakin tuan?"
"Iya, Sam. Kau tak perlu memberiku ramuan itu lagi. Kedatangannya sudah dekat," ucap Adam dengan suara serak.
"Aku yakin dia ditakdirkan untukku."
Sammy mengangguk takzim. Mulai hari ini Adam telah memutuskan untuk berhenti meminum ramuan penghilang rasa sakit yang telah ia konsumsi selama seratus tahun terakhir. Sehingga hari ini kedua matanya bisa terbuka menatap keadaan sekitar. Walau masih sedikit kaku.
Jika berdasarkan penjelasan tabib di pegunungan utara yang Sammy temui, sang pembuat ramuan, seharusnya Adam tak bisa bertahan selama ini. Namun entah karena kekuatan yang dimiliki tubuhnya atau kuatnya tekad untuk hidup kembali yang bisa membuatnya bertahan hingga sekarang.
"Istirahat lah dulu, tuan. Jangan memaksakan tubuh anda untuk bergerak." Sammy mencoba mengingatkan.
"Ekhhh...." Adam mengerang menahan rasa sakit. Selama beratus-ratus tahun, hanya itu yang dapat ia lakukan. Bertahan.
"Sammy...."
"Iya tuan?"
"Luna itu adalah harapanku satu-satunya. Jika kita tidak bisa mendapatkannya, maka hidupku akan segera berakhir. Aku tidak akan mencoba bertahan lagi. Aku hanya perlu mengakhirinya," ucap Adam sedikit terbata sembari menahan rasa sakit.
Sammy terdiam. Kebencian pada sosok seorang Luna belum bisa padam. Kejayaan The Lunar Pack yang pernah mereka genggam bersama runtuh begitu saja semenjak sang Luna tiba-tiba memilih pergi meninggalkan sang Alpha. Bagaimana bisa Adam dengan mudah kembali menginginkannya?
"Kau masih membencinya?" tanya Adam. Ia tahu selama ini Sammy lah yang paling tidak setuju dengan keputusannya mencari sang Luna. Namun ia pun sadar jika Sammy lah satu-satunya yang bisa ia andalkan.
"Maafkan saya, tuan." Hanya itu yang bisa Sammy ucapkan. Dia tak sanggup berbohong. Lagipula takkan berguna. Semua orang seisi istana pun tahu betapa bencinya ia.
"Aku juga meminta maaf, karena hanya kau yang bisa kupercaya untuk mendapatkannya," tatap Adam pada Sammy tegas.
"B-baik, tuan." Sammy gelagapan. Bagaimanapun juga ia takkan bisa mengelak dari perintah Sang Alpha.
Sammy harus mengenyampingkan rasa benci yang memenuhi hatinya. Hari ini juga, ia akan berangkat memimpin pasukan menjelajah ke dalam hutan, guna mencari sang Luna.
"Semoga kau berhasil mendapatkan sang Luna," lirih White Oracle sembari menatap punggung Sammy yang perkasa. Dia tak kehilangan sedikitpun kharisma walau kebencian menyertai perjalanannya.
Bahkan baru kali ini ia pergi tanpa mengucap sepatah katapun pada White.
***
"Kau mendapatkan fasilitas spesial dari Alpha Jordan? Bagaimana bisa? Waw... aku yakin dia sangat tertarik padamu."
"Ramuan yang kuberikan selalu kau minum bukan?"
Eve mengembuskan nafas berat, lantas mengangguk. Tentu saja. Tak pernah lupa barang sedikitpun. Aroma tubuhnya bisa sangat berbahaya jika diendus Jordan. Karena dia seorang Alpha, mudah saja baginya menyerang Eve tanpa basa basi sekalipun.
"Bagaimana aku bisa tahu tentang sang alpha sejati yang harus menaklukkanku?" tanya Eve.
Belleza menggeleng. "Entahlah. Kurasa... tergantung bagaimana nuranimu menerimanya. Bagaimana keyakinanmu padanya," jawabnya sekena.
"Aku bukan seorang Luna, Eve. Aku tak bisa memberikan jawaban yang lebih baik."
"No way. Tapi kau bukannya mate dari Alex?"
Belleza terlihat kikuk dan canggung. "T-tentu saja. Memangnya ada apa dengan hal itu?"
Eve menyunggingkan senyum tak percaya, karena Belleza bisa salah tingkah hanya karena ia menyebut nama Alex di hadapannya.
"Bukankah sama saja cara setiap mate saling menemukan? Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya. Mendebarkan? Atau kah... canggung?"
Belleza membuka matanya lebar-lebar. Memelototi Eve mengerikan. "Kau sudah tahu jawabannya, mengapa bertanya?"
"Sebelum tahu jadi diriku adalah seorang werewolf, aku hanya manusia biasa, Belle. Kau tahu? Kupikir perasaan seorang werewolf bisa berbeda?"
Belleza menepuk jidatnya seraya beranjak dari sofa yang semalam diduduki Jordan. "Sama saja. Kalian hanya perlu saling tertarik, lantas jatuh cinta dan menjadi gila karenanya."
Eve kini terkekeh geli dengan jawaban ketus Belleza. Membuatnya sejenak menghentikan aktivitas mengukus hati rusa yang sudah tersedia di dalam lemari pendingin.
"Apakah kau dan Alex sedang bertengkar? Mengapa sensitif sekali dengan pertanyaanku?"
"Eeerrrghh... walau kami tetap saling bercinta, kami juga tetap saling bertengkar dan saling menunjuk satu sama lain. Aku juga heran, mengapa bisa dia adalah mate-ku. Sementara kami seperti seekor anjing dan kucing."
"Hubungan akan terasa hambar jika tidak dibumbui pertengkaran, Belle." Eve kembali fokus pada pekerjaannya. Memasak.
"Entahlah. Berhenti mengoceh, Eve. Kita harus segera turun latihan. Dan mengapa masakanmu belum matang juga?"
Eve kembali terkekeh. "Sabar sebentar, nyonya. Aku sedang menyempurnakan rasanya."
Belleza menggeleng. Bukan karena masakan Eve yang lama matang, melainkan pada pesona yang dimiliki Eve sehingga Jordan begitu mudah memberikannya fasilitas sebaik ini. Selama beratus tahun menjadi rakyatnya, Belleza hampir tak pernah mendengar ada seorang werewolf yang diperlakukan seperti Eve.
Diam-diam ia menyimpan kekhawatiran pada Eve, jika benar bahwa Jordan tertarik padanya.
"Kau tahu, hati rusa tidaklah mudah didapatkan. Sepertinya kau benar-benar harus berhati-hati dengan Alpha Jordan," celetuk Belleza seraya menyantap hati rusa yang diletakkan Eve di atas wadah.
"Kau suka? Habiskan saja," tukas Eve lantas memasukkan selada saus keju ke mulutnya. Saat ini ia sedang tak ingin membahas tentang sang Alpha.
"Sungguh? Terimakasih banyak Eve...."
"Sebenarnya aku lebih suka yang mentah, tapi tidak apa-apa. Ini pun cukup menggugah selera."
Eve menggeleng sekaligus memperlihatkan raut wajah sedikit jijik. Dia hampir lupa jika Belleza adalah seorang penyihir.
"Jangan heran begitu. Bahkan ini lebih baik daripada aku memakan jantung manusia. Kau tahu, untuk menghormati manusia, vampir pun rela meminum darah binatang demi kelangsungan hidup mereka," ujar Belleza. Seolah tahu jika Eve jijik dengan makanan yang senang ia santap.
"Aku hampir lupa jika kau adalah seorang penyihir, Belleza."
***
Di tempat latihan, Alex sudah menunggu dengan baju tembaga di tubuhnya. Hari ini mereka akan melatih Eve cara bertahan dari serangan musuh. Karena itu hanya dia yang akan mengenakan baju pelindung. Sementara Eve tidak.
"Untuk bertahan dari serangan musuh, selain menggunakan kekuatan fisik, kau juga harus menggunakan otakmu," celoteh Alex memberi permulaan.
Eve mengangguk paham. Hal tersebut dirasanya cukup bisa dimengerti, karena selain pernah dilatih oleh Robert dan Melissa, kehidupan yang ia jalani sebagai manusia pun harus lebih banyak menggunakan taktik daripada kekuatan fisik.
Setelah Alex merasa cukup memberikan pengarahan, mereka lantas memulai latihan. Sementara Belleza seperti biasa menjadi penonton. Namun ketika Alex memberi aba-aba agar ia melakukan sesuatu, seperti memberi serangan, maka Belleza lantas beraksi.
Tanpa sepengetahuan mereka, dari balik menara istana, Alpha Jordan selalu memperhatikan setiap gerak gerik Eve. Sebagai seorang Alpha, ia seolah memiliki naluri bahwa Eve adalah werewolf yang berbeda dari yang lain.
"Apakah kau seorang Luna?" gumamnya tanpa sedetikpun berhenti menatap Eve.
***
Bersambung.