Terpaksa Menikahi Sang Residivis
Part 3. Keputusan Salim
By. Erin Marta Lina
"Krieeet " suara pintu terbuka hampir dini hari. Juragan Maskur hapal sekali, itu adalah Salim yang baru saja pulang dari mabuk bersama teman-temannya.
"Salim, duduk kemari!" titah Juragan Maskur kepada sang anak yang ternyata pulang dalam keadaan sadar dan tak ada sedikitpun bau alkohol.
"Apa lagi sih pak, aku mau istirahat. Capek aku" ucapnya berjalan lurus ke kamar tanpa menghiraukan ucapan sang bapak.
Juragan Maskur mengikuti, tak biasanya ia masuk ke dalam kamar putranya itu. Ia duduk dan disambut dengan tatapan heran sang anak.
"Bapak ini apa-apaan sih, keluar sana. Aku mau tidur" bentaknya. Ia terbiasa berlaku tak sopan kepada sang bapak, tapi berbeda dengan sang ibu.
"Bapak ingin ngomong sama kamu" ucap Juragan Maskur.
"Ngomong bisa besok, aku ngantuk pak. Pengen tidur" jawabnya kasar.
"Sudah keluar sana" ucap Salim mendorong pelan sang bapak agar keluar dari kamarnya.
"Ibumu ingin kamu menikah" ucapan Juragan Maskur seketika membuat dorongan tangan Salim terhenti seketika.
"Ibumu ingin kamu menikah. Menikah dan memberikannya cucu" lanjutnya.
Hening beberapa saat. Salim mematung mendengar ucapan sang bapak. Hanya beberapa kali dalam hidupnya sang ibu memiliki permintaan kepadanya. Bahkan bisa dihitung jari. Kedua orang tua Salim tak pernah memaksakan kehendak setiap langkah yang akan diambilnya, hal itu juga yang membuatnya menjadi pemuda urakan dan penuh cerita kriminal. Lantas bagaimana sikap orangtuanya ketika mendapati Salim keluar masuk penjara mencapai 18 kali di usianya yang belum mencapai kepala tiga? Kecewa, sedih, menyesal tentu terbesit dalam benak Bu Winda dan Juragan Maskur, tapi lagi-lagi mereka hanya diam. Aneh bukan?
Terakhir kali sang ibu memiliki permintaan kepada Salim yakni saat ia berusia 18 tahun, setelah lulus sekolah menengah atas. Salim berencana ingin bekerja ikut bisnis bersama teman-temannya, namun sang ibu meminta agar Salim melanjutkan kuliah jurusan Bisnis di salah satu universitas di Jakarta. Salim menurutinya, meski tak sampai ia mendapatkan ijazah, ia sudah di drop out pihak kampus karena kedapatan menyalahgunakan narkoba bersama geng motornya. Setelahnya Bu Winda nampak acuh terhadap Salim.
"Aku gak bisa pak" ucap Salim terduduk pada kasur king size miliknya.
"Bapak sudah bilang pada ibumu tentang keputusan bahwa kau tidak mau menikah, tapi entahlah. Jika kau mau berbicara berdua dengannya itu akan lebih baik" jawab Juragan Maskur seperti tahu isi hati sang putra satu-satunya.
"Besok aku akan bilang pada ibu, sekarang aku ingin istirahat" ucap Salim. Sang bapak lantas beranjak dari kamar sang putra.
Terlihat tato naga dengan mata hijau tergambar gagah pada punggung lelaki yang tengah melepas kaos hitam miliknya. Luka sayatan di lengan, dada, dan punggung yang sudah mengering namun membekas itu seolah menceritakan bahwa sang pemilik tubuh sudah kenyang makan dunia kejam penjara. Ya dia adalah Salim, pemuda tampan, gagah, sixpack, dengan julukan the black world conqueror (sang penakluk dunia hitam) itu tengah membasahi tubuhnya dengan guyuran shower. Ia begitu jengah dengan masalah hidupnya yang seakan tak ada habisnya. Dunia gelap yang terlanjur ia selami, mau tak mau harus ia pertanggungjawabkan, dan kini harus ada permintaan konyol sang ibu. Ia harus menikah. Oh, shit !
***
"Mbok, mana sarapan untuk ibu?" Tanya Salim pagi ini kepada Mbok Wati, asisten rumah tangga di keluarganya.
"Eh, Mas Salim. Tumben. Ini mas, simbok siapkan dulu" jawab Mbok Wati mengambil nasi goreng bawang kesukaan nyonya di rumah ini.
"Ini mas, tumben Mas Salim sendiri yang mau nganterin makanannya ibu?" Tanya Mbok Wati yang hanya dijawab senyuman singkat oleh Salim. Sudah biasa.
*Tok ... Tok ... Tok " Salim mengetuk pintu yang tentu saja penghuni di dalamnya tak akan membukanya, karena seminggu terkahir sang ibu hanya mampu terbaring di ranjang.
Salim masuk, mendapati sang ibu sudah bangun. Perawat yang khusus merawat sang ibu sedang sarapan, jadi kini hanya ia dan Bu Winda hanya berdua.
"Salim..." Ucap sang ibu kala mendapati putranya meletakkan senampan sarapan untuknya.
"Iya Bu, Ibu sarapan dulu ya" jawab Salim. Terdengar berbeda nada bicaranya. Halus sekali. Senyum mengembang tulis pada wajah sang ibu yang terbaring lemah.
"Aku suapin Bu" ucap Salim sambil menyuap sendok berisi nasi ke dalam mulut wanita yang telah berjuang melahirkannya.
Bu Winda mengulas senyum, hal langka dalam hidupnya. Suapan demi suapan telah masuk ke dalan mulut sang ibu hingga nasi goreng itu tandas tak bersisa. Jarang sekali Bu Winda menghabiskan makanannya, tapi karena pagi ini sangat spesial, putra tercintanya yang datang dan menyuapinya langsung maka Bu Winda bahagia sekali hingga tak terasa nasi goreng bawang kesukaannya tandas tak bersisa.
"Kamu sudah dengar dari bapakmu bukan?" Tanya sang ibu setelah meneguk air putih yang diberikan Salim kepadanya.
Salim hanya mengangguk mendengar tanya sang ibu.
"Usia ibu sudah tak lama lagi nak, di dunia ini hanya kamu anakku. Penyakit gagal ginjal ini rasanya sudah terlalu bersenang-senang menggerogoti tubuh ibu hingga sedemikian buruknya" ucap Bu Winda menunjukkan bekas ratusan tusukan jarum suntik pada lipatan lengannya. Salim menyambut lembut telapak tangan kurus nan lembut itu.
"Ibu ingin, kamu menjadi lelaki seutuhnya. Menikahlah dan miliki anak-anak yang banyak dan lucu. Berikan ibu cucu selagi Tuhan masih berkenan ibu bernafas" lanjut Bu Winda, mau tak mau membuat Salim menatap mata sayu itu dalam-dalam.
"Tapi Bu..."
"Jangan berpikir sesuatu yang belum tentu akan terjadi, pasti ada perempuan yang mau denganmu" potong sang ibu kala mendapati keraguan dalam mata sang putra.
"Menikahlah dengan perempuan solihah yang akan memberimu keturunan putra putri baik dan paham agama juga, paling tidak mereka lah yang akan memperbaiki harus keturunan dalam keluarga ini"
"Bapakmu, telah memberi makan kita dengan uang haram. Darah dan daging yang mengalir dan tumbuh dalam tubuh keluarga ini bukanlah dari nafkah yang baik, maka ibu mohon padamu. Kekuarlah dalam lingkaran haram ini nak" ucapan sang ibu pelan, namun mampu membuat hati kecil Salim seakan tersentil dan sadar akan sesuatu yang selalu berusaha ia tepis selama ini.
"Tapi Bu, aku tak ingin menikah. Aku tak ingin menyakiti wanita yang kelak menjadi istriku dengan berbagai kehidupan kelam yang bahkan sampai saat ini masih meliputiku Bu" ucap Salim pelan, jujur.
"Kamu pasti bisa nak, carilah wanita solihah yang mampu menerima dirimu, bertahan meski kau akan goyah dalam setiap ujian kehidupan" nasihat sang ibu.
"Tapi Bu... Mana ada wanita seperti itu yang mau dengan lelaki mantan narapidana sepertiku" Salim berkecil hati.
"Ada ... Pasti ada... Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, dan kamu pun juga akan menikah" ucap sang ibu penuh kepastian.
Salim diam dengan kemelut dalam pikirannya. Ini lebih berat daripada berusaha membelokkan niatan bandar nark*ba untuk menjual barang haram kepada pesaingnya.
****
Di rumah sakit
"Kami akan mencicil hutang itu" jawab Pak Markadi asal, ia sudah sangat penat pikirannya.
"Oh sepertinya itu mustahil. Akan sangat lama dan semakin banyak bunganya jika kau bayar dengan mencicilnya. Aku berharap kau bisa memberi kesempatan kepada putrimu yang lain untuk menggantikan posisi kakaknya. Muehe he he he he" ucap Juragan Maskur. Pak Markadi mengangkat kepalanya yang tertunduk. Menatap mata sang lelaki tambun dengan amarah luar biasa.
"Maksudmu apa? Geram Pak Markadi mendengar penuturan rentenir tak punya hati ini.
"Kenapa kalian terus saja mendesakku? Sudah tidak laku kah anak lelakimu ini heh, sampai-sampai kau paksa anak-anakku untuk menikah dengannya? Orang-orang yang berhutang padamu tentu juga banyak, kenapa, kenapa hanya aku yang kau buat sengsara sedemikian heh?" Sentak Pak Markadi tak habis pikir dengan ucapan Juragan Maskur.
"Sudahlah, hutang-hutangmu itu tak akan lunas meski kau berlaku kasar terhadapku. Maka, segeralah ambil keputusan. Anakmu Zulfa sedang koma, maka nikahkan adiknya dengan anakku Salim" ucap Juragan Maskur dengan pongahnya.
"Kurang ajar" Pak Markadi melayangkan tinju kepada Juragan Maskur, Salim yang baru saja kembali dari kamar mandi langsung melerai agar tak sampai terjadi baku hantam kedua pelaku hampir senja itu.
"Cukup pak, cukup. Aku tak akan menikah. Aku tak mau menyakiti orang lagi. Biarkan aku memilih pilihanku sendiri!" Sentak Salim kepada Juragan Maskur yang masih syok atas serangan tiba-tiba Pak Markadi.
"Tidak Salim, kau harus menikah dengan keturunan Pak Markadi titik. Tak ada yang bisa menentang itu!" Tegas Juragan Maskur
"Dan kau Pak Markadi, jika kau tak mau menikahkan salah satu putrimu dengan Salim anakku, maka rumah yang kau tempati beserta ladang satu-satunya sumber pencaharianmu akan kusita" ancam Juragan Maskur. Lantas bapak dan anak itu beranjak meninggalkan Pak Markadi dan Bu Masita yang masih geram dengan sikap semena-mena si rentenir tak punya hati.