"Aku..aku hamil anak Jeffrey" ucap Zoey menundukan kepalanya seakan ingin mengeluarkan air mata. Setelah mengatakannya, Ia benar-benar takut. Ruangan seketika menjadi sepi, tak ada yang mengeluarkan suara sampai terdengar suara—
—Plakk!
Zoey menutup mulutnya yang menganga mendengar jelas kerasnya tamparan di wajah Jeffrey dari Jeremy.
"Berani-beraninya kamu terus mempermalukan keluarga kami" ucap Jeremy kembali menampar wajah Jeffrey. Genggaman tangan Jeffrey kini lepas dari Zoey. Melihatnya mata Zoey memanas, Ia tidak bermaksud seperti ini. Dia pikir perkataannya akan menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan keluarga Jeffrey. Tapi ini semakin memperburuk suasana.
Jeremy terlihat mencari sesuatu, Ia berjalan menuju sudut ruangan yang terdapat stick golf. Sampai di depan Jeffrey lagi, Ayahnya ingin memukul Jeffrey dengan stick golf tersebut. Zoey segera memeluk Jeffrey dari depan agar Jeremy tidak dapat memukul anaknya. Beruntung Dion menghentikan tangan Ayahnya yang ingin memukul Jeffrey.
Zoey merasa sangat bersalah mengatakan hal itu. Air matanya menetes begitu melihat wajah Jeffrey yang diam saja tetapi matanya menyimpan rasa sakit. Tidak hanya Zoey yang meneteskan air mata, Hana sudah menangis sejak tadi. Sedangkan Clarissa terdiam di tempat, dia sangat terkejut dengan kejadian yang terlalu cepat terjadi di depannya.
"Ayo" Jeffrey meraih tangan Zoey untuk ia genggam kembali dan mengajaknya keluar. Genggaman Jeffrey sangat keras di tangan Zoey. Dengan kasar Jeffrey menyeret Zoey bersamanya hingga masuk ke dalam mobil. Zoey tidak berani berkata, Jeffrey sangat marah. Benar-benar marah dan Zoey tidak tahu harus apa dalam situasi ini.
Jeffrey terus berjalan dengan langkah cepatnya masuk ke dalam apartemen. Zoey pun mengikuti di belakangnya. Ia melupakan topi dan maskernya dan Zoey tidak mempedulikan itu sekarang. Ia hanya berpikir bagaimana cara menghentikan amarah Jeffrey.
Sesampainya di dalam apartemen, Jeffrey menghentikan langkah secara mendadak membuat kepala Zoey membentur punggungnya. Jeffrey membalikan badan menghadap Zoey.
"Zoey.." panggil Jeffrey karena Zoey hanya menunduk saat ditatap bahkan Zoey masih terisak.
"Maaf, Maaf, Maaf..gue menyesal mengatakannya, Maaf.." ucap Zoey. Jeffrey menangkup wajah Zoey dan membuatnya saling bertemu tatap.
"Lo berbohong?" Jeffrey bertanya dengan pelan. Zoey menganggukan kepalanya. "Gue pikir dengan ngomong kaya gitu, orang tua lo akan percaya pada kita dan akan berhenti menanyakan pertanyaan berulang kali.." ucap Zoey.
"Gue bodoh banget gak memikirkannya lagi, Maaf.." ucap Zoey kembali terisak. Dia menyesal, sangat menyesal. Melihat wajah Jeffrey yang merah dan terdapat goresan luka mengingatkannya pada saat mereka sekolah. Begitu mereka menjadi teman, Zoey beberapa kali mendapati wajah Jeffrey yang memar. Pikirnya Jeffrey adalah anak brandal yang suka mencari keributan dengan siswa lain namun, semakin dekat dengan Jeffrey, Zoey tidak pernah melihat Jeffrey berkelahi sampai akhirnya dia tahu bahwa luka itu berasal dari Jeremy dengan alasan nilai Jeffrey yang turun dan tidak berada di peringkat pertama.
"Pasti sakit" Zoey berkata menyentuh pipi Jeffrey. "Maaf..seharusnya gue berpikir panjang mengetahui temperamen ayah lo.."
Jeffrey tidak mengatakan apapun, dia meraih Zoey ke dalam pelukannya. Entah sejak kapan tetapi Jeffrey benci melihat air mata sedih dari Zoey. Tatapan khawatir Zoey padanya itu berhasil menyentuh hati kecilnya. Ia juga ikut merasakan sakit mendengar isakan tangis Zoey dan pelukan Zoey saat ini bisa menenangkannya, setidaknya Jeffrey tahu kemana dia akan bersandar.
"Maaf.." ucap Zoey lagi balas memeluk Jeffrey. Siapapun yang melihat keduanya akan menyangka bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang sedang saling menguatkan. Tetapi sekali lagi mereka bukanlah sepasang kekasih, mereka tidak saling mencintai, mungkin.
Selesai dengan saling memberikan pelukan semangat, saat ini keduanya duduk di sofa, Zoey sedang mengompres pipi Jeffrey dengan es yang dibalut kain.
"Beberapa bekas luka di punggung lo, apa itu dari Papa lo juga?" Zoey bertanya, Ia menaruh pandangannya pada mata Jeffrey.
"Hm" balas Jeffrey singkat. "Kenapa? Lo kaget ya kalo Papa gue belum berubah juga dari dulu? Emang mungkin gue aja gak pernah ada di ekspektasi Papa" jelas Jeffrey.
"Kenapa lo gak mengobatinya dengan benar? Luka itu berbekas pasti karena gak langsung diobati" ucap Zoey.
"Gak ada yang bantu gue buat obati lukanya" ucap Jeffrey. Zoey terdiam menatap ke dalam mata Jeffrey. Dia sudah mengenal Jeffrey sejak lama tetapi sepertinya banyak yang tidak diketahui tentang Jeffrey. Mereka memang sering bertemu tapi hanya untuk melakukan hal mengenangkan diri mereka tetapi, tidak ada obrolan untuk saling bercerita tentang kehidupan pribadi mereka saat ini. Ketika mereka masih bersekolah dan pertemanan mereka yang masih murni di sana lah keduanya menjadi teman curhat namun, semua itu telah berubah. Cara pandang mereka untuk memanfaatkan teman sudah berbeda, jauh berbeda dari kata polos dan murni bersahabat.
"Nanti gue obati luka lo, gak baik luka lama terbuka dan basah begitu dibiarin aja, emangnya gak sakit apa?" oceh Zoey yang diberikan reaksi tawa oleh Jeffrey. Sudah lama dirinya tidak merasakan ocehan Zoey seperti ini. Hangat. Begitu hangat hingga membuatnya teringat masa sekolah. Ingin Jeffrey mengulangnya dan mengubah masa lalunya. Tetapi, saat ini dia sudah terlanjur nyaman dengan dirinya yang bebas.
Drriinngg
Ponsel Zoey yang ada di atas meja berdering. Pandangan Zoey pun langsung berganti pada ponselnya. Dari sofa dia bisa melihat nama seseorang dari layar. Daniel menelfonnya, Zoey baru teringat malam ini dia akan berkencan bersama Daniel.
"Jawab saja. Janji lo sama gue cuma sampai membantu gue siang ini dan setelahnya lo bebas. Pergi aja kalau punya janji lain" ucap Jeffrey mengambil kain dari tangan Zoey untuk mengompres pipinya sendiri.
Zoey tidak berkata lagi. Dia mengambil ponselnya dan menjawab panggilan dari Daniel. Zoey melangkahkan kaki menjauh dari sofa.
"Hm? Aku sedang di rumah" jawab Zoey menolehkan kepala pada Jeffrey yang meletakkan kain es lalu mengambil ponselnya. "Iya, aku ingat janji kita, eum, okay" Zoey mengakhiri panggilannya. Ia pergi melangkahkan kaki kembali mendekati sofa.
"Gue pergi ya?" ucap Zoey.
"Hm" balas Jeffrey berdehem dan masih fokus pada ponselnya. Zoey pun mengambil tasnya di atas meja. Ia berjalan menuju kamar Jeffrey untuk mengambil jaket hoodie, topi, dan masker.
"Lo benar gak apa gue pergi?" Zoey bertanya setelah kembali dengan kostum penyamarannya.
"Hm" balas Jeffrey melirik sekilas pada Zoey. "Hati-hati" ucap Jeffrey. Zoey pun tersenyum tipis lalu melangkahkan kakinya keluar dari apartemen.
Zoey mengambil ponselnya ketika sampai di basement. Ia memikirkan kejadian tadi. Perkataannya memang asal tentang dirinya yang hamil. Tetapi mungkin saja itu benar karena dia tidak memeriksa dirinya sendiri. Tetap saja Zoey merasa sangat bersalah berkata seperti itu dan dia merasa untuk bertanggung jawab atas perbuatannya yang membuat kekacauan di keluarga Jeffrey dia akan menuruti keinginan Jeffrey jika itu sampai menikah.