Rasa pusing yang masih menjalar, semakin bertambah karena ocehan maut dari sebrang sana. Siapa lagi pelakunya selain Reva? Hampir satu jam dia menangis, membuat kepala Sean ingin meledak.
"Bisa kamu berhenti menangis?"
'Engga bisa, Sean, ga bisa! Aku masih dikacangin sama Ibu. Daritadi aku bicara, malah ditinggal.'
"...."
'Aku pusing, aku harus apa? Aku lebih baik di omelin tau ga? Kamu kenapa diam? Bosen ga mau dengerin aku lagi? Kamu yang bikin aku begini!'
"Kepala saya sakit, sekarang semakin sakit dengar suara kamu."
Tut!
Rasanya baru ini Sean mematikan sambungan telepon dari Reva, karena biasanya dia tidak pernah melakukan itu. Tidak perduli wanitanya akan marah, kepalanya lebih berharga saat ini.
Baru beberapa menit ponselnya mati, kini suara itu kembali terdengar. Sean tidak langsung mengangkat, dia diam menatap layar ponselnya. Kini di layarnya terpampang nama Jihan, bukan lagi Reva. Kalau tahu begini, Sean lebih ikhlas mendengar tangisan Reva selama lima jam!