Setelah makan siang di rumah kepala desa, anak-anak BEM pun kembali pamit untuk kembali ke rumah singgah. Mereka ingin beristirahat karna merasa lelah dan mengantuk, mungkin efek memindahkan karung-karung pasir yang beratnya mantap sekali. Lalu semuanya masuk ke dalam rumah singgah, hanya tersisa 4 orang saja yang masih berada di luar.
Ali, Fatimah, Putri, dan Aziz mereka sama sekali tidak masuk ke dalam rumah, hanya duduk di bale depan rumah singgah masing-masing. Hal itu tentu membuat Putri selalu saja menampilkan senyumnya, karna ia merasa senang bisa menatap Ali dengan sangat jelas. Fatimah yang menyadari hal itu langsung menyenggol Putri, lalu ia pun berbisik pada temannya itu.
"Mata di jaga ya, jangan mentang-mentang situasi mendukung langsung di liatin terus." Pesan Fatimah mengingatkan Putri.
"Sedikit aja kok, biar semangat jalani harinya." Balas Putri dengan senyum.
Fatimah menggelengkan kepalanya pelan, sepertinya temannya itu sudah terlalu kebawa perasaan dengan pria bernama Ali itu. Hingga setiap hal yang pria itu lakukan, selalu saja Putri perhatikan.
"Tapi ingat, masih belum muhrim. Jangan terlalu nafsu liatnya, zina itu jatuhnya." Tekan Fatimah lagi mengingatkan.
"Iya, aku tau kok. Tapi gimana ya? Susah nahan matanya, mau lihat kesitu terus." Jawab Putri dengan wajah heran.
Mendengar hal itu Fatimah jadi geli sendiri, ada-ada saja memang tingkah temannya itu. Terlalu drama dalam setiap hal yang berhubungan dengan pria bernama Ali, padahal pria itu sana tidak tau apa-apa tentang perasaan Putri yang luar biasa itu.
"Kamu terlalu lebay Ri, kalau seperti itu yang ada orang lain mikir kamu aneh." Balas Fatimah menegaskan.
"Loh kok aneh si?" Protes Putri.
"Ya karna kamu melihatnya tanpa berkedip, terus senyum-senyum lagi. Kamu pikir aja sendiri, siapa yang biasanya suka bertingkah seperti itu?" Jawab Fatimah memberi arahan.
Putri terdiam sejenak untuk memikirkan jawabannya, sampai akhirnya ia tau siapa orang yang di maksud oleh Fatimah itu.
"Orang gila?" Gumam Putri ragu.
Fatimah tersenyum mendengar perkataan Putri, sedangkan Putri malah menekuk wajahnya.
"Jahat ya, masa aku di samain sama orang gila si." Ungkap Putri.
"Aku tidak samain kamu sama orang gila kok, aku kam hanya memberi contoh. Tapi orang lain pasti akan berpikir seperti itukan kalau kamu melihat seseorang tanpa berkedip, terus senyum-senyum sendiri apalagi sampai tertawa. Pasti orang-orang akan langsung menjauhi kamu, karna mereka pikir kamu ya begitu." Jelas Fatimah dengan senyumnya.
"Iya deh iya, Fatimah memang selalu benar dan aku yang salah." Balas Putri dengan kesal.
"Kok marah si, aku kan hanya memberitahu sudut pandang orang lain saja." Keluh Fatimah.
"Tidak kok, tidak marah. Santai aku mah, santai." Balas Putri dengan senyum terpaksa.
Fatimah tersenyum lucu melihat wajah Putri yang menurutnya sangat menggemaskan, lalu ia pun menarik kedua pipi Putri berlawanan hingga Putri mengeluh dengan perbuatannya itu.
"Akhh, Ima. Sakit, stop." Keluh Putri pada Fatimah.
"Habisnya kamu gemesin sih, jadikan aku tidak tahan ingin menarik pipi kamu seperti ini." Jawab Fatimah tidak menuruti permintaan Putri.
"Tapi sakit, aduh pipi aku makin lebar nanti." Balas Putri dengan protesnya.
Sayangnya Fatimah tidak peduli, ia tetap menarik pipi Putri hingga akhirnya Putri mencoba melepaskan diri dan berlari ke dalam rumah. Fatimah langsung mengejarnya, mereka terlihat begitu akrab di sana. Bahkan Ali dan Aziz yang berada tidak jauh dari mereka ikut tersenyum melihatnya, anehnya mereka tidak sadar jika mereka ikut tersenyum melihat candaan dia gadis itu.
"Jadi tuan Ali, kenapa anda tersenyum?" Tanya Aziz tiba-tiba pada Ali.
"Hah? Loh, bukannya kamu yang tersenyum?" Balas Ali sambil menatap Aziz heran.
"Hah? Masa sih? Tidak ah, kamu yang tersenyum." Jawab Aziz tidak setuju.
"Tapi tadi aku lihat kamu yang tersenyum, kan?" Balas Ali tidak mau kalah.
"Loh emang iya? Kok aku tidak merasa?" Gumam Aziz bertanya-tanya.
"Sama aku juga tidak merasa jika aku tersenyum." Balas Ali dengan yakin.
Keduanya pun terdiam, saling memikirkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi semakin di pikirkan akan semakin jelas, jika sebenarnya mereka sama-sama tertarik dengan obrolan dua gadis itu.
"Oh iya Li, yang kamu suka itu Fatimah kan?" Tanya Aziz tiba-tiba membuat Ali jadi batuk seketika.
"Hah? Apa sih, kok nanyanya gituan?" Balas Ali pura-pura tidak mengerti.
"Ya aku cuma memastikan aja, karna aki juga suka sama salah satu di antara mereka. Jangan sampai kita salah paham karna hal ini, jadi sebelum terjadi lebih baik aku pastiin dulu." Ungkap Aziz langsung dengan serius.
Seketika Ali terdiam mendengar hal itu, mungkin memang benar apa yang Aziz katakan. Sebelum suatu hubungan menjadi rusak karna hubungan yang baru, lebih baik pastikan dulu semuanya. Apalagi permasalahannya melibatkan hati, pasti sulit sekali di selesaikan baik-baik.
"Belum ada kok, belum ada yang aku suka." Jawab Ali dengan yakin.
Aziz menatap Ali dengan tidak percaya, padahal ia tau jika tatapan mata Ali sudah terlihat berbinar saat melihat gadis itu. Tapi dia masih belum mengakuinya, tapi tidak masalah karna itu berarti perasaannya tidak akan terhalang oleh temannya itu
"Kalau suka mending langsung utarakan saja Li, nanti keburu di ambil orang loh. Jangan pacaran, tapi bisa komitmen kan?" Tekan Aziz pada Ali.
Setelah mendengar hal itu Ali pun langsung menatap Aziz dengan heran, lalu ia membalas perkataan temannya itu.
"Bagus sekali nasihatnya, tapi lebih baik untuk dirimu dulu baru setelah itu untuk aku." Balas Ali dengan santainya.
Seketika Aziz langsung terdiam sambil garuk-garuk kepala, rasanya seperti senjata makan tuan saja untuknya.
"Iya juga sih, ya tapikan harus usaha dulu. Siapa yang tau apa isi hati seorang gadis kan?" Jawab Aziz ragu.
"Good boy, aku tunggu kabar baiknya. Jangan lupa undangan harus premium ya? Makanan juga spesial." Balas Ali dengan senyumannya.
"Kejauhan Li kamu mikirnya, kenalan juga belum lama mana bisa langsung sebar undangan gitu. Butuh proses Li, masih panjang lagi masanya." Protes Aziz pada Ali.
"Ya siapa tau aja kan? Kalau jodoh, siapa juga yang bisa melarangnya?" Balas Ali penuh penekanan.
Lagi-lagi Aziz kalah, jika pembahasannya sudah menyangkut tentang Alqur'an dan hadis tentu saja Ali yang akan menang.
"Iya deh iya, pasrah aja." Putus Aziz akhirnya menyerah berdebat dengan Ali.
Sedangkan Ali hanya tertawa geli melihat Aziz yang menyerah begitu saja saat berdebat dengannya, padahal sebenarnya ia tidak begitu membuka perdebatan. Tapi tiba-tiba saja pembahasan mereka jadi begitu panjang, dan lebih seru lagi jika terus di lanjutkan.