Hari demi hari berlalu, kini Fatimah sudah lulus dari masa-masa kuliahnya. Namun sayang, niatnya untuk segera mencari pekerjaan harus tertunda sesaat karna sang ibu sakit.
"Bu, sudahlah ibu istirahat saja. Jangan memaksakan diri untuk terus bekerja, kan sekarang Ima sudah lulus kuliah. Jadi seharusnya Ima yang bekerja, bukan ibu." Usul Fatimah sambil memijat kaki sang ibu.
"Ma, ibu hanya kelelahan saja. Lagipula kan sayang pekerjaannya, tidak begitu banyak tapi gajinya lumayan. Apalagi majikan ibu juga baik sekali, ibu sudah benar-benar betah bekerja di sana Ma." Jawab bu Ira dengan penolakannya.
"Tapi kan ibu masih sakit, nanti kalau tambah parah bagaimana?" Balas Fatimah Khawatir.
"Insya Allah ibu baik-baik saja, kamu nya yang jangan terlalu berpikir aneh-aneh." Jawab bu Ira meyakinkan.
Fatimah menatap sang ibu dengan sendu, rasanya ia tidak tega untuk meninggalkan sang ibu di saat seperti ini. Tiba-tiba sebuah ide terlintas dalam benak Fatimah, ia pun tersenyum dan langsung mengutarakan ide tersebut.
"Bu, bagaimana kalau Ima bantu ibu bekerja?" Usul Fatimah pada sang ibu.
Bu Ira menaikan alisnya heran, lalu ia pun mempertanyakan maksud dari perkataan Fatimah itu.
"Maksud kamu?" Tanya bu Ira tidak mengerti.
"Ya aku bantuin ibu, agar ibu tidak terlalu lelah bekerjanya. Jadi bisa sambil jagain ibu, bisa sambil kerja juga. Bagaimana?" Jelas Fatimah dengan senyumannya.
Bu Ira terlihat berpikir, lalu ia menatap Fatimah tidak yakin. Entah bisa atau tidak, tapi mendengar perkataan Fatimah sepertinya cara itu lebih baik. Karna bagaimana pun juga tubuhnya bu Ira memang sedang lemah sekarang, jadi tidak bisa terlalu di paksakan untuk bekerja.
"Coba nanti ibu tanyakan dulu sama pemilik rumah ya?" Balas bu Ira belum pasti.
"Siap bu, Ima paham kok." Jawab Fatimah dengan senyumannya.
Pembicaraan pun selesai, lalu Fatimah lanjut memijat kaki sang ibu hingga wanita paruh baya itu tertidur dengan lelap. Setelah itu Fatimah langsung menarik selimut agar menutupi tubuh sang ibu, lalu ia melangkah keluar dari kamar sederhana itu.
.
.
.
Pagi hari yang baru, Fatimah sudah menyiapkan sarapan untuknya dan sang ibu. Hari ini juga ia sudah berpakaian rapi karna akan menemui bos dari ibunya, semoga saja Fatimah bisa ikut bekerja di sana agar ada pemasukan sekalian menjaga sang ibu yang sedang sakit.
Bu Ira keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi, lalu ia menyapa Fatimah yang sedang menuangkan air putih ke dalam gelas.
"Pagi nak." Sapa bu Ira.
"Pagi bu, ayo kita sarapan dulu." Jawab Fatimah dengan senyumnya.
Bu Ira mengangguk semangat, lalu ia duduk di salah satu kursi dan mengambil nasi juga lauk yang sudah di sediakan. Begitu juga Fatimah, ia duduk di kursi lainnya dan mengambil porsi sarapannya di piring. Sebelum menyantap sarapannya mereka terlebih dahulu berdoa, setelah selesai barulah makanan itu masuk ke dalam mulut mereka masing-masing.
"Subhanallah, masakan kamu memang yang terbaik nak." Puji bu Ira pada Fatimah.
Fatimah tersenyum mendengar pujian sang ibu, lalu ia pun membalasnya dengan pujian yang lain.
"Semua ini juga kan belajar dari ibu, dan masakan ibu jauh lebih terbaik daripada ini." Balas Fatimah dengan serius.
"Kamu ini memang paling bisa deh membuat ibu melayang, sudah ayo habiskan dulu sarapannya." Tekan bu Ira dengan gelengan di kepala.
Fatimah tertawa kecil, lalu ia pun mengangguk setuju dengan perkataan sang ibu. Lagipula, jika semakin lama mereka mengobrol semakin lama pula mereka selesai dari sarapannya. Sedangkan jam kerja itu di mulai pukul 8 pagi, tentu mereka tidak bisa bersikap sesantai itu mengingat saat ini jam menunjukkan pukul 7 lebih 30 menit.
Dan akhirnya, 10 menit kemudian Fatimah juga sang ibu selesai dengan sarapannya. Lalu mereka membersihkan piring-piring kotor itu sebentar, dan setelahnya langsung melangkah keluar dari rumah. Fatimah dan bu Ira berjalan kaki untuk pergi ke rumah mewah tempat bu Ira bekerja beberapa tahun ini, karna memang jarak rumah itu dengan rumah mereka hanya lewat 15 rumah saja atau sekitar 20 menit berjalan kaki.
Karna jarak yang dekat itu pula lah bu Ira mau menerima pekerjaan itu, apalagi pekerjaannya hanya mencuci pakaian, menyetrika, dan membersihkan rumah. Sedangkan untuk memasak itu sangat jarang, mengingat si pemilik rumah jarang berada di rumah.
"Oh iya bu, pemilik rumah itu seperti apa si orangnya?" Tanya Fatimah ingin tau.
"Baik kok, dan tidak begitu mengatur. Ibu juga hanya beberapa kali bertemu, karna majikan ibu itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga jarang berada di rumah. Kalau dulu paling ada anaknya, tapi tiga tahun yang lalu anaknya pergi keluar negeri untuk memulai pekerjaan. Jadi kalau pemilik rumah itu pergi, paling ibu hanya berdua dengan koki khusus di sana." Jawab bu Ira menjelaskan semuanya.
Fatimah mengangguk paham, ternyata cukup nyaman juga pekerjaan sang ibu. Tidak begitu banyak, dan bisa di jalani dengan santai. Kini, Fatimah menatap dengan kagum pada rumah mewah yang sedang ibunya masuki itu.
'Subhanallah, besar sekali rumahnya. Sungguh beruntung orang yang memiliki rumah ini, semoga suatu saat nanti aku bisa membawa ibu tinggal bersama di rumah sebesar ini. Amiin Ya Allah.' batin Fatimah terpesona.
Bu Ira menoleh ke belakang, ternyata Fatimah tidak ada di belakangnya. Bu Ira pun melirik sekelilingnya, lalu ia menemukan Fatimah masih berdiri di berdiri di taman kecil dengan wajah terkejutnya.
"Ma! Ayo masuk, kenapa malah diam di sana?" Panggil bu Ira pada Fatimah.
Seketika Fatimah pun langsung tersadar dari lamunannya, lalu ia melangkah cepat ke tempat di mana sang ibu berada. Lalu mereka masuk ke dalam, di sana bu Ira memberitahu beberapa ruangan-ruangan yang harus di bersihkan setiap hari. Setelah itu bu Ira juga menunjukkan cara-cara menggunakan mesin cuci, dan alat-alat lainnya. Lagi-lagi Fatimah di buat takjub dengan kemewahan isi dari rumah itu, sangat modern dan ternama.
"Hebat sekali ya bu barang-barangnya, sangat mewah dan mahal." Kata Fatimah mengutarakan kekagumannya.
"Ya namanya juga orang kaya nak, pasti barang-barangnya mewah dan mahal." Jawab bu Ira seadanya.
"Kalau aku si tidak akan seboros ini, sayang sekali kan uangnya. Padahal bisa untuk makan berbulan-bulan, untuk apa juga di belikan barang seperti ini?" Balas Fatimah tidak habis pikir.
"Sudahlah jangan terus di bandingkan dengan kehidupan kita, sangat jelas berbeda. Syukuri saja apa yang kita punya, sekecil apapun itu pasti akan terasa lebih baik." Tekan bu Ira mengingatkan.
"Oh iya Astagfirullah, kenapa aku jadi tidak bersyukur seperti ini ya?" Gumam Fatimah merasa bersalah.