Zaman Abu Bakar adalah zaman kritis di mana benih kemurtadan mulai merebak. Abu Bakar bertindak tegas dengan memerangi mereka. Muawiyah ikut salah satu pertempuran itu, yakni Perang Yamamah, perang melawan Musailamah si nabi palsu. Setelah pemberontakan internal selesai, kaum Muslimin mengalihkan pandangan mereka ke luar, yakni pembebasan negeri di sekitar mereka dari pemimpin zalim. Abu Bakar mengirim pasukan ke banyak tempat, salah satunya adalah Syam. Dalam kontingen pasukan Syam, ada salah satu pasukan yang dikomandani oleh Muawiyah.
Membuka Qaisariyah
Qaisariyah (sekarang קֵיסָרְיָה Caesarea, Palestina) adalah kota dekat Tel Aviv. Pada zaman Umar, Muawiyah ditugaskan untuk membebaskan kota ini. Namun, ternyata Qaisariyah memilliki benteng pertahanan dan pasukan yang sangat kuat. Setelah Qaisariyah dikepung dalam waktu cukup lama, Muawiyah pun berhasil menerobos kota tersebut. Dikatakan prajurit Qaisariyah yang tewas mencapai 100.000 orang.
Membuka Pesisir Syam
Mendengar keberhasilan saudaranya, Yazid bin Abi Sufyan yang juga seorang Gubernur Damaskus, meminta Muawiyah untuk ikut membebaskan pesisir Syam. Setelah bertarung melawan orang-orang Romawi, Muawiyah dan prajuritnya berhasil menang.
Menjadi Gubernur Yordania
Setelah Muawiyah membuktikan kekuatannya atas dua peristiwa sebelumnya, Umar mengangkatnya sebagai Gubernur Yordania pada 17 H.
Menjadi Penguasa Damaskus, Ba'labak, dan Balqa
Saudara Muawiyah, Yazid bin Abi Sufyan, meninggal karena wabah Tha'un pada 18 H. Sebagian ulama berpendapat Tha'un adalah wabah pes,[18] tetapi ada pula yang berpendapat Tha'un masih belum jelas termasuk kategori penyakit apa.[19] Untuk mengisi kekosongan, Umar bin Khattab menugaskan Muawiyah untuk menggantikan posisi saudaranya memimpin Damaskus, Ba'labak (Ballbek, Yordania), dan Balqa (Yordania).
Membagi Pasukan Islam
Bizantium dan Persia terus menyerang daerah perbatasan kekhalifahan. Untuk menahan hal itu, Muawiyah membagi pasukan menjadi dua, yakni pasukan musim panas dan pasukan musim dingin. Selain itu, Muawiyah menutup celah-celah di kota-kota perbatasan agar tak diserang. Muawiyah sempat memimpin penyerangan musim panas melawan Bizantium di 22 H.
Membangun Angkatan Laut Islam
Mayoritas kaum Muslimin pada saat itu adalah orang Arab. Mereka adalah orang-orang yang tidak akrab dengan laut. Namun, Muawiyah menyadari pentingnya angkatan laut dan pada zaman Umar ia mulai membangunnya. Sayangnya, Umar tidak mengizinkan Muawiyah memakai angkatan laut karena ia tidak mau kaum Muslimin habis ditelan laut (karena mereka tidak familiar dengan laut). Angkatan laut baru dipergunakan pada zaman Utsman bin Affan untuk membebaskan Cyprus.
Muawiyah di Zaman Utsman bin Affan
Menjadi Gubernur Penuh Syam
Sebagaimana Umar, Utsman bin Affan tidak memakzulkan Muawiyah. Bahkan, Utsman terus memberi Muawiyah kekuasaan sehingga Muawiyah menjadi Gubernur daerah mayoritas Syam. Ia menguasai daerah yang sangat luas dan telah menjadi gubernur Utsman yang paling berpengaruh. Di awal pemerintahan Utsman, di Syam ada beberapa gubernur, yakni Muawiyah bin Abu Sufyan, Umair bin Sa'ad al-Anshari (Himsh), dan Alqamah bin Khalid bin Walid (Palestina). Namun, karena Umair sering sakit-sakitan, ia mengundurkan diri dari jabatannya. Utsman pun memberikan Himsh kepada Muawiyah. Setelah itu Alqamah wafat, Utsman pun memberikan Palestina kepada Muawiyah. Hal ini membuat Muawiyah menjadi gubernur Syam seluruhnya. Sampai akhir hayat Utsman, Muawiyah mengontrol daerah Syam. Pada zaman modern, Syam meliputi Palestina, Yordania, Lebanon, dan Syria -bisa dibayangkan seluas apa daerah kekuasaan Muawiyah.
Inspeksi Militer ke Perbatasan
Pada zaman Utsman, Muawiyah cukup banyak melakukan inspeksi militer ke daerah perbatasan daerah kekuasaannya di Syam. Misalnya, pada 25 H ia menuju Anthakiyah dan Tarsus, tahun 26 H ia kembali melakukannya. Tahun 31 H, Muawiyah berangkat ke Daruliyah. Perbatasan yang berbentuk kepulauan ia serahkan penjagaannya kepada Habib bin Maslamah. Muawiyah juga beberapa turun langsung memimpin pasukannya sampai merambah celah bukit di Konstantinopel.
Pembebasan Cyprus
Syarat dari Utsman
Setelah sebelumnya ditolak Umar, Muawiyah kali ini mencoba meyakinkan Utsman untuk memakai angkatan laut demi membebaskan Qubrush (Cyprus). Utsman mengizinkannya dengan memberi syarat:
Muawiyah harus membawa istrinya
Pasukan yang berangkat harus dengan kemauan sendiri. Jika ada yang tidak mau berangkat maka tidak apa-apa
Pembebasan dimulai
Walaupun Muawiyah mempersilahkan masyarakat untuk memilih ikut ke Cyprus atau tidak, kekhalifahan berhasil mengumpulkan armada hingga 1.700 kapal. Mereka tertarik karena sebuah hadist dari Ummu Haram binti Milhan (istri sahabat Nabi Ubadah bin Shamit) yang menyebutkan bahwa akan ada sekelompok dari umatnya yang "mengarungi laut seperti raja-raja di singgasana". Pada 28 H (649 M) mereka pun berangkat. Di pelabuhan, Abdullah bin Qais al-Jasi, panglima angkatan laut bermusyawarah dengan Muawiyah dan sahabat Nabi yang lain. Pasukan segera mengepung ibu kota Cyprus dan mengatakan mereka tidak datang untuk mengambil-alih Cyprus, akan tetapi meminta mereka bekerjasama dengan kekhalifahan. Sebab selama ini Cyprus menjadi daerah kekuasaan Bizantium sehingga menjadi duri dalam daging kekhalifahan.Tidak butuh waktu lama, Cyprus pun menyerah dan menyetujui syarat-syarat berikut:
Bila Cyprus menyerang kaum Muslimin, ia tidak akan dibela lagi
Cyprus harus mengabarkan gerak-gerik Bizantium
Cyprus harus membayar jizyah kepada kekhalifahan sebesar 7.200 dinar per tahun
Cprus tidak boleh mendukung Bizantium jika mereka menyerang kekhalifahan dan tidak membocorkan rahasia kekhalifahan
Cyprus Mengingkari Perjanjian
Pada 32 H, Cyprus mengingkari perjanjian dengan kekhalifahan karena ditekan Bizantium. Kali ini Muawiyah datang kembali dan mengambil-alih Cyprus. Setelah menguasai Cyprus, Muawiyah menyadari bahwa ternyata Cyprus hanyalah pulau yang lemah. Tradisi militer mereka lemah sekali dan sering dijadikan boneka oleh Bizantium. Oleh karena itulah, Muawiyah menempatkan 12.000 pasukan di Cyprus, mendirikan kota-kota baru, membereskan administrasi, menggaji tentara, dan melindungi kekhalifahan dari serangan Bizantium.
Muawiyah Membantu Utsman Menghadapi Badai Ujian
Baca juga: Tuduhan terhadap Utsman bin Affan
Di akhir pemerintahannya, Utsman menerima cobaan yang berat. Ia dituduh macam-macam oleh sebagian rakyatnya, mulai dari tuduhan menggelapkan harta, boros, mengangkat keluarganya sendiri untuk menduduki jabatan penting, dan sebagainya. Pada masa-masa ini, Muawiyah terus membantu Utsman.
Mendebat Perusuh
Pada suatu hari pada tahun 33 H, ada sekelompok orang yang mencari ribut di Kufah sampai hampir menyulut pertempuran. Utsman yang mendengar masalah itu menyuruh Sa'id bin al-Ash, Gubernur Kufah, mengirim mereka ke Syam untuk bertemu Muawiyah. Utsman memerintahkan Muawiyah untuk "memperingati mereka dengan tegas, membuat nyali mereka ciut, menakut-nakuti mereka, dan mendidik mereka"[30] agar tidak membuat kerusuhan lagi. Muawiyah pun berkali-kali mendebat mereka dan berkali-kali pula menang. Di akhir debat mereka kalah dan marah, lalu merenggut jenggot Muawiyah. Muawiyah pun mengancam mereka agar jangan macam-macam terhadap dirinya. Ancaman itu membuat mereka mundur.
Muawiyah mengirim surat kepada Utsman dan mengatakan bahwa mereka "berbicara dengan lidah setan". Utsman mengirim mereka ke Kufah kembali. Namun, karena mereka macam-macam kembali, Utsman kemudian mengirim mereka ke Abdurrahman bin Khalid, gubernur Himsh. Di sini mereka baru tidak berani macam-macam karena Abdurrahman adalah anak Khalid bin al-Walid dan dia adalah seorang laki-laki yang berkarakter sangat keras seperti ayahnya.
Muawiyah Mengikuti Forum Antargubernur
Kerusuhan yang makin parah menyebabkan Utsman mengundang para gubernur dan sahabat Nabi untuk berunding tentang apa yang harus dilakukannya terhadap para pemberontak ini. Di forum ini, Muawiyah mengusulkan untuk segera mengirim pasukan ke mereka dan dia sendiri akan mengatasi pemberontakan di Syam. Namun, Utsman lebih tertarik dengan perdamaian dan tidak menerima usul Muawiyah.
Sebelum pulang kembali ke Syam, Muawiyah memperingatkan Utsman bahwa ia kemungkinan akan segera dibunuh oleh pemberontak dan Muawiyah menawarkan pasukan Syam untuk melindungi Utsman. Utsman mengatakan ia sudah tahu hal itu, tetapi ia menolak perlindungan dari Muawiyah karena ia tidak mau merepotkan orang-orang Madinah atas kedatangan pasukan Syam.
SIkap Muawiyah Atas Terbunuhnya Utsman
Para perusuh yang mencapai 500 orang sudah mencapai rumah Utsman. Para sahabat Nabi mengirimkan anak-anak mereka untuk melindungi Utsman tetapi mereka kalah jumlah. Utsman dibunuh dan para sahabat yang melindunginya terluka. Dan tidak ada satu orang sahabat Nabi Muhammad yang terlibat dan menyetujui pembunuhan itu. Ummu Habibah binti Abu Sufyan mengirimkan baju Utsman yang berlumuran darah ke tangan Muawiyah. Saat mendengar berita pembunuhan itu, Muawiyah berpidato di depan penduduk Syam, bersumpah akan menuntut balas kematiannya.[36] Penduduk Syam sendiri bersumpah akan membantu Muawiyah dengan mengorbankan nyawa mereka.
Muawiyah di Zaman Ali bin Abi Thalib
Inti Konflik Ali-Muawiyah
Setelah Utsman terbunuh, para sahabat sepakat untuk menghukum qishash pelaku pembunuhan Utsman. Namun, mereka terbagi tiga kelompok tentang hal ini:
Pertama, mereka harus di qishash secepatnya sebelum baiat kepada Ali. Inilah pendapat Muawiyah dan pendukungnya. Muawiyah berpendapat jika qishash ditunda, pembunuhnya akan berbaur di kehidupan sehari-hari kaum Muslimin dan mereka akan sulit dilacak. Lagi pula, Muawiyah adalah wali Utsman dan di antara saudara-saudara Utsman yang lain, Muawiyah lah yang kekuatannya paling besar.
Kedua, mereka harus di qishash tetapi setelah Ali bisa mengendalikan keadaan sehingga tenteram kembali. Jika qishash dilaksanakan sekarang juga, maka akan berakibat keadaan makin kacau. Para perusuh akan melipatgandakan tekanannya kepada kekhalifahan. Ini adalah pendapat Ali dan pendukungnya. Mayoritas sahabat Nabi menjadi pendukung Ali.
Ketiga, uzlah (mengasingkan diri). Ada sahabat-sahabat Nabi yang tidak mau terlibat dalam permasalahan ini dan mereka pun pindah dari pusat konflik. Mereka tidak mau berperang dengan saudara sesama mukmin. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Saad bin Abi Waqqas, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Maslamah dan lainnya.
Inti dari permasalahan Ali-Muawiyah adalah perbedaan cara qishash ini. Muawiyah sendiri tidak mengklaim bahwa dirinya khalifah umat Islam dan tidak berniat merebut kekhalifahan. Hanya saja ia dan penduduk Syam tidak mau baiat (sumpah setia) kepada Ali karena permasalahan terbunuhnya Utsman tersebut. Ketika kita melihat kondisi zaman Ali lewat kacamata abad modern, kita bisa dengan mudah menilai, tetapi bagi orang yang hidup pada zaman itu, situasi pada saat tersebut sangat pelik. Menurut mayoritas ulama, dalam persoalan rumit itu yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat Ali karena bagaimanapun juga perdamaian negara lebih diutamakan.
Muawiyah pernah ditanya, "Apakah kau penentang Ali?"
Muawiyah menjawab, "Tidak demi Allah. Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui bahwa dia lebih utama dariku dan lebih berhak memegang khilafah dariku. Akan tetapi, sebagaimana yang kalian ketahui bahwa Utsman dibunuh dalam keadaan teraniaya dan aku, sepupu Utsman, akan menuntut darahnya. Datanglah kepada Ali dan katakan, 'serahkan para pembunuh Utsman kepadaku dan aku akan tunduk kepadanya"
Orang-orang segera menemui Ali dan mengatakan perkataan Muawiyah, tetapi Ali tidak mengabulkannya
Perang Saudara
Karena situasi makin memanas, akhirnya terjadilah Perang Jamal dan Perang Shiffin antara kubu Ali dan Muawiyah. Tebunuhnya Ammar bin Yasir menjadi kunci selesainya perang ini karena Nabi Muhammad pernah mengabarkan bahwa yang membunuh Ammar adalah kelompok pembangkang. Yang membunuh Ammar bin Yasir ternyata adalah Abu al-Ghadiyah Al-Juhani dari pihak Muawiyah -ia bukanlah sahabat Nabi.
Terbunuhnya Ammar membuat kedua kelompok terguncang dan sepakat untuk berdamai. Mereka juga mengkhawatirkan perbatasan yang sedang lemah dan kapan saja bisa diserang oleh Persia dan Bizantium. Perjanjian damai ini dibuat berdasarkan Al-Quran dan Sunnah dengan kedua hakimnya adalah Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy'ari. Tidak seperti kabar yang terkenal, Amr bin Ash tidak memakzulkan Ali.
Ali Terbunuh dan Sikap Muawiyah
Saat kabar tentang Ali yang terbunuh sampai kepada Muawiyah, ia menangis. Istrinya berkata, "Kamu menangisi orang yang memerangimu?" Muawiyah menjawab, "Diam saja lah kamu. Kamu tidak mengetahui berapa banyak manusia kehilangan keutamaan, fikih, dan ilmu karena kematian dia" Utbah berkata juga, "Jangan sampai orang-orang Syam mendengar hal itu darimu". Muawiyah menghardik, "Kamu juga diam saja lah!"
Sikap Kita terhadap Konflik Ali-Muawiyah
Menurut mayoritas ulama, sikap Kaum Muslimin dalam menyikapi konflik Ali-Muawiyah adalah meyakini bahwa mereka semua sedang berijtihad merespon situasi yang sangat pelik pada masa itu. Di antara mereka ada yang benar dan mendapat dua pahala, tetapi di antara mereka ada yang salah dan mendapat satu pahala. Kita tidak boleh membicarakan sahabat Nabi dengan perasaan benci.