Chereads / Athlete vs Academician: After Dating / Chapter 7 - Pedang Bermata Dua

Chapter 7 - Pedang Bermata Dua

Seusai perkuliahan siang menjelang sore itu, Arya memutuskan langsung menuju gedung olarhaga setelah berpisah dengan Fahrizul dan Fahmi. Ia terlebih dulu mengambil sepatu basketnya yang masih berada di bagasi motor. Selama proses pengambilan sederhana itu, tubuh Arya rasanya benar-benar lesu seakan kehabisan stamina sedangkan dirinya hanya melakukan aktivitas duduk di kelas sambil mendengarkan dosennya menjelaskan apa yang sudah dipahami.

Sehingga kasus ini lebih membebani Arya karena bosan mendapat teori yang sudah diajarkan semenjak sekolah dasar serta cara penyampaiannya begitu memuakkan. Memang terdengar kejam seorang mahasiswa menilai seorang dosen, mengingat dari segi pengetahuan dan pengalaman, Arya kalah telak darinya. Tapi sedari tadi permasalahannya hanyalah dirinya ingin mendapat proses perkuliahan yang sedikit lebih baik.

Semua orang seumurannya tahu kalau dunia kampus lebih kejam mengingat mahasiswa harus bisa melakuka semuanya sendirian. Bahkan dosen atau mereka yang memiliki lebih tinggi, sangatlah pasif dan muncul ketika ada maunya saja. Mungkin ini yang tak Arya persiapkan jika perkuliahan sistem seperti itu berlaku di universitas manapun.

Setelah mengambil sepatunya, Arya bergegas menuju gedung olahraga atau ia akan dihambat oleh banyak orang begitu ia menyadari banyak tatapan tertuju padanya. Walau sudah lewat beberapa bulan, sebagian dari mereka masih mengagumi sosok Arya, terutama kakak tingkat perempuan. Sedangkan dirinya merasa masih belum seberapa jika dibandingkan para peserta turnamen yang lolos.

Memasuki gedung olahraga, Arya bisa melihat gedung olahraga masih kosong, sama sekali tak ada kehidupan. Semua peralatan dan perlengkapan basket masih tertata rapi, itu membuatnya kerepotan karena harus menyiapkan semuanya seorang diri. Namun beberapa menit kemudian ketika Arya selesai menggunakan seragam serta sepatu basketnya, pintu berderit kencang, mengalihkan perhatian Arya spontan.

Ternyata salah satu kakak tingkatnya yang sempat mempedulikan dirinya saat masa dijatuhkan hukuman oleh Coach Alex. Orang itu mengangkat tangannya setinggi kepala sembari menyapa Arya. Tak ingin dikenal sebagai adik tingkat yang kurang ajar, Arya membalas sapaannya sambil meringis lebar.

"Apa kabar? Walau kita sering bertemu, tapi rasanya sudah lama aku tak melihatmu."

"Tapi Kak Ando, kita baru saja bertemu kemarin dan seterusnya juga seperti itu. Apa kau sedang melawak atau memang merasa waktu berlalu selambat itu?" tanya Arya memastikan dirinya sempat teringat tentang pemikirannya mengenai menjelajahi waktu. 'Apa jangan-jangan…'

"Hmm… entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Omong-omong kau percaya dengan sesuatu semacam itu. Kalau aku percaya tapi tak ingin menggali lebih dalam, karena itu setiap kali mendengarnya, kepalaku jadi pusing. Jadi aku sangat menghargaimu kalau tak pernah membahas waktu berlalu lambat atau semacamnya… Ah, sialan. Kepalaku jadi pusing sekarang," Ando bergumam sambil menekan kepalanya sendiri berulang kali.

Arya menggaruk kepala belakangnya, tak mengerti mengapa kakak tingkatnya terkesan sangat menderita ketika mendengar sesuatu yang membingungkan, sedangkan mereka belum menggali lebih dalam lagi. Kemudian Ando memutuskan mengganti seragam dan sepatu secepat mungkin lalu membantu Arya mempersiapkan semuanya dari menyiapkan persediaan bola, menyalakan lampu gedung, hingga menaruh cone di pinggir lapangan untuk mereka memulai latihan.

Latihan kali ini juga selesai seperti sebelum-sebelumnya. Di mana tubuh Arya sudah mulai terbiasa dengan jam latihan yang semakin menggila walau perkembangan mereka semua hampir tak terlihat, termasuk dirinya. Arya sangat miris akan hal itu seakan pepatah 'usaha tidak mengkhianati hasil' adalah sebuah omong kosong dari orang terdahulu yang bisa sukses tanpa menjadi orang susah.

Tubuhnya memang tak hancur sekarang, namun ia bisa merasakan denyutan menyakitkan pada lutut bagian belakang sampai betisnya. Arya juga tak bisa menyembunyikan desis kesakitannya setiap melangkah. Coach Alex yang tak sengaja mendengar salah satu anak kesayangannya terlihat kurang sehat, spontan mendekatinya.

"Kakimu kenapa, Chayton? Apa kau keseleo?" tanya Coach Alex penasaran.

"Ah, tidak. Kaki saya hanya pegal saja mungkin karena terlalu banyak berlatih, hehehe." Arya juga tak mengerti mengapa dirinya terkekeh di akhir ucapannya.

Sekilas itu membuat Coach Alex semakin curiga pada tingkah Arya barusan. Orang pada umumnya langsung menangkap kalau Arya memang menyembunyikan lukanya, berbeda dengan sang pelatih di depannya saat ini, ia bahkan sama sekali tak curiga dan membiarkan Arya menikmati rasa sakitnya itu.

"Yang benar? Baguslah kalau kau baik-baik saja."

Jika bukan karena pelatih atau sosok yang lebih tua darinya, mungkin Arya sudah menghajar Coach Alex. Namun sebagai salah satu orang yang sangat berpengaruh dalam karier sebagai pemain basket profesional, Arya langsung membuang jauh-jauh niat buruknya itu dan berusaha tersenyum lebar.

"Sebenarnya ada yang Bapak ingin bicarakan padamu? Tapi bagaimana kalau kita mencari tempat duduk dulu?" tanya Coach Alex, tak suka membuat anak didiknya menahan rasa sakitnya lebih lama lagi.

Walau mengatakan 'mencari tempat duduk untuk berbicara', pada akhirnya mereka tak lepas dari bangku panjang di pinggir lapangan. Hanya saja tempat yang mereka pilih memang jauh dari kerumunan dan berharap tak siapapun mendengar pembicaraan mereka sampai Coach Alex memutuskan dirinya untuk menyampaikan pada anak-anak didiknya.

Setelah Arya duduk tenang, ia sempat kebingungan melihat Coach Alex justru berjalan ke arah sebaliknya setelah ada tempat yang sudah disepakati. Mau tak mau Arya terlebih dulu duduk terlebih dulu sambil mengatur pernapasannya yang sudah tak tersengal.

Beberapa temannya masih terlihat aktif, tak terlihat tanda-tanda mereka akan kehabisan napas maupun stamina. Sejauh latihannya selama bertahun-tahun, Arya selalu menganggap stamina yang sudah ia bentuk sudah berada di atas standar manusia pada umumny. Tapi semua anggapan itu seketika tak berarti ketika melihat teman-temannya terus menggiring bola, menembak dan melompat.

Mereka yang memilik postur tubuh besar, seperti Senna, seakan sudah kehilangan motivasi sebagai pemain basket dan justru sedikit menggunakan kekerasan dengan mendorong temannya. Sempat dipermasalahkan oleh teman-temannya, pemuda itu justru menjawab jika ia melakukan itu karena tak sengaja, lebih tepatnya ia tak bisa mengontrol rasa bahagianya yang berlebihan itu ketika latihan terus berlangsung.

Memang menarik dan menjadi pembeda memiliki teman semacam itu, di saat penting mereka semua berharap jika fisik kerasnya itu akan bermanfaat ketika ada orang maupun tim lain yang berusaha mengancam salah satu temannya. Hanya saja semua itu juga diiringi dengan kelemahan yang begitu besar. Pemuda seperti Senna biasanya terlalu sentimental dan selalu mengedepankan perasaannya.

Oke, jika perasaannya sedang membaik ketika mengikuti suatu turnamen dan dimainkan oleh Coach Alex, pasti akan membawa hawa-hawa positif bagi teman-temannya pula. Tapi dalam dunia olahraga ada beberapa pemain yang memiliki kemampuan untuk memancing amarah lawannya agar tak bisa selaras dengan permainan timnya. Bisa dikatakan Senna bagaikan pedang bermata dua untuk Universitas Garuda

*author note: Setelah mencari beberapa referensi, makna dari kata 'Mandara' mungkin terlalu sensitif bagi sejumlah orang. Maka dari itu Universitas Mandara akan berubah nama menjadi Universitas Garuda. Mohon maaf sebesar-besarnya karena kesalahan author kurang selektif dalam pemilihan nama. Terima kasih dan semoga kalian suka dengan ceritanya ^^