Chereads / ZOMBIE : To The Shelter / Chapter 1 - Awal Mula

ZOMBIE : To The Shelter

Azura_Jalan_Jalan
  • 231
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 36.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Awal Mula

"UHUK UHUK!" Seorang pria berkebangsaan Belanda terbatuk ketika sedang makan malam bersama  kekasihnya.

"Are you okay?" tanya sang kekasih yang adalah seorang artis asal Indonesia.

"Am okay, Honey," jawab pria itu dengan tersenyum.

Sang wanita balas tersenyum. Walaupun masih ada gurat khawatir yang tersirat di wajahnya, dia tetap melanjutkan makan, seraya ditemani lilin yang berpendar cantik. Untuk menghargai usaha sang kekasih dalam merayakan pertemuan mereka.

Selesai makan malam romantis, mereka pulang ke hotel tempat wanita itu menginap. Mereka bercumbu hebat, hingga sang manager yang berada di kamar sebelah mendengar erangan dan

lenguhan cepat dari artisnya.

"Ah ah ah ahh ahhh! More faster Honey!"

Sang manajer pun mendengus dan menutup telinga dengan bantal, agar bisa tertidur, karena esok hari ia akan pulang bersama artisnya itu ke tanah air. Untungnya, ia bisa tertidur meski hanya sekejap.

Keesokan hari, pukul 6 tepat mereka sudah berkemas dan pulang ke Indonesia melewati jalur udara.

"Kenapa kamu pucet sekali? bukannya seger abis main, kok malah kayak mayat hidup begini?" tanya sang manager pada artisnya yang terlihat lemas tak berdaya di kursi duduk.

"Ketularan Evan kayaknya," jawab artis itu dengan memejamkan mata untuk mengurangi rasa sakit.

"Dia sakit?" tanya sang manager.

"Iya," jawab sang artis dengan lemah.

"Kalau sakit kenapa kalian malah main sampai pagi?" seru sang manager dengan kesal.

Sang artis itupun terbelalak mendengar seruan sang manager, dia mencubit perut buncit managernya itu.

"Auw!" seru sang manager.

"Kau ini! Kamu lupa ini di mana?" sergah sang artis dengan melotot.

Sang manager tersadar kalau mereka sedang berada di dalam pesawat. Dia langsung menelan mulutnya. Untung mereka berada di area bisnis class, jadi tak banyak orang yang mendengar. Namun sang artis tetap menatapnya dengan kesal.

"Maaf," ujar sang manager, pria yang sudah berumur lebih dari 40 tahun itu merasa bersalah.

Sang artis diam, kemudian memejamkan matanya kembali, lantas berujar, "Cuma demam doang, minum obat, abis itu juga sembuh. Kau tenang aja, kalau mau pulang kampung, pulang aja. Aku bisa urus diri sendiri."

Sang manager menatap artisnya dengan khawatir. Dia menyentuh dahi wanita yang sudah bekerja sama dengannya itu, sejenak. Kemudian membiarkan artisnya tidur selama penerbangan berlangsung.

Ketika sudah mendarat di tanah air dan mengambil koper masing-masing. Sang manager bertanya lagi ke sang artis, "Yakin bisa sendiri?"

"Iya," jawab sang artis dengan senyum tipis, demi menenangkan managernya.

"Ya sudah, kalau ada apa-apa kabari ya,"  pesan sang manager dengan berat hati sebelum berpisah.

"Iya."

Mereka pun akhirnya berpisah di bandara. Sang artis pulang ke apartemen yang berada di daerah Jakarta Pusat. Sedangkan sang manager pulang ke kampung halamannya di kota kecil, yang berada di Provinsi Jawa Tengah, untuk menghadiri acara pernikahan saudaranya.

Setelah 16 jam berada di jalan, menembus kemacetan kota Jakarta dan jalan Pantura, akhirnya manager itu sampai di tujuan. Lampu penerangan jalan sudah hidup, karena waktu menunjukan pukul 6 petang. Manager yang bernama Rudi itu, disambut dengan ramai ketika memasuki rumah. Akan tetapi, dia tak bisa bercengkrama terlalu lama dengan sang keluarga, sebab tubuhnya sangat lelah.

Rudi pun pamit, masuk ke dalam kamar dan tidur hingga pagi tiba. Di saat terbangun, lehernya terasa begitu pegal. Badannya panas dan tenggorokannya sakit.

"UHUK! UHUK!" Batuk pun keluar dari mulutnya.

"Ahh, malah jadi nggak enak badan," keluhnya dengan wajah pucat. Meski begitu, ia tetap bersiap untuk menyusul keluarganya yang sudah pergi ke tempat hajatan.

Setelah persiapan yang cukup lama, dengan tubuh yang tak bugar, Rudi pergi menuju rumah saudaranya. Ketika ia hampir sampai, sebuah nyanyian khas di acara pernikahan terdengar dari alat pengeras suara yang berbentuk kontak hitam dan besar.

"Duhai senangnya pengantin baruuuu, duduk bersanding bersenda gurau."

Para tamu undangan datang bersamaan dengannya. Ramai, rombongan keluarga pengantin pria hampir menduduki semua kursi yang tersedia. Mereka semua tertawa dan tersenyum melihat pengantin yang nampak menawan di atas pelaminan.

Semua orang pun ikut bersuka cita dengan terjalinnya ikatan asmara yang sudah resmi. Selesai melakukan adat istiadat pernikahan Jawa, mereka semua berfoto ria dan bersalaman dengan terselip amplop putih di setiap tangan dan berakhir di tangan kedua mempelai.

Salam-salaman itu tak berhenti, semua yang saling mengenal akan bersalaman dengan senyum terkembang dan saling bertukar sapa.

"Waaa, ini dia manager artis ibu kota kita datanggg!" sambut pemilik hajatan, ketika melihat ponakannya muncul dibanyaknya tamu yang berdatangan.

Rudi tersenyum malu. "Hahah, maaf telat paman," ujarnya dengan menjabat tangan pamannya.

"Tidak apa-apa Rud, kami tahu kamu sibuk," jawab sang paman. "Wajahmu pucat sekali, makan dulu sana," lanjutnya.

Rudi dengan senang hati segera menuju area prasmanan, area itu adalah tempat favoritnya. Semua makanan yang dia suka, hadir dan seakan meminta untuk dihabiskan.

"Mbak, baksonya satu," pintanya ke seorang penjaga stand.

Tak lama, semangkok bakso datang beserta makanan lainnya. Dia duduk dengan gembira di kursi plastik berwarna hijau. Ketika hendak menyuapkan pentol bakso ke mulut, sebuah tepukan dan pekikan membuat dirinya terlonjak kaget.

"BANG!" pekik seseorang.

"ASTAGA NAGA BELANG CODET!" pekiknya latah. Pentol baksonya hampir meloncat dari sendok karena saking terkejut, dengan kesal ia menoleh ke sumber suara.

Seorang pria dengan kulit sawo matang, memakai baju batik sedang meringis senang tanpa rasa bersalah, pria itu berhasil mengagetkannya.

"Ooo! Dasar kamu ya!" seru Rudi dengan kesal pada pria muda itu. Ia berdiri hendak memukul pria itu, namun dengan gesit pria itu menghindar.

"Heheh maaf Bang. Siapa suruh aku panggil nggak noleh-noleh. Ya aku kagetin aja," sergah pria muda itu membela diri.

"Ah! Kau ini, dari dulu nggak berubah Udin!" seru Rudi jengkel.

"Kok Udin sih Bang?!" sergah pria itu tak terima.

"Kalau bukan Udin, siapa lagi nama KAU?!" bantah Rudi.

"Kan namaku Jefri, Bang!" kilah pria itu.

"Yaaaa, Jefri Syamsudin! Udahlah Udin aja. Itu lebih cocok buat tampang kau!" sergah Rudi.

"Ihhh, nggak mau ah! Orang keren gini dipanggil Udin, panggil aku Je--"

Aroma parfum yang begitu wangi dan segar melintasi mereka, membuat Jefri tak melanjutkan ucapannya. Dia langsung menoleh dan melongo terkesima, melihat wanita cantik nan tinggi sedang tersenyum dengan sang mempelai di atas pelaminan.

"Eeeeee!" sergah Rudi dengan meraup wajah Udin, karena melongo melihat wanita itu.

Pria yang tak mau dipanggil Udin itu, terkejut ketika diraup wajahnya oleh Rudi, dan mengernyit tak suka.

"Dari dulu sampe sekarang, nggak berubah-ubah kau, Din Din! Masih suka aja sama si Anya," seru Rudi.

"Si Anya makin cantik ya, Bang," sahut pria itu dengan membuang ekspresi tak suka menjadi ekspresi bodoh. Senyum di wajahnya terkembang sembari menatap wanita yang bernama Anya itu tanpa berkedip.

Rudi menggelengkan kepala melihat tingkah tetangganya itu.

"Udah udah! Kamu nggak bakalan sama dia. Mana mau dia sama kamu yang dekil kayak gini. Apalagi ini, gaya rambut macam apa ini?!" ejek Rudi ketika melihat rambut tetangganya itu seperti ekor tikus.

"Ini gaya bang," bantah pria yang ingin dipanggil dengan nama Jefri itu.

"Gaya sama muka itu harus sama dan sesuai. Bukan nggak jelas kayak gini!" sergah Rudi.

Jefri hendak membatah lagi, akan tetapi ada seorang wanita paruh baya datang menyela. Wanita itu bersalaman dengan Rudi dan berbincang sebentar.

"Uhuk uhuk!" Wanita paruh baya itu batuk dan terlihat pucat.

"Pulang dulu ya nak, sedang tidak enak badan soalnya," pamitnya ke Rudi lantas pergi.

Setelah wanita itu pergi, Jefri mengomentari wajah pucat Rudi.

"Abang kerja rodi ya? Kok wajah Abang pucet amat kayak orang kelilit utang," ejek Jefri.

"Utang pala kau itu!" sergah Rudi dengan duduk di kursi lagi. "Badan capek semua ini, abis nemenin si Rachel kencan di Belanda sama pacarnya," lanjutnya sembari bersandar di kursi.

Tiba-tiba Jefri dipanggil untuk membantu di dapur.

"Sana pergi! Aku mau makan!" usir Rudi.

"Makan mulu, kapan kurusnya?" ejek Jefri ke tetangga yang sudah seperti kakaknya sendiri itu. Kemudian dia kabur seraya tertawa puas, sebelum dipukul oleh Rudi.

Rudi sedikit kesal. Namun dia bersyukur, akhirnya dia bisa makan dengan leluasa tanpa gangguan Jefri.

Hajatan saudaranya berlangsung lancar. Meski malam harinya, dia tak bisa melanjutkan acara bersama keluarga yang lain. Karena mendapat kabar sang artis yang bernama Rachel itu, masuk rumah sakit. Dengan kondisi tubuh yang makin tak bugar, ia berpamitan ke pada sanak saudara dan juga Jefri ketika acara hajatan masih berlangsung.

"Hati-hati Bang," pesan Jefri.

Rudi mengangguk dan melambaikan tangan dengan wajah yang makin pucat. Jefri menatapanya dari jauh dengan khawatir.

'Semoga Bang Rudi selamat sampai tujuan,' doanya, sembari melihat roda mobil yang ditumpangi Rudi bergerak menjauh.

****

Keesokan hari, berita duka tiba-tiba terdengar di sore hari yang tenang. Wanita yang batuk dan bersalaman dengan Rudi kemarin meninggal dunia, karena sakit komplikasi yang dideritanya.

Semua tetangga termasuk Jefri ikut melayat. Suara tangis dan doa terdengar menggaung di dalam rumah. Beberapa orang sibuk menyiapkan pemakaman. Jefri mendapat bagian menata kursi untuk para pelayat.

Setelah adzan magrib berkumandang, jenazah dimandikan. Semua berjalan dengan normal. Namun tiba-tiba, ada pekikan yang terdengar.

"ASTAGFIRULLLAH!"

Semua orang lantas terkejut dan mendatangi asal suara. Jefri yang tak begitu tinggi, tak mampu melihat dengan jelas di balik tumpukan punggung orang-orang. Dari dalam tempat jenazah dikafani itu, terdengar suara aneh dan erangan yang mengerikan.

"Kek, kek, kek, kak!"

Suara itu mendadak hilang sejenak, lalu berganti dengan ....

"Harrgggghh! HUARGHHHH!"

"AAAAAAAA!!!!!"

Suara pekikan membuat kerumunan pecah berhamburan. Jefri terkejut dengan orang yang tiba-tiba berbalik arah menabraknya, dia terdorong, dan jatuh kebingungan.

'Kenapa orang-orang itu pada lari? Apa yang mereka takutkan? Apa jenazah itu masih hidup atau gimana?' batinnya, di sela kaki-kaki yang melintas.

Kemudian, di tengah banyaknya orang yang terjatuh dan berusaha berlari, ia melihat sesosok yang berlumuran darah. Sosok itu menatapnya penuh ingin, lantas berlari ke arahnya.

"AAAAAAAA!!!"