Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Garis Jodoh

Miss_Shally
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.6k
Views
Synopsis
Karena ingin membalas budi, Ruben Mahardika di paksa orang tuanya untuk menikahi Vanesa Indira. Karena gadis itulah Ruben bisa selamat dari kecelakaan. Ruben tidak ada pilihan selain menerimanya. Tapi dia ingin membalas dendam dengan terus menyakiti Vanesa dengan caranya yang terus mengabaikannya. Apalagi kehadiran wanita dari masa lalu Ruben yang membuat semuanya semakin kacau. Mampukan Vanesa bertahan dengan rumah tanggannya? Atau Vanesa menyerah dan ikhlas Ruben menikahi kekasihnya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Insiden

Brakkk...

Terdengar suara hantaman keras yang membuat telinga Vanesa tersentak. Dia yang berniat berangkat bekerja pagi ini di haruskan melihat pemandangan mengerikan yang membuatnya kaku di tempat. Detik kemudian semua orang panik saat melihat sebuah motor besar hancur karena menabrak pembatas jalan. Yang kontan membuat pengendaranya jatuh dan terpental di aspal.

Seketika orang-orang di sekitarnya berhamburan untuk melihat keadaan korban. Ada yang hanya menonton, ada juga yang hendak menolong tapi merasa takut karena melihat banyaknya darah dan luka korban yang parah.

Setelah sadar, dengan cepat Vanesa berlari dan menyibak kerumanan manusia itu untuk melihat kondisi korban. Ia segera berjongkok dan melihat pria yang masih setengah sadar itu. "Tolong!! cepat panggilkan ambulans sekarang juga!" Vanesa berteriak.

Ia yang melihat korban masih sadar, mencoba menepuk pipinya agar tetap terjaga. "Mas, bertahanlah. Kita akan kerumah sakit sebentar lagi," seru Vanesa dengan bergetar takut dan gugup saat melihat darah. Tapi dia mencoba menguatkan hatinya.

Vanesa memutar tas ransel milikknya, lalu mengambil sapu tangan untuk menutupi kening pria itu, karena darah yang mengalir deras dari dahi korban.

Tak lama kemudian, mobil ambulans pun datang. Dengan segera pria itu di bopong oleh beberapa orang dewasa dengan intruksi ke dua perawat laki-laki dan di letakkan di brangkar, dan segera di dorong masuk ke dalam ambulans.

"Mbak, silahkan ikut kami. Mbak yang harus bertanggung jawab pada mas yang kecelakaan itu," ujar seorang perawat laki-laki pada Vanesa yang masih mematung di tempatnya.

Vanesa bingung mau bagaimana. Karena dia sama sekali tidak mengenal pria itu. Dia juga harus berangkat kerja sekarang. Oh God, ia bingung sekarang.

"Mbak!! Ayo, cepat!! Masuklah!!" seru suster laki-laki yang menyembulkan kepalanya dari kaca mobil depan. Seketika membuat Vanesa tersadar.

Ia mengangguk, kemudian dengan segera masuk ke dalam mobil ambulans dan duduk di samping pria itu. Selama perjalanan, gadis itu memandangnya dengan tatapan kasihan saat pria itu merintih kesakitan di bawah alam sadarnya.

Vanesa sangat bersyukur ketika nafas pria itu sudah kembali normal ketika selang oksigen terpasang di hidungnya. Vanesa mencoba tenang menemaninya sampai ke rumah sakit terdekat. Tak lupa bibirnya terus menyebut nama-Nya untuk keselamatan pria tersebut.

Dia juga tidak memperdulikan bajunya yang penuh darah karena menolong pria tersebut.

Ddrt..ddrtt...ddrt..

Terasa ponselnya bergetar. Gadis itu merogoh ponsel yang berada di dalam tas nya. Senyumnya mengembang ketika melihat siapa yang menelponnya sekarang.

Dengan segera dia menggeser ikon warna hijau di ponselnya dan menempelkan pada telinganya.

("Iya, La. Kenapa?") tanya Vanesa saat tersambung dengan seseorang di seberang.

("Vanes, kamu di mana? Kog belum sampai di toko? Ini sudah jam berapa?") pekik seorang gadis. Sampai-sampai Vanesa menjauhkan telinganya dari ponselnya.

("Aku di rumah sakit, Mila. Tadi ada insiden waktu aku mau berangkat ke toko.")

("Hah, insiden apa? Kamu kecelakaan, Van? Sekarang kamu di rumah sakit mana? aku segera kesana!") Terdengar suara panik sekaligus terkejut.

("Aduh!! Maksudku bukan aku yang kecelakaan, La. Tapi aku tadi menolong orang yang kecelakaan. Sekarang lagi nungguin di rumah sakit. Karena keluarganya belum datang.")

("Oh, syukurlah kalau begitu. Ya sudah, bentar lagi aku ke sana.")

Kemudian gadis itu menutup panggilannya setelah menyebutkan nama rumah sakit tempat ia berada saat ini.

Ia melangkah mencari tempat duduk sembari menunggu kabar dari dokter tentang kondisi pria tersebut. Ia sendirian di sana, karena kondisi sekitaran rumah sakit juga terlihat sepi.

Tak lama kemudian terlihat seorang suster keluar dari ruangan UGD dengan menenteng kertas di tangannya. Ia berdiri di depan pintu seraya menoleh ke kanan ke kiri seperti mencari seseorang. "Keluarga korban kecelakaan," serunya kemudian.

Dengan sigap Vanesa berdiri dan menghampiri suster tersebut.

"Iya sus, Saya. Bagaimana keadaan korban sekarang?" tanya Vanesa. Ada rasa takut menghantuinya kala memikirkan kondisi pria itu. Apalagi darahnya keluar begitu banyak sampai membuat kepala Vanesa pening melihatnya.

Lalu suster itu bertanya, "Apa anda keluarga dari korban kecelakaan?"

Vanesa menggeleng, "Saya bukan keluarganya, Sus. Tapi saya yang menolongnya waktu dia jatuh dan membawanya ke rumah sakit."

Suster itu mengangguk. "Maaf, korban banyak kehilangan darah, dan darah yang sedang di butuhkan pasien sedang kosong saat ini. Jadi, bisakah anda dengan segera mencari darah tersebut di rumah sakit besar di pusat kota?" tanya suster itu.

"Hah, ke pusat kota, Sus?" tanya Vanesa terkejut. Sedangkan dia sendiri kesini tidak membawa kendaraan, lalu bagaimana dia pergi ke pusat kota. Tidak mungkin juga dia kembali pergi karena dia pun tidak paham naik angkot jurusan.

"Iya, Nona."

Vanesa diam sejenak untuk berpikir. "Maaf Sus. Jika boleh tau, golongan darah korban apa ya, Sus? Siapa tau sama dengan golongan darah saya." tanya Naya.

"Golongan darah korban adalah O, Nona."

"Oh, golongan darahku juga O, Sus. Jadi lebih baik suster ambil darahku saja," pinta Vanesa seraya mengayunkan lengannya di depan suster. Ia berharap suster itu mau, karena dia juga tidak bisa jika harus keluar ke rumah sakit di pusat kota.

"Baiklah, Nona. Mari silahkan masuk." Suster itu mempersilahkan Vanesa masuk ke dalam ruangan.

Vanesa mengikuti langkah suster itu, menuju ke sebuah ruangan serba putih. Aroma obat yang sangat menyengat membuat perutnya seketika mual. Suasana mendadak berubah mencekam ketika Vanesa melihat berjajar alat medis di meja yang berada di sampingnya.

"Silahkan berbaring di sana, Nona. Sembari menunggu tindakan selanjutnya." pinta suster muda itu.

Glek..

Vanesa menelan ludah kasar. Wajahnya pusat pasi, antara takut dan gugup bercampur jadi satu. Seumur-umur, baru kali ini dia mendonorkan darahnya untuk seseorang. Ia bergerak gelisah karena rasa takutnya.

Suster itu mengulum senyumnya ketika melihat Vanesa yang nampak tidak nyaman itu. Ia maklum, karena tidak semua orang berani berhadapan dengan benda kecil nan tajam itu. Apalagi jika sudah masuk ke dalam kulit, siapapun bisa menangis karenanya.

"Kenapa, Nona? Apakah anda takut?" tanya suster itu yang seraya menahan tawanya melihat wajah Vanesa yang lucu karena ketakutan.

"Hah!! Oh, itu??" Vanesa kehilangan kata-katanya. Bahkan sekarang tangannya pun bergetar ketika suster memeriksa tensi darahnya.

"Tenanglah, Nona. Ini tidak akan sakit kog. Masih sakitan sakit hati daripada jarum suntik ini ketika menembus kulit ari," seloroh suster itu, mencoba menghilangkan ketakutan yang melanda hati Vanesa.

Vanesa berusaha menarik bibirnya untuk tersenyum, walau sama sekali tidak bisa menghilangkan rasa takut yang melandanya kini. Malah semakin membuatnya menjadi.

Vanesa memanglingkan wajahnya ke samping dan memejamkan matanya erat saat suster mengolesi kapas yang bercampur alkohol di lengan kanannya. Terasa dingin, namun sedetik kemudian terasa benda tajam itu menerobos masuk ke kulit tipisnya.

"Ahk!!" Vanesa memekik tertahan ketika jarum itu berhasil menembus kulitnya lengannya. Dia menggigit bibirnya agar dia tidak berteriak kesakitan. Ada rasa nyeri yang di rasakan Vanesa saat ini.

Dia merapalkan doa yang dia bisa agar hatinya kembali tenang. Seiring berjalannya waktu, akhirnya Vanesa bisa menikmati apa yang dia lakukan sekarang.

Selama menunggu, Vanesa lebih memilih memejamkan matanya, agar tidak melihat darahnya sendiri yang bisa membuat kepala pening seketika.

Setelah lama menunggu, akhirnya Ia dapat tersenyum puas saat melihat kantong yang berada di sebelahnya sudah penuh dengan darahnya. Ia sangat berharap darahnya itu bisa bermanfaat bagi pria itu, agar kondisinya segera pulih kembali.

"Sakit? Tidak, kan?" tanya suster itu sambil merapikan segala alat tranfusi darah. Vanesa tersenyum nyengir menatap suster yang nampak menggodanya itu. Ia salah tingkah sendiri saat menyadari bahwa tranfusi darah tak seseram yang di pikirkan selama ini. Mungkin yang menurutnya sakit adalah saat menyuntikan jarum itu pada kulitnya.

"Silahkan menunggu di luar, Nona. Kami akan melakukan tindakan selanjutnya untuk menyelamatkan pasien tersebut," ucap suster itu seraya menunjuk pintu keluar.

Vanesa mengangguk, lalu berjalan keluar dari ruangan serba putih itu. Ia kembali duduk ke tempatnya semula sembari menunggu kedatangan sahabatnya dan keluarga korban yang di tolongnya tersebut.