DOR!
DOR!
Suara tembakan senjata terus terdengar dari jarak ratusan meter tempat satu kontingen militer AS yang hendak menuju ke Herat tertahan. Mereka dilarang melintas karena kerusuhan mendadak terjadi. Tidak peduli dari mana tentara-tentara itu berasal, keselamatan menjadi prioritas utama. Pasukan bersenjata itu tentu bisa mengarahkan pistol mereka kapan saja, tapi autoritas setempat melarang pertikaian lebih lanjut dengan ikut campurnya pihak lain yang dianggap memprovokasi.
Namun, tertahannya satu kontingennya itu banyak menguntungkan Lintang, Sabir, dan Tama yang berkesempatan mengamati kelompok target mereka dari jarak lebih dekat. Pria yang telah disisipkan GPS di kepalanya itu terdeteksi ada di tempat kejadian, dan dari desas desus yang terdengar, Adhael ada di balik serangan sipil itu.
"Apa kita hanya bisa diam malam ini?" Tama mulai panas, kaki dan tangannya mungkin sudah gatal dan greget sendiri.
