Waktu hampir menunjukkam tengah malam, dan Lintang masih duduk di depan layar monitornya. Tama yang satu kamar dengannya sudah terlelap sejak satu jam lalu. Lampu kamar bahkan sudah dipadamkam, karena rekannya itu tak bisa tidur dengan berpanas-panasan. Lintang sendiri tak kalah mengantuk, namun kapan lagi Ia dapat memeriksa perkembangan kasus di Jakarta jika tidak di malam hari seperti ini?
Laporan penyidikan, berkas-berkas aset dan memorandum kerja sama masih terus diperiksa Lintang sejak kemarin. Dokter yang merangkap Presdir itu tengah mencari celah 'kesalahan orang lain' selain papanya. Jika itu ditemukan, mungkin Lintang akan semakin mengoreknya, lalu turut menyeretnya ke meja hijau untuk diselidiki. Kombinasi hasil-hasil penyelidikan itu yang akan digunakannya untuk mempertajam bukti bahwa Juan tidak bersalah.
Semoga saja benar begitu, karena lama kelamaan Lintang pun ragu.
"Hhhhh ..." Lintang menghembuskam nafasnya kemudian, menaruh kedua tangannya membentuk segitiga di depan dagu, berpikir keras, "Dokumen ini, memang bisa menjadi kunci ..."
KRIEET ...
Suara pelan pintu kamar yang terdorong mengalihkan fokusnya segera. Engsel pintunya sudah berkarat, hingga memberikan suara agak horor jika berbunyi tengah malam seperti itu.
"Zevanya?"
Gadis itu tersenyum manis, lantas masuk dengan membawa secangkir minuman hangat di tangannya.
"Dokter Lintang kenapa belum tidur?" tanyanya berbisik, melingkarkan tangannya di bahu Lintang.
Dokter itu tersenyum, mengecup sekilas pipi kanan tunangannya, "Ini mau tidur, tapi masih ada yang perlu diperiksa," jawabnya tak kalah berbisik. Maklum, Tama bisa marah-marah jika tidurnya terganggu. Dokter bedah itu memang sering mengalami kesulitan tidur.
"Apa yang perlu diperiksa? Kasus Papa?" tebak Zevanya, dan Lintang mengangguk, "Iya."
"Gimana prosesnya? Aku baca berita katanya baru selesai penyelidikan ketiga."
"Kamu memantau berita? Makasih ya."
"Kenapa makasih? Kan cuma berita."
Lintang menggeleng, "No, it means a lot for me. Tandanya Kamu sama sekali gak berubah setelah tahu siapa keluargaku."
Zevanya tersenyum, mengeratkan pelukannya pada Lintang, "Doctor Lin, listen. I just love you, not your family, your background, or anything you may guess. So it doesn't bother me at all."
Lintang menghangat, lantas digenggamnya tangan kecil Zevanya erat, "You're so sweet. Udah selesai piket malam? Mau ditemenin?" tawarnya.
Zevanya mengangguk-ngangguk antusias, "Mau. Ayo keluar, nanti Tama sensi kalau tau Aku ada disini."
Lintang tergelak pelan, lantas beranjak usai memadamkan komputernya. "Yuk."
Keduanya berjalan beriringan sepanjang koridor asrama yang sudah sangat sunyi itu, sesekali mengobrol dengan nada rendah.
"Itu siapa yang bikin api unggun di luar?" Lintang memicingkan mata begitu sampai di meja administrasi. Tampak api tak terlalu besar menyala di pekarangan UGD sana.
"Oh? Itu Gayatri. Biar gak banyak nyamuk katanya, sekaligus tanda kalau ada banyak orang disini, mungkin mencegah insiden kayak tadi sore."
"Oh gitu." Lintang mengangguk, benar juga sih. Teknik itu cukup Ia pahami sebagai seseorang yang sangat suka pergi ke alam bebas.
"Lin ..."
"Iya?"
"Gak jadi, cuma manggil, hehe."
"Ck! Ze ... Ze ..."
****
Tidak ada pembicaraan sepanjang perjalananan dari base camp menuju pusat kota di distrik Freetown. Sepi dan mengundang kantuk, sampai Lintang yang tidak mengemudi itu nyaris tertidur beberapa kali jika Gayatri tidak melakukan rem mendadak akibat jalanan kota yang rusak dan berlubang.
Lintang yang hendak mengambil hasil pemeriksaan medis di distrik yang sama itu akhirnya ikut dengan Gayatri, William, dan Nash yang hendak mengawal Amari yang membawa suplai vaksin dari UK. Sebelum berangkat Lintang sudah menawarkan diri untuk mengemudi, namun Gayatri menolak, mengatakan bahwa itu adalah tugasnya.
Suara HT di dashboard mobil membuyarkan lamunan Lintang kemudian. Rupanya Nash menghubungi dari satu lagi mobil jeep di belakang, mengatakan bahwa Ia dan William telah berhenti di titik pemberhentian sesuai rencana mereka, tinggal Gayatri yang menunggu Amari di titik pemberhentian berikutnya.
"Kamu sendirian? Apa gak terlalu bahaya?" tanya Lintang usai komunikasi radio berakhir. Sedikit dokter itu menyadap pembicaraan.
Gayatri hanya menggeleng, "Gak masalah, toh sekedar mengawal. Saya juga mengawal Amari dari bandara nanti."
"Tetap aja, lain kali bawa orang lebih banyak. Formasi kerja tim militer bagaimana sejauh ini?"
"Sesuai instruksi Kamu, disebar ke tim lain yang membutuhkan. Jumlahnya sudah pas, termasuk Saya yang kebagian sendiri."
Lintang mengangguk-ngangguk, "Kalau begitu hari ini Saya akan ikut Kamu dulu. Jika sempat, baru ke rumah sakit."
"Kenapa begitu? Itu namanya buang-buang waktu."
"Daripada Kamu kenapa-kenapa dan Saya yang diketahui satu perjalanan gak tau apa-apa? Lebih baik Saya tunda dan minta salinannya saja dulu," kekeuh Lintang, terdengar tak terbantahkan.
Gayatri hanya menghela nafasnya kasar, Lintang sangat keras kepala. Perhatian sih, tapi membuat Gayatri risih sendiri. Tapi tunggu, bukankah perhatian Lintang adalah keuntungan untuknya?
Hampir satu jam berlalu, hingga akhirnya mereka sampai di pusat karantina bandara. Lekas keduanya turun dari mobil.
"Kamu hafal sekali urusan seperti ini," ujar Lintang, memuji gesitnya Gayatri bekerja dalam birokrasi rumit.
"Lumayan terbiasa, meski selalu memusingkan."
Lintang tersenyum miring, mengikuti langkah cepat gadis itu di koridor menuju layanan informasi.
"Excuse me, I want to know if the vaccine from UK for WHO medical project in Koinadugu is already pass quarantine or not," ujar Gayatri pada petugas administrasi disana.
"Let me check, Miss."
Gayatri dan Lintang mengangguk, lalu beberapa menit kemudian petugas administrasi itu tampak selesai, "The vaccine is already pass the quarantine, and already left this airport by this early morning, Miss. Someone named Amari already signed the operational letter."
"Are you sure?" Gayatri meraih selembar kertas yang ditunjukkan petugas tadi. Lintang di belakangnya turut membaca, "Kalau udah berangkat sejak pagi kenapa tadi tidak ketemu?" Lintang heran.
Gayatri mengangguk, "Thank you," ujarnya, tergesa menyerahkan kertas itu kembali dan berbalik.
"Tunggu, Tri."
"Cepat, Dokter. Ini kemungkinan bahaya. Sepanjang jalan benar-benar tidak terlihat truk vaksin sama sekali."
Lintang mengangguk, "Kunci mobil, biar Saya yang mengemudi. Saya hafal jalan-jalan tersembunyi disini."
"Baik." Gayatri segera memasuki mobil, disusul Lintang yang segera melajukan mobil itu dengan kecepatan tinggi.
Lalu tiba-tiba ponsel gadis itu berdering, "Oh? William."
"Angkat."
"Hello, Will. Where are you? Amari already leave the airport but Lintang and I didn't found him on the way ..."
"..."
"..." Gayatri mengerutkan dahi, "Please send me the picture and location. Asap! Lintang and I are heading there, please try to communicate with them before anything else!"
Panggilan terputus kemudian.
"Ada apa?" Lintang fokus penuh dengan kemudi dan jalanan.
"Truknya memang ditahan, lagi-lagi, di pinggir tebing. William dan Nash yang menemukan karena laporan warga setempat."