Chereads / The Scenic Acatalepsy / Chapter 2 - Chetna dan 'Uncle' Tama

Chapter 2 - Chetna dan 'Uncle' Tama

Green Earth Medical

Maharashtra, Mumbai

26 Januari 2018

06.47 A.M IST

Waktu bahkan belum menunjukkan pukul tujuh pagi, namun Lintang sudah berada di rumah sakit tempatnya bekerja satu jam sebelum jadwal. Dokter itu sebenarnya tidak terlalu rajin, bahkan cenderung gemar datang 'tepat waktu' alias mepet. Hanya saja, ada yang spesial hari ini, mengingat tugasnya di rumah sakit terbesar kota Mumbai itu telah selesai.

"Namaste, Doktar Aashita! Kaimare par ... haath hilao! (Halo, Dokter Aashita! Lambaikan tanganmu ke kamera!)" sapa Lintang dengan bahasa Hindi seadanya pada seorang dokter wanita di meja administrasi.

Malu-malu dokter wanita itu memberi salam, menghadap handycam di tangan Lintang, "Namaste ..." ujarnya.

"Why don't you look excited today?" tanya Lintang tanpa menurunkan handycam, malah mendekatkannya pada wajah Aashita, membuat sang dokter semakin malu-malu kucing, "What are you doing recording early in the morning, Lintang?" tanyanya polos sembari terus menghindar kesana-kemari.

Namun Lintang tetap mengikutinya, "Nope, just the last documentation before I go back to America. I want to capture my precious moment with you, Doctor Aashita ..." ujarnya, gaya khas menggoda wanita.

"Aaw you're too cute, Lintang!"

"Lintang and Aashita are really a perfect match ..."

Dua orang perawat yang juga berada di meja administrasi itu mulai kembali menjodoh-jodohkan dua Dokter yang mereka ketahui masih berstatus single itu. Bukan isu lama kalau Lintang dan Aashita memang dekat baik secara profesional dan personal. Lihat saja tingkah manis keduanya, sangat menghangatkan suasana rumah sakit di pagi hari.

"Why did you run? Why did you leave me, Aashita!" Drama semakin intensif, karena Aashita yang berhasil kabur dari sorotan kamera Lintang. Pria itu hanya tertawa selagi mengubah arah sorot kameranya, "Hi, dear nurses, how are you? Did you sleep well last night?" tanyanya pada dua perawat di meja administrasi.

"How can I sleep well? I'm in the night shift ..." jawab salah satu mereka.

Lintang berekspresi dramatis dibuat-buat, "Oh my God! Please take some rest after this, I don't want your pretty face to get tired, Miss Griya ..."

"Ck! Just shut up your flirty mouth, Lintang!"

Lintang hanya tertawa, "Okay, but I wanted to ask you, are you sad that I have to go back to America in a few days?"

"No, not at all. We're happy to see you go."

"Wow, that's a big lie, I guess? You gonna miss me a lot," bantah Lintang penuh percaya diri. Kedua perawat itu hanya geleng-geleng kepala, jengah sekaligus terhibur dengan tingkah jenaka Lintang.

"We'll miss the only Pediatrician who likes to make a fuss at lunchtime. The Pediatrics Department will definitely be deserted without you after this, foolish!" sahut seorang pria berjas dokter yang baru datang.

Lekas Lintang mengganti arah kameranya ke arah si penimbrung, "Tama, ngaku deh, Lo sedih kan Gue mau balik ke Denver?" tanyanya pada rekan satu negaranya itu.

Tama tak peduli, dokter itu hanya sibuk dengan absensi pagi di layar komputer, tak menanggapi sahabatnya yang selalu narsis dengan kameranya.

"Senyum dong, Tam. Pagi-pagi tuh yang ceria, gak usah sedih-sedih banget gitu lah, kan Kita masih bisa kontakan walaupun terpisah jauh ..." ujar Lintang didayu-dayukan, mengikuti Tama yang berjalan cepat menuju ruangannya.

"Gak penting juga Gue kontak-kontak Lo. Buat apa? Sambat doang isinya," sarkas Tama.

"Ya in case Lo kesepian lagi kan? Dari pada lari ke cewe terus, mending nelfon Gue."

Tama mendelik cepat dari balik laptopnya, "Do I look interested in you?"

"No." Lintang mematikan kameranya kemudian, menaruhnya ke dalam tas sebelum kembali mengenakan jas dokter dan membuka dokumen-dokumen pekerjaan. "Tapi Lo pasti tertarik dengan pasien Gue yang satu ini," lanjutnya, membawa satu bundel kertas A4 ke meja Tama.

"Pasien yang mana?" tanya Tama, lekas memeriksa dokumen yang diberikan Lintang barusan. Keduanya telah kembali penuh ke mode profesional. "Stadium 3 brain cancer? Too bad."

Lintang mengangguk, "Ya, dia pasien pertama sekaligus terakhir Gue di rumah sakit ini. Namanya Chetna, tujuh tahun, dia mengidap kanker otak sejak usia lima tahun and it's getting worst. Gue merekomendasikan dia untuk menjalani operasi, dan seperti biasa, Gue mau mempercayakan ini ke Lo, since I will be no longer works here," jelasnya.

Tama mengangguk paham, dokter spesialis bedah anak itu memang jarang sekali menolak permintaan kerja sama dari Lintang. "Dia dirawat disini?"

"Belum. Dia tinggal di Panti Asuhan STATESIDE, salah satu yang Gue tangani setengah tahun belakangan di project WHO."

"Alright."

Lintang kembali ke mejanya, mengambil sesuatu dari laci, "Kami sudah melakukan CT scan kepala, dan ini hasilnya," ujarnya, menyerahkan satu dokumen berisi gambar tiga dimensi hasil pemindaian otak pasien anak atas nama Chetna itu.

Tama menyalakan lampu mejanya, melihat lebih jelas hasil CT scan kepala Chetna. Cukup lama Ia berpikir dan menganalisis, "Sepertinya akan rumit, Lin."

Lintang mengangguk, "Ya, dugaan Gue juga begitu. Menurut Lo prosedurnya akan gimana sementara ini? Berdasar kan hasil CT scan?"

"Kapan CT scan ini dilakukan?"

"Bulan lalu."

Tama mengangguk, "Kita perlu lakukan CT scan lagi, khawatir struktur dan kondisinya kembali berubah. Tapi jika melihat hasil yang ini, satu dari empat prosedur bedah bisa saja dilakukan ... kecuali transsphenoidal, karena lokasi kanker itu bukan di pituitari," jelasnya.

"Baik. Beberapa kali Gue diskusi dengan Dokter Vian dari Bedah Umum, dan beliau menyarankan untuk melakukan craniotomy."

Tama mengangguk, "Ya, memang sementara, prosedur itu yang paling memungkinkan jika mengacu ke hasil CT scan ini."

"Baik."

"Diantara anak-anak yang Lo tangani setengah tahun terakhir, apakah Chetna ini yang terparah? Gue gak pernah dengar Lo menangani pasien kanker sampai harus dioperasi sebelumnya."

"Ya, dia yang terparah." Lintang menghela nafasnya berat, "Semakin parah karena orang tuanya gak bisa membiayai pengobatan, gak punya asuransi, dan dia ... berasal dari kasta bawah," lanjutnya, teramat menyayangkan bagian terakhir, soal pembagian kasta masyarakat di negara mayoritas Hindu itu.

"Jadi Lo mau membiayai satu lagi pasien Lo ini?" tebak Tama, hafal diluar kepala sifat filantropi dan royalis Lintang sejak dulu.

Lintang mengangguk, "Ya, administrasi pembayaran sudah selesai, tinggal tindakannya. Kasihan, Tam. Gak tega Gue ngeliatnya. Chetna itu anak yang paling suka murung, mengisolasi diri, sering drop, dan anak-anak lain disekelilingnya kadang malah menjauh karena kondisinya seperti itu. Padahal dia pinter, berbakat di bidang seni, terutama gambar menggambar," cerita Lintang apa adanya.

Tama mengangguk-ngangguk, "Thet's a very good deeds of you then."

"Not really, just a bunch of money," kilah Lintang santai, Tama hanya tersenyum miring. Memang sih, uang bukanlah masalah besar bagi seorang Lintang.

"Jadi gimana rencana Lo? Mau ketemu dia dulu?"

"Boleh, I want to know her more before the surgery and stuff. Nanti malem Gue gak ada jadwal. Lo bisa temenin Gue ke STATESIDE? Udah lama juga Gue gak main kesana."

Lintang mengangguk-ngangguk, "Great idea, mereka pasti seneng kalau 'Uncle' Tama dateng," ujarnya tersenyum jail, mengingat sebutan 'Uncle' dengan aksen lokal kental itu sangat dibenci Tama sejak pertama kali menginjakkan kaki di India.

"Ck! Dokter Tama!"

"Uncle Tama aja kenapa emang? Kan Lo emang udah pantes disebut Om-Om."