Chereads / Hidden Little Secret / Chapter 11 - Sebuah Lamaran

Chapter 11 - Sebuah Lamaran

"Maaf minta ketemu tiba-tiba," ujar Bima.

"Kamu udah bilang itu tiga kali," kekeh Bulan. Dia melanjutkan makan rujak buahnya yang tersisa separuh. "Kamu beneran nggak mau pesan? Atau coba punyaku?"

Bima menggeleng. "Aku terlalu gugup untuk bisa makan sekarang," jawabnya.

Kernyitan muncul di kening Bulan. Dia berhenti menusuk buah mangga muda dengan garpu. "Gugup kenapa?"

Bima menggosok-gosokkan dua telapak tangannya. Dia melihat ke arah Bulan, mengalihkan mata, lalu kembali pada perempuan itu. Dia mengulanginya selama satu menit, sementara Bulan hanya diam menunggu.

"Sebenarnya ada yang mau aku sampaikan ke kamu hari ini," ujar Bima akhirnya. Napasnya terdengar lebih berat.

Bulan menganguk-anggukkan kepala sebagai tanda agar Bima melanjutkan ucapannya.

"Em … Bulan, aku tidak jadi bekerja di sini." Bima kembali menggosokkan telapak tangannya.

"Kenapa?" tanya Bulan.

"Aku dapat tawaran sebagai fotografer tetap salah satu rumah mode di Prancis. Tawaran itu sebetulnya tidak begitu menarik untukku karena Ibu sedang butuh aku di sini. Tapi, setelah kupikir ulang, mungkin Ibu bisa dapat perawatan yang … ya, kamu tau …."

Bulan lagi-lagi mengangguk meski kalimat Bima terputus-putus. "Bukankah itu kesempatan yang bagus? Kamu bisa dapat banyak pengalaman yang lebih baik di sana, bahkan ibumu bisa dapat perawatan terbaik juga."

"Kamu benar," sahut Bima. "Tapi ada satu hal yang memberatkan hatiku." Dia menghela napas berat, lalu menatap Bulan tepat pada manik cokelat terangnya.

Ada firasat yang melintas di dada Bulan. Dia sepertinya bisa menangkap apa yang sekiranya akan disampaikan Bima, sebab mata lelaki itu begitu jelas, sejelas bebatuan di dasar sungai yang permukaan airnya begitu jernih. Terbiasa dengan Timur yang acap kali keruh, bahkan nyaris pekat, membuat Bulan terkejut sendiri. Orang seperti Bima tidak selalu muncul dalam hidupnya.

"Kalau aku minta kamu ikut, apa itu berlebihan?" tanya Bima akhirnya. Dia mengembuskan sedikit napas lega karena berhasil menanyakan pertanyaan itu.

Meski sudah menduga, tapi Bulan tak bisa menekan reaksi tubuhnya. Dia berdebar, tentu saja. Tatapan mata Bima begitu merasuk di dadanya, hingga dia kembali merasa bersalah atas ketidakmampuannya membalas ingin lelaki itu.

"Mungkin akan terdengar bohong sekali kalau sekarang aku mengaku suka sama kamu, Lan. Tapi, itu kenyataan," ujar Bima lebih berani ketika tak melihat keengganan dari wajah Bulan. "Sejak melihat fotomu dulu, aku sudah tertarik. Sayangnya kita baru dipertemukan sekarang. Dan meski menggelikan, aku mau mengaku kalau pertemuan pertama kita kemarin membuatku jatuh hati."

Bulan mengedip-ngedipkan matanya. Beberapa lalat muncul di atas rujak buahnya karena sejak tadi dibiarkan tak tersentuh kembali.

"Bima … ini … astaga!" Bulan mengerang sambil menyentuh pelipis kanannya. "Kepalaku kosong."

"Maaf," kata Bima pelan.

Bulan langsung melambaikan tangan di udara sembari menggeleng. Dia tidak mau lelaki itu berujar maaf atas sesuatu yang tidak bisa dikatakan salah.

"Sepertinya rujak ini harus disingkirkan dulu," ujar Bulan. Dia menghela napas sambil mengipasi wajahnya sendiri dengan telapak tangan.

"Biarkan saja. Nanti itu aku makan, dan kamu akan aku pesankan yang baru."

Bima mencoba mengulas senyum di antara debar jantungnya yang menggila. Dia tak habis pikir dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia melamar anak gadis orang di kedai rujak seperti ini, ditemani lalat yang beterbangan pula.

"Bim, boleh aku bertanya?" Bulan kembali bersuara setelah jantungnya kembali berdetak dalam ritme yang normal.

"Silakan," jawab Bima dengan suara tenang. Padahal dia semakin gugup menanti pertanyaan Bulan.

"Kenapa kamu begitu yakin ngajak aku?" tanya Bulan. "Kita benar-benar baru bertemu, Bim. Satu-satunya hal yang buat kita bisa saling percaya hanyalah Yasmin. Tapi, bukankah itu saja tidak cukup?"

Sebetulnya bukan pertanyaan seperti ini yang ingin Bulan tanyakan. Kadang kala saat membaca atau menonton film romantis, dan menemukan dialog semacam itu, dia merasa geli sendiri. Terlalu berlebihan rasanya menanyakan keyakinan atas perasaan orang lain. Namun, kembali lagi, dia bukan orang yang berpengalaman dalam hal percintaan. Selama 24 tahun hidupnya, belum ada lelaki yang pernah menyatakan cinta secara terang-terangan seperti yang dilakukan Bima padanya.

"Aku yakin, Bulan. Bahkan dalam perjalanan menuju mall untuk bertemu kamu hari itu, aku sudah merasa yakin kalau aku akan jatuh cinta. Aku memberanikan diri untuk membiarkan hatiku jatuh lagi meski telah beberapa kali patah hati dengan cara yang tragis," jawab Bima. Lelaki itu menyentuh dadanya dengan tangan kanan, merasai detaknya jantungnya sendiri.

Bulan menghela napas panjang dan berat. Dadanya sesak. Ketulusan dari sorot mata Bima membuatnya goyah. Dia jadi berharap dan ingin menerima perasaan lelaki itu, ketimbang hanya merasakan cinta seorang diri.

Akan tetapi, tiba-tiba saja ucapan Timur ketika mengantarnya ke tempat ini teringat kembali. Dadanya berdenyut nyeri, tapi tak bisa menghentikan perputaran ulang dialog yang diucapkan lelaki itu.

"Kamu yakin mau berhubungan sama fotografer? Bukankah dunia mereka terlalu … bebas?" tanya Timur tadi.

Dia mengernyit, tidak paham kenapa Timur harus mengatakan hal yang bahkan tak pernah lelaki itu ucapkan selama bertahun-tahun. Timur sebelumnya tak pernah menghakimi profesi seseorang, sekalipun itu pelacur.

"Kenapa kamu bicara seperti itu?"

Timur mengetuk-ngetukkan jarinya di atas kemudi. "Hm …." Dia menjeda. "Karena kamu orang yang lembut, Lan."

Bulan kemudian menggeleng-gelengkan kepala, mencoba mengusir Timur dari sana, dan kembali fokus pada Bima.

"Bulan?" panggil Bima.

"Hm?" sahut Bulan cepat. Dia tak benar-benar menatap mata Bima lagi. Terlalu menakutkan kalau sampai dia benar-benar nekat menghanyutkan diri di sana.

Bima mengangkat kedua alisnya selama tiga detik, lalu dia memunculkan senyum di wajahnya yang tegang.

"Aku bahkan belum melamarmu secara benar, tapi sudah begini saja kondisinya," kekeh lelaki itu pelan, mencoba mencairkan suasana yang tetiba canggung setelah pernyataan cintanya.

Sementara itu, Bulan tak terkejut mendengar kata 'lamaran' keluar dari mulut Bima. Dia paham sekali ajakan lelaki itu tentunya mengarah pada pernikahan.

"Kalau kita bertemu empat bulan yang lalu, sepertinya aku tidak akan ragu, Bim," ujar Bulan lirih. Namun karena keadaan di sekitar mulai sepi, suaranya jadi terdengar oleh Bima. Lelaki itu mengernyit.

"Kenapa? Kenapa kalau sekarang?" tanya Bima.

Rasanya saat ini juga Bulan ingin sekali masuk ke dalam lantai yang sedang dipijaknya. Pikirannya terlalu kacau untuk bisa membedakan mana yang harusnya bisa terlontar lewat mulut, dan mana yang tidak.

"Bim." Bulan menutup wajah dengan telapak tangan. "Jujur aku goyah," akunya.

Bima tersenyum mendengar itu. Namun, bibirnya harus kembali tertarik ke bawah ketika mendengar kelajutan dari ucapan Bulan.

"Tapi, aku harus secepatnya kasih tahu kamu kalau ... aku nggak bisa."

Bulan menyadari bahwa bila percakapan ini makin panjang, maka dia bisa saja hanyut, atau Bima jadi lebih berharap padanya.

"Maaf, Bima. Aku tidak bisa ikut denganmu ke Prancis."

***

Jam menunjukkan angka enam saat Bulan sampai di depan gerbang rumah. Hari ini pekerjaan begitu banyak, hingga badannya terasa sangat lelah. Dia menyempatkan untuk meregangkan otot selama beberapa detik, sebelum akhirnya beranjak membuka gerbang.

Saat itulah Bulan akhirnya sadar kalau ada mobil yang sangat dia kenal terparkir di muka garasi rumahnya yang lama tak terpakai. Dia kemudian cepat-cepat berjalan menuju pintu masuk, dan membukanya tanpa mengetuk.

"Timur? Kamu di sini?" teriaknya.

Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah. Dan benar saja Timur kini berjalan di belakang ibunya. Seketika Bulan merasa badannya kaku. Dia tak bisa lagi mengatakan apa pun selain melirik sang ibu yang bersikap tenang. Padahal saat ini perempuan itu tengah bersama laki-laki yang sudah menghamili putrinya.

Kecurigaan bahwa sang ibu hendak membocorkan perihal kondinya, membuat keringat mulai bermunculan di pelipis Bulan. Dia bahkan sampai gemetar. Padahal kalau dia bisa berpikir jernih, dia akan tahu bahwa ekspresi Timur saat ini tak menunjukkan sesuatu yang aneh.

"Sudah pulang? Aku lagi bantu Ibu benerin pipa air yang lepas," ujar Timur memecah keheningan dan suasana tegang yang tiba-tiba menguar.

"Eh? Em … oh, begitu," jawab Bulan canggung. Dia kembali menatap Seruni. Ibunya itu hanya tersenyum tipis, tapi cukup untuk membuatnya bisa menghela napas lega.

"Lan, kamu diantar teman ke sini?" tanya Seruni tiba-tiba. Mata perempuan paruh baya itu melihat ke belakang pungung Bulan.

Bulan akhirnya membalik badan dan ikut melihat arah pandang Seruni. Sayangnya dia harus kembali terkejut, karena kini sosok Bima berdiri di depan gerbang rumahnya.

"Kenapa dia ke sini?"