Kragan, 1942
Suasana yang rindang dan asri hanya dapat ditemukan di desa ini. Salah satu bagian dari kota Daerah istimewa Yogyakarta. Kota yang sangat kental dengan budaya keraton Jawa di Hindia Belanda, nama Indonesia saat itu. Meskipun saat itu Indonesia berada di bawah kekuasaan Belanda. Dimana aspek-aspek pribumi dianggap tidak penting oleh mereka. Bahkan anak-anak harus menggunakan bahasa Belanda saat di sekolah. Itu membuat hampir seluruh anak-anak menjadi rendah diri. Tapi, meski begitu mereka, para orang tua tak pernah menyerah untuk hidupnya. Mereka terus melakukan aktifitasnya. Seperti bercocok tanam. Juga berdagang. Tentu tak pernah lepas dari pengawasan tentara Belanda. Jika di kala siang, sepanjang mata memandang, dapat melihat beberapa tentara Belanda berlalu lalang, membawa senjata laras panjang yang berujung lancip, seperti mata tombak. Seolah mereka lupa atau mungkin melupakan, jika yang tengah dipijaknya adalah bumi pertiwi. Bukanlah milik mereka.
Cuitan burung pagi yang bersahutan di atas pepohonan, menjadi satu-satunya hiburan untuk mereka yang siap menjalani kesehariannya. Bentangan sawah serta pohon kelapa yang tinggi namun memiliki batang yang sedikit ramping, cukup mampu membuat mata berbinar. Bau khas pedesaan yang tak terkontaminasi oleh asap apapun, dapat membuat paru-paru bekerja dengan normal. Terlihat beberapa tentara Belanda yang tengah tertidur di beberapa titik pos penjagaan mereka, sementara sang surya sedang mengintip di ufuk timur membuat langit yang berwarna kemerahan kini perlahan berubah menjadi spectrum biru muda. Menandakan desa itu akan disibukkan oleh segala kegiatan yang ada. Kokokan ayam jantan yang nyaring, bahkan lebih nyaring dibanding jam weker, membuat beberapa dari mereka yang masih terlelap segera berjengit dan melompat dari ranjang yang terbuat dari besi. Bergegas menuju kamar mandi. Memompa air dengan sekuat tenaga, hanya untuk menyegarkan tubuhnya. Sedangkan para ibu tengah sibuk di medan perangnya, untuk mengisi amunisi pagi keluarga. Meniup tumpukan kayu bakar, hingga api dapat menyebar perlahan. Beberapa laki-laki paruh baya juga siap berperang dengan cangkul yang terkadang mereka letakkan di bahu. Layaknya tas ransel. Begitu juga dengan remaja laki-laki, yang melakukan hal serupa. Namun, tidak semua laki-laki di desa bekerja di sawah. Ada sebagian yang menjadi buruh kasar di bawah naungan tentara Belanda.
Anak-anak tengah berlarian dengan pakaian ala kadarnya untuk pergi ke sekolah, setelah menghabiskan beberapa potong ubi serta segelas teh hangat yang menjadi sarapan sehari-hari mereka. Di tahun itu, pakaian yang mereka kenakan sungguhlah biasa. Kaos putih dengan celana kain hitam yang biasa dikenakan oleh kaum adam. Namun, beberapa dari mereka, ada pula yang mengenakan kemeja bermotif batik yang jarang mereka kancing kan. Sehingga, memperlihatkan dada mereka yang coklat hampir kehitaman karena tersengat oleh sinar matahari. Juga, para wanita yang selalu mengenakan kebaya serta kain jarik yang dilingkarkan pada pinggang dan memanjang hingga lutut. Pakaian yang sangat sederhana, namun cukup memancarkan keayuan khas wanita Jawa Tengah yang terkenal dengan kelembutan tingkah lakunya.
Pada zaman itu, tak banyak wanita yang bekerja di luar rumah. Bahkan, hampir tidak ada. Mereka beranggapan wanita tak seharusnya melakukan pekerjaan laki-laki. Pekerjaan mereka hanyalah memasak dan mengurus segala urusan rumah. Jika bertanya, apa alasannya? Mereka dengan mudah menjawab Sudah kodratnya. Kata-kata yang sepertinya perlu di garis bawahi. Namun, sepertinya itu semua tak berlaku pada seorang gadis yang tengah mengayuh sepeda onthel-nya. Mengelilingi desa. Mengedarkan pandangan serta mengembangkan senyum manisnya. Rambutnya yang terkepang dua bergerak melawan arah. Poninya pun dengan gemulai terbelah menjadi dua. Pagi Ambar. Dua kata itu terus terdengar sepanjang rodanya berputar. Bahkan beberapa orang di sawah segera meluruskan punggungnya ketika mendengar deringan bel sepeda onthel Ambar. Mengangkat capil, saat Ambar melewati mereka seraya tersenyum. Yang dibalas dengan senyuman ringan oleh Ambar.
Terus mengayuh, hingga terdengar musikalitas khas pasar daerah yang sama setiap harinya. Tentu saja dengan lirik yang berbeda. Tak lain adalah suara dari pedagang yang menjajakan dagangannya.
"Lopen radio!"
Seseorang berteriak. Ambar pun menengok kearah belakang seraya menarik rem.
"Cerita yang kemarin, harus kau lanjutkan malam ini!" teriaknya lagi. Yang ternyata suara milik seorang laki-laki.
"Baik. Kau tunggu di tempat biasa! Ajak yang lain!" Ambar ikut berteriak.
Rodanya kembali berputar, setelah percakapan singkat itu. Mereka lebih sering memanggilnya dengan sebutan Lopen radio daripada menyebut namanya. Bukan tak ada alasan, Ambar setiap hari mengajak sepeda onthel-nya berkeliling. Itu semua karena memiliki tugas yang ia ciptakan sendiri. Di samping sangat energik, Ambar juga sangat imaginative. Dia gemar mengarang cerita lalu mengumpulkan para remaja sebayanya, dan membuat mereka mendengarkan cerita tersebut. Bukan karena keterpaksaan mereka mendengarkan cerita Ambar, tapi memang cerita gadis 18 tahun itu sangat menarik dan membuat mereka penasaran dengan cerita yang selalu dibuat bersambung. Oleh sebab itu, kehadirannya sangat ditunggu. Bahkan belakangan ini tentara Belanda juga senang mendengar cerita Ambar. Itu sebabnya, ia mendapat julukan lopen radio. Yang berarti radio berjalan.
Ambar kembali menarik rem dan memarkir sepedanya begitu saja. Berjalan menuju satu pohon besar yang rindang yang berdiri beberapa meter di depannya. Dibawahnya, beberapa remaja tengah melambaikan tangan kearahnya. Memberi tanda, agar ia dapat mempercepat langkahnya. Begitu berada tepat di depan meja kayu usang, Ambar menarik nafas secara perlahan dan panjang. Sementara mereka duduk begitu saja, di atas akar pohon yang menjalar di tanah. Tentu saja ukurannya cukup besar, hingga dapat dijadikan alas untuk duduk. Setelah berdeham, Ambar mulai bercerita.
"Gadis itu menangis, meronta. Memohon ampun! Agar tentara Belanda melepaskannya. Namun, diabaikan oleh tentara itu. Ia semakin beringas, ketika kain yang menyelimuti kaki gadis itu tersibak keatas, sehingga memperlihatkan pahanya yang mulus. Selangkah.. demi selangkah dia mendekati gadis yang hanya mampu menggeleng seraya bersimpuh di tanah. Gadis itu semakin terbelalak ketika melihat tentara Belanda itu melepaskan ikat pinggangnya. Lalu!"
Wajah mereka menegang. Tak sabar ingin segera mendengar kelanjutannya. Bukan Ambar namanya jika tidak membuat mereka jengkel karena penasaran. Setiap bercerita, Ambar selalu menggantungkan kata-kata dan memberikan penekanan di akhir kata yang cukup membuat mereka menggeretakkan gigi serta mengerutkan dahi. Di samping pandai merangkai kata, Ambar juga lihai memainkan emosi para pendengar ceritanya dengan sedikit teatherikal yang dilakukannya.
"Lalu? cepatlah, Ambar! Aku sudah hampir mati penasaran!" kata seorang remaja laki-laki. Yang ternyata disetujui oleh mereka semua.
Ambar tersenyum miring serta berkacak pinggang. "Jika ingin mendengarkan selanjutnya, maka diam lah!"
"Lalu.. terdengar dobrakan pintu yang sangat keras. Cukup membuat gadis dan tentara Belanda itu tersentak kaget. Bayangan seseorang, berdiri dengan gagahnya. Tangannya menggenggam pistol. Tanpa banyak bicara dia melepaskan peluru pada tentara Belanda itu. Dor! Dor! Dor!" katanya, meniru gaya menembak. "Tentara Belanda itu mati seketika. Sementara gadis itu masih bingung. Seseorang yang telah menyelematkan dia pun berjongkok di hadapannya. Kau siapa? Gadis itu bertanya. Aku.. adalah malaikat penolong mu."
Para remaja gadis berteriak histeris, mendengarkan klimaks dari cerita itu yang terdengar romantis. Sementara remaja pria hanya mengangguk-anggukan kepala. Tanda ia sedikit puas dengan akhirnya.
"Apa.. kali ini pria penolong itu juga orang Jepang?" Tanya Siti.
"Tentu saja."
Para remaja gadis bertepuk tangan bahagia, ketika mendengar pemeran utama adalah orang Jepang. Berbeda dengan remaja laki-laki yang berdecak lirih.
"Aku bosan. Kenapa pemeran utamanya bukan warga Pribumi saja?" Tanya Ahmad.
"Kau ingin pemeran utamanya warga pribumi?"
Ia mengangguk.
"Kau buat saja ceritamu sendiri."
Sementara mereka berdebat, seorang gadis yang duduk paling ujung tiba-tiba berdiri, setelah sepanjang Ambar bercerita ia terus memutar tombol di radio berwarna hitam miliknya. Bunyi gemerisik khas radio yang berusaha menangkap sinyal pun terdengar. Arrum, nama gadis itu, segera berlari kecil dan meletakkan radio di atas meja.
"Siarannya sudah dimulai! Cepat berkumpul!" katanya dengan sangat antusias.
Tanpa berpikir terlalu lama, Ambar serta yang lain segera mengelilingi radio tersebut. Sebagian membungkukkan badan, mendekat pada radio. Entah siaran apa yang mereka tunggu, tapi mimik wajah mereka lebih menegangkan dibanding dengan reaksi para penghuni desa ketika tentara Belanda datang pertama kali. Detak jantung yang seolah terdengar menambah kesan dramatis dalam adegan itu. Apalagi saat suara laki-laki yang berbicara dengan bahasa Jepang, mulai terdengar dari radio tersebut. Cukup membuat mereka hampir berteriak, namun segera dihentikan oleh Arrum.
"Melalui siaran radio ini, saya akan mengumumkan keputusan rapat yang dilakukan beberapa petinggi Jepang, beberapa hari yang lalu. Dimana dalam waktu dekat ini! tepatnya, lima hari yang akan datang. Kami tentara Jepang. Akan datang ke Indonesia!"
Sontak mereka bersorak sorai. Saling menepukkan tangan satu sama lain. Begitu juga dengan Arrum dan Ambar yang semula tersenyum lebar dan saling pandang. Kini mengikuti para remaja lain yang tengah melompat kegirangan sembari berpelukan.
Yogyakarta, 2017
"Tapi, bukankah tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dan menindas warga pribumi?" Akio bertanya. "Kenapa kalian begitu gembira?"
Ambar sejenak menunduk seraya tersenyum ringan. "Manusia berotak buruk tak serta merta tercipta. Mereka terbentuk karena melihat adanya kesempatan serta keserakahan yang menggerogoti hati nurani mereka," katanya. "Pada awalnya, kedatangan mereka adalah untuk membantu kami merebut kemerdekaan dari Tentara Belanda. Mereka juga membantu mengusir para tentara itu. Dan membuat kami kembali memiliki aspek-aspek budaya tanah air. Terlebih, kami kembali menggunakan bahasa Indonesia. Tapi.. itu tak berlangsung lama. Ketika pemimpin diktator itu, memerintahkan untuk membentuk Romusha."