Karena4 Hari Sebelum Kedatangan Jepang
Kokokan Ayam menandakan waktu menjelang subuh. Ambar menggeliat. Bangun dari ranjang bambunya. Menggulung rambutnya, yang hitam legam. Kemudian, pergi ke kamar mandi—yang ada di bagian belakang rumahnya. Mengambil air dari sumur, dengan cara tong kecil yang di kaitkan dengan tali, lalu di kerek. Karena, pompanya sedang rusak. Besinya sudah berkarat.
Setelah, memenuhi air di bak mandi yang terbuat dari semen—Ambar mencuci muka. Kemudian, keluar dari kamar mandi. Menghirup udara subuh, yang sangat segar.
Meski, langit masih cukup gelap—Ambar cukup bersemangat. Mengingat, bantuan dari Jepang akan segera datang.
Ia masuk ke dalam dapur, yang lantainya masih tanah. Terlihat Ningrum tengah meniup-niup api di tungku pembakaran, yang terbuat dari tanah liat. Sementara, di atasnya ada sebuah wajan dengan minyak sawit, di dalamnya.
"Mau goreng singkong, Bu?" tanya Ambar.
"Iya. Nanti, kirim ke Bapak, ya?"
"Siap, Bu."
"Bu.. Biar Ambar saja, yang membuat api."
"Memangnya, bisa?"
"Bisa, Bu."
"Tidak usah. Sapu saja rumahnya."
Tanpa menjawab lagi, Ambar segera menyapu rumahnya, yang tak begitu besar. Pun, tak begitu kecil. Setelahnya, ia duduk di kursi kayu, yang ada di sudut ruang tamu—yang, merangkap jadi ruang keluarga.
Ambar mengambil selembar kertas, pada meja di depannya. Lantas, mulai menulis dengan pena, yang di temukan tergeletak di jalanan. Sepertinya, milik salah satu tentara Belanda.
Ambar memang suka berimajinasi sejak kecil. Sering membuat cerita-cerita, yang nanti akan di ceritakan pada kawan-kawannya. Hingga, akhirnya ia mengenal kertas dan pena. Kini, selain menjadi lopen radio—ia juga menulis ceritanya pada kertas, yang nantinya di simpan rapi dalam lemari bajunya.
Ambar, bisa menghabiskan waktunya di depan meja tulisnya seharian—kalau saja, Ningrum tidak memerintahkannya untuk segera mengirim sarapan pada Risman.
Rantang dengan 2 tingkat, juga ceret kecil yang berisi kopi panas—di letakkan pada keranjang depan sepeda onthel-nya. Setelahnya, dia mulai mengayuh sepedanya. Menyapa beberapa warga, yang akan berangkat ke sawah. Ada yang membawa cangkul di pundaknya. Ada yang menenteng capil. Ada pula, yang membawa ceret untuk menghilangkan dahaga nanti.
Biasanya, Risman juga berangkat ke sawah. Bercocok tanam seperti yang lain. Tapi, hari ini—ia pergi ke gudang tempat penyimpanan beras untuk warga pribumi. Gudang yang memang di bangun, karena ide dari Risman.
Langit mulai sedikit cerah, ketika Ambar sampai di gudang. Ada sebuah mobil jeep milik tentara Belanda, yang tak seharusnya ada di depan gudang.
Ambar turun dari sepedanya, sembari mengernyitkan kening. Melihat Risman adu mulut, dengan 3 tentara Belanda yang membawa senjata laras panjang, di bahu kanan.
"Kalian tak boleh mengambil beras di sini! Ini jatah warga pribumi!" pekik Risman.
"Sejak kapan, kalian memiliki jatah beras sendiri?! Hanya kami, yang boleh memiliki simpanan beras yang banyak!" jawab tentara Belanda, berkumis tipis. Berwarna blonde. Selaras dengan warna rambut mereka.
Di antara warga pribumi—Risman-lah yang fasih berbahasa Belanda.
"Memangnya, kenapa? Ini tanah kami! Kami berhak melakukan apa pun di sini! Padi-padi itu, kami yang menanam! Bukan kalian!"
Otot halus merah di mata Risman muncul. Menandakan, jika ia tengah marah besar.
Tentara Belanda yang tersulut emosi pun, mengarahkan senjatanya pada dahi Risman. Ambar yang melihatnya, segera berlari mendekati Risman. Mendorong tentara Belanda itu.
"Jangan acungkan senjata mu pada Bapakku!"
Ambar merentangkan tangan ke samping. Melindungi Risman.
"Well, siapa ini? Beraninya, perempuan melawanku?"
"Memang, kenapa kalau aku perempuan?"
"Tidak seharusnya, kau di sini? Tugasmu adalah di dapur. Atau, kalau tidak—melayaniku di ranjang."
Tentara Belanda itu tertawa mengejek. Ambar membuang ludah ke samping.
"Aku tak sudi melayani mu!"
Amarah tentara Belanda itu meledak. Menjambak rambut Ambar, hingga badannya ikut tertarik ke depan.
"LEPASKAN!" pekik Risman. "Aku.. akan memberimu beberapa karung beras."
"PAK!"
"Lepaskan anakku."
Tentara Belanda itu menyunggingkan senyum. Mendorong Ambar ke arah Risman.
"Neem hun rijst. zo veel mogelijk."
(Ambil beras mereka. Sebanyak mungkin.
"Pak! Kenapa beras kita di berikan pada mereka?!"
"Lantas, kau mau di tembak oleh mereka? Kau mau mati?!"
"Ambar! Jangan sekali-kali, kau berlagak seperti pahlawan! Kami tidak butuh Ambar! Kami bisa menangani mereka sendiri!" celetuk salah satu teman Risman.
"Ya, Ambar! Gara-gara kau! Kita kehilangan banyak beras!" tambah, teman yang lain.
Tentara Belanda itu membunyikan klakson. Ambar menengok, dengan kerutan kesal di dahi. Tentara Belanda itu mengedipkan satu matanya. Kemudian, melaju pergi. Dengan tumpukan karung beras, di jok belakang.
"Kau pulang saja, Ambar. Jangan berkeliaran lagi. Bantu Ibumu di rumah."
Ambar mendesah singkat. Menundukkan kepala.
"Ingat, Ambar! Jangan berkeliling sambil menceritakan cerita bodoh lagi, kepada semua orang!"
Ambar menghentikan langkah. Berbalik badan.
"Kenapa, sih, Pak? Bapak tidak suka dengan hobi ku?"
"Hobi mu itu tidak jelas! Lari ke sana ke sini. Hanya untuk bercerita konyol!"
"Tapi, banyak yang suka, Pak! Ambar juga suka! Ini hidup Ambar yang sesungguhnya!"
"Hidup apa?! Kau itu perempuan! Kodrat mu cukup di rumah! Memasak, mencuci, membersihkan rumah, melayani suami! Hanya itu!"
Ambar bernapas cepat. Menahan amarahnya.
"Ini sebabnya—kita di jajah oleh bangsa lain."
"AMBAR!"
Ambar berbalik badan. Menaiki sepedanya. Dan, mengayuhnya pergi.
**
Ambar baru saja tiba, di tempat biasa dia berkumpul dengan kawan-kawannya. Di bawah pohon besar.
Ambar memarkir sepedanya sembarangan. Berjalan dengan langkah lemas. Merebahkan diri, di bawah pohon. Akar pohon yang besar menjalar di atas tanah, di jadikan bantal olehnya. Mendesah panjang kemudian.
Tak lama kemudian, Arrum datang. Dengan berjalan kaki.
"Kau lari lagi dari Ibumu?" tanya Ambar, yang mendengar langkah kaki Arrum.
"Ya. Benci sekali aku dengan Ibuku. Kenapa aku tak boleh ikut belajar? Masak. Masak. Masak terus. Capek aku."
"Sama dengan Bapakku. Katanya—kodrat perempuan itu cukup di rumah. Ah, kolot sekali pemikirannya."
"Aku tidak mau, nanti tuaku seperti itu. Anakku, harus menempuh pendidikan paling tinggi. Sekalipun, dia perempuan."
"Aku juga."
Ambar bangun. Duduk dengan bersilang kaki.
"Apa itu?" tanya Ambar, melihat kain putih yang di bawa oleh Arrum. Seperti membungkus sesuatu.
"Ubi. Masih panas."
"Wah, cocok sekali. Aku belum sarapan."
Arrum terkekeh. Duduk di sebelah Ambar. Membuka kain putih. Dan, memberikan satu ubi pada Ambar.
Keduanya pun menikmati Ubi kukus, sembari memandangi mentari, yang mulai muncul ke permukaan.
"Hati-hati. Masih panas," kata Arrum. "Hari ini—kau akan melanjutkan cerita kemarin?"
"Entahlah. Aku sedang tidak enak hati."
"Gara-gara Bapakmu?"
"Iya."
"Kita bersepeda saja dulu ke pasar. Pasti, nanti perasaanmu akan membaik."
Ambar tersenyum kecil. "Kau memang selalu bisa membuatku nyaman."
**
Yogyakarta, 2017
"Jadi—Arrum adalah sahabat anda waktu itu?" tanya Aiko.
"Tidak juga."
"Lantas?"
"Dia, memang sahabatku. Setidaknya, sebelum kejadian itu menimpaku."