Chereads / U-Watch Project (Pindah Publikasi) / Chapter 5 - Ikatan dan Takdir i

Chapter 5 - Ikatan dan Takdir i

Ikatan Shikai

***

"Hei! Bukannya kita ke sini ingin belajar kelompok, kenapa malah bermain?"

Seorang gadis kecil berkacak pinggang dari atas mimbar pendapa, matanya mendelik menatap kawanan anak laki-laki di depannya, mereka tengah asik bermain bola di pelataran tempat itu. Gadis itu segera melompat turun, rambut panjang sebahu berkibar terkena hembusan angin, dia juga membenarkan kaca mata yang miring karena tergoncang.

Goal....

Sorak-sorai anak laki-laki memenuhi tempat itu. Namun tidak untuk gadis itu, matanya melotot merasakan hembusan angin menerpa tubuhnya bersamaan dengan sebuah bola melesat cepat di sampingnya.

"Hei...!" Teriak gadis itu penuh amarah, dia berjalan kasar ke arah gerombolan lelaki, membuat mereka terdiam mematung bahkan ada yang merinding.

"Ini salah mu Edi." ucap salah satu anak.

"Ha?!" Anak yang dipanggil Edi itu terkejut.

Dia menoleh ke belakang merasa tidak nyaman, kemudian dengan cepat menatap ke depan lagi.

"Bukannya salah mu Dwi, tendangan mu terlalu kencang!" sanggahnya.

"Bukan tendanganku yang terlalu kencang, tapi kamu yang tidak bisa menangkapnya Edi." bantah Dwi dengan santai.

Anak-anak lain segera mengangguk mendengar pernyataan Dwi, mereka semua setuju dengan ucapannya. Edi hanya bisa mendengus kesal karena tidak ada yang membantunya, mau tidak mau sebuah hukuman menanti.

Sebuah jeweran melesat ke telinga Edi, ditariknya tubuh bocah itu. Tanpa perlawanan gadis itu menariknya tanpa peduli seberapa keras dia menjewer. Alhasil, bocah itu hanya bisa berteriak kesakitan.

"Tu-nggu, Sarah. Aku bisa jelaskan---." ucap Edi memelas berusaha membela diri.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, ikut aku atau telingamu lepas!" tukas Sarah cepat.

Sarah naik ke atas mimbar tanpa melepas jewerannya, "Hei, Kalian semua!" teriaknya. Dia menunjuk para lelaki yang tengah mematung di bawah sana dengan wajah panasnya.

"Kenapa malah diam saja, cepat kemari atau kalian ingin merasakan jeweranku sepertinya?" lanjutnya tegas, dia menekan kalimat terakhir sambil menguatkan jeweran pada Edi membuat bocah itu berteriak spontan.

Sontak para lelaki berlarian ke dalam pendapa, mereka tidak ingin merasakan hal yang sama seperti yang dialami bocah itu. Mereka hanya bisa berterima kasih dalam hati, karena bukan mereka yang mengalaminya, sementara itu Edi hanya bisa mendesah melihat tingkah teman-temannya.

"Baiklah sekarang saatnya belajar." ujar Sarah dengan senyuman manis setelah melihat para lelaki memasuki pendapa. Wajah mereka menjadi pucat seraya membatin serentak "Sial...."

"Buka buku kalian masing-masing." imbuhnya mengambil buku pelajaran, semburat wajahnya penuh kebahagiaan seolah tidak terjadi apa-apa....

....

"Terima kasih, sudah menemani belajar." Sarah berpamitan dengan gembira, dia tersenyum manis.

"Sampai jumpa lagi." lanjutnya melambaikan tangan kemudian berlalu pergi.

Para lelaki menanggapi dengan senyum canggung, pasalnya mereka semua kelelahan, lelah karena belajar terlalu banyak. Tidak tanggung-tanggung semua pelajaran dipelajari langsung, dengan kegemarannya belajar dan membaca buku baginya tidak masalah. Namun, tidak untuk yang lainnya, mereka semua kalang kabut harus menerima semua jenis sekaligus, paling tidak berikan waktu untuk bernafas.

....

Singkat cerita semuanya membubarkan diri, menyisakan dua anak lelaki yang masih setengah sadar. Edi memang tidak sanggup belajar terlalu banyak, mengingat kemampuan akademik-nya yang rendah, dia harus dibimbing perlahan jika ingin belajar. Sementara tidak untuk Dwi, dia memang pandai dalam hal akademik, tapi tidak bisa jika harus menangkap sebanyak ini. Baginya serasa seperti disiram dengan air satu ember penuh. Keduanya akhirnya bisa bernapas lega setelah berpisah dengan gadis manis itu.

"Masih sanggup bertahan Edi?" tanya Dwi yang masih bersandar di tiang pendapa.

Grr.... Edi menggeram kecil, dia masih tidak sadarkan diri, isi kepalanya begitu penuh. Sarah tidak tanggung-tanggung menyiksanya, dia selalu disuruh menjawab setiap pertanyaan, padahal semua ini bukan salahnya.

"Ini salahmu Dwi..." geram Edi kesal, dia juga menyandar tidak jauh dari Dwi.

"Salah sendiri tidak mengelak..." kilah Dwi, dia merubah posisi menjadi terlentang di atas lantai teras pendapa itu. "Bukan salahku, juga. Lagian kamu diam saja diperlakukan oleh-nya." lanjutnya.

"Ya, ya, ya... aku tahu itu, murid favorit." Edi membalas dengan candaan kecil yang akhirnya menjurus pada saling ejek.

"Apa katamu, bocah rata-rata."

"Muka pucat,"

"Tampang pasaran,"

"Cari muka,"

"Sok alim,"

"Turis nyasar,"

"Dasar, kamu ya.…"

Keduanya saling ejek hingga Dwi kehabisan kata-kata untuk ejekannya, Edi yang melihatnya merasa menang. Dia berdiri dan menjulurkan lidahnya untuk mengejek sahabatnya itu "Wleee...."

Melihat hal itu Dwi merasa geram, hingga dia teringat akan sebuah kisah dari orang tuanya. Menurutnya itu hanya kabar angin, tapi entah kenapa kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutnya. "Beraninya kamu, anak pungut!"

Mimik wajah Edi segera berubah muram, semburat air mata seketika keluar membasahi pipi. Dia menangis sesegukan, tidak mengira temannya akan mengatakan itu. Meskipun Edi pernah mendengar cerita itu dari ibu-ibu rumpi yang tengah belanja sayuran, dia tahu cepat atau lambat teman-temannya pasti tahu.

"Dwi, jahat..." rengeknya.

Dwi yang merasa tidak enak ketika melihat Edi menangis, tubuhnya Reflek mendekat. Kemudian memeluknya erat, serta mengelus punggung berusaha untuk menenangkan.

"Dwi, jahat. Kenapa kamu mengatakannya?! ... Aku tahu, aku tahu kenyataan itu..., aku sudah mendengarnya sendiri. Tapi, kenapa rasanya sakit.... Terlebih, terlebih ka-kamu---." ujarnya terbata-bata.

Edi terisak di pelukan temannya, entah mengapa bukannya mereda tangisnya semakin menjadi. Rasanya begitu nyaman dipeluk seseorang terlepas dari seorang teman, ditambah status spesial diantara keduanya 'Sahabat'. Seolah tidak ingin lepas, Edi membalas pelukan Dwi dan semakin terisak.

Merasa tubuhnya hangat, Dwi mempererat pelukan pada Edi, dia merasa tidak ingin meninggalkan temannya satu ini. Rasa bersalah karena sudah menyakiti hatinya ikut menyelimuti, dia menyesal sudah mengucapkannya. Dwi menarik tengkuk Edi dan menyandarkan di bahunya, "Ma-afkan aku." bisiknya lirih, ia biarkan sahabatnya meluapkan emosi, hanyut dalam kesedihan.

....

Kehangatan menjalar merasuki tubuhnya, rasa nyaman menyeruak hingga tangisnya mereda. Perasaan Edi sudah lebih baik, anehnya sekarang dia merasa sesak, sesuatu menekan dan menahan tubuhnya. Rupanya Dwi memeluknya terlalu erat. Edi mengangkat kepalanya untuk menatap Dwi, "D-Dwi." panggilnya.

Dwi menoleh dan menatap Edi dan pandangan keduanya bertemu, "Iya," jawabnya.

"Lepas Dwi, aku tidak bisa bernafas." ucap Edi berusaha untuk melepaskan diri, dia mendorong tangannya berusaha membuat jarak. Namun, sayangnya fisik Dwi lebih baik dari Edi. Bukannya melonggarkan pelukan, Dwi malah semakin erat memeluk Edi. Dia reflek mempererat pelukan, hasilnya Edi kesulitan bernafas hingga tersedak.

"Ouch,… Sakit Dwi!" protesnya.

"Ma-maaf...." paniknya, Dwi melepas pelukan. Akhirnya Edi terlepas dari Dwi, dia menarik nafas dalam-dalam untuk mengisi kembali paru-paru yang sempat kosong. Ketika Edi melirik Dwi, dia melihat raut bersalah dalam gesturnya.

Bibirnya dipaksa untuk tersenyum, "Gimana aktingku, bagus kan?" ledeknya dengan menjulurkan lidah.

Rasa bersalah yang sebelumnya menyelimuti tiba-tiba hilang, temannya satu ini pintar mengubah suasana rupanya.

"Dasar kamu ya!" hardik Dwi berniat menghajarnya, dia membalasnya dengan menggelitik di tubuh Edi. Keduanya tertawa riang.

Sayangnya semua itu hanya sesaat, tawa Edi berhenti mendadak ditambah raut wajahnya mengkerut. Dia mengepalkan kedua tangannya erat, kepalanya tertunduk, pelan tapi pasti mulai terdengar suara rintihan. Semburat air mata mulai jatuh membasahi lantai. Dwi yakin sahabatnya berbohong, sebenarnya Edi belum senang.

"Edi, kamu tidak apa-apa?" Dwi bertanya dan dibalas dengan anggukan Edi, "Tidak apa-apa." isaknya lirih.

Kali ini Edi menolak untuk didekati, setiap kali Dwi mendekat dia selalu mengelak, bergerak sedikit saja dia menggeleng bahkan terlebih menepis-nya. Akhirnya Dwi hanya bisa menunggu hingga bocah itu baikan, ia memilih membiarkan sahabatnya itu meluapkan emosi yang tertunda?

....

"Kita masih berteman kan...?" Edi mengepalkan tangannya untuk memberi salam pertemanan.

Edi sudah cerita jika dia sudah tahu kalau dia memang anak pungut, orang tuanya memberi tahu dua tahun silam. Dia ditemukan ketika masih bayi oleh kedua orang tua angkatnya, di depan teras rumah mereka tiba-tiba ada keranjang bayi. Hanya ada sepucuk surat dan amplop berisi uang yang ditinggalkan....

Meski sudah mendengar kenyataan pahit itu, Edi tetap menganggap mereka sebagai orang tuanya sendiri. Dia juga mengira jika berita ini akan menyebar, cepat atau lambat teman-temannya pasti akan mengetahuinya. Sekuat apa pun tekadnya, rasanya tetaplah sakit, dadanya terasa perih saat Dwi mengatakan itu. Kali ini Edi harus menyiapkan mental lebih, bersiap menghadapi kenyataan.

Edi tersenyum, menodongkan tangan kanan yang mengepal, "Kita masih berteman kan...?" pintanya lagi memberi salam pertemanan.

Dwi tersenyum kecut, bingung harus menanggapi apa. Harusnya temannya itu tidak menanyakan hal yang sudah pasti, "Bukankah kita memang teman, Edi?" balasnya dengan nada bertanya.

Dwi sendiri memiliki kisah berbeda, sebagai anak keturunan campuran atau Blasteran dia kerap dinilai berbeda. Ibunya memang dari negara ini, tapi tidak untuk ayahnya yang berasal dari negara Latin. Kakek-nya menolak keras adanya orang asing, memaksa keduanya untuk berpisah. Sang ibu memilih kembali dan membesarkan Dwi seorang diri.

"Bagiku..." Dwi mengepalkan tangannya menyambut kepalan Edi. "Kamu adalah teman terbaik ku, sekaligus sahabat terbaik dalam hidupku." ujarnya tersenyum.

Kepalan tangan keduanya bersatu saling bertaut dan bersentuhan, keduanya tersenyum disambut sinar mentari sore.

***

OBJCET LOCKED|, SHIKAI |CONFIRM|, dari kejauhan sebuah benda mengamati keduanya tanpa disadari . Kotak besi yang menyimpan benda paling berharga di zamannya, namun tidak untuk di zaman ini –benda itu lebih berharga dari harta karun yang tidak tergantikan-.

'Data telah dikonfirmasi, Shikai telah ditentukan.'|

***