Chapter 2 - Pertanda

Bab 2

MISTERI KAMAR IBU MERTUA

•••

Di rumah kediaman Miranti, sebuah rumah yang berada di sebuah kompleks. Meski berada dalam lingkungan perumahan, namun masih dalam tahap pembangunan. Beberapa rumah masih kosong sedangkan rumah lainnya dalam proses pengerjaan.

Miranti adalah seorang perempuan yang tumbuh dewasa di panti asuhan, pada masa mudanya ia adalah gadis periang dan pintar sehingga sejak memasuki jenjang sekolah ia telah terbiasa dengan sebuah prestasi dan beasiswa. Karirnya lumayan bagus, memiliki jabatan khusus dan reputasi kerja luar biasa. Pada awal perkenalannya dengan Bram, pria yang kini adalah suamiku, Miranti telah bekerja sebagai karyawati di sebuah bank swasta di kotanya. Melalui seorang rekan, ia diperkenankan pada Bram. Pria yang dikenal sebagai pribadi yang baik, sopan dan memiliki pekerjaan yang bagus, namun meski telah berusia cukup matang nyatanya Bram belum juga menikah. Hal tersebut menurut teman Miranti dikarenakan Bram sangat mencintai ibunya, sehingga ia harus bolak-balik dari tempat kerja dan kampung halaman demi menengok ibunya.

Sebagai perempuan normal, sosok Bram tentu cukup menarik simpati bagi Ranti. Sosok pria tampan namun tetap menjaga kehormatan orang tuanya. Meskipun Miranti sendiri adalah perempuan berparas ayu dan banyak yang menyukainya, namun hanya pada Bram-lah perasaan nyaman menjadi cinta yang mendalam.

***

Miranti masih terduduk di tepi ranjang, ia memandang ke sisi ranjang yang kosong di mana suaminya tertidur. Berjalan perlahan menuju kamar mandi yang terletak di luar kamar tidur, samar ia dengar seperti seseorang tengah berbicara.

"Iya, Bu ... aku segera mengajaknya pulang agar bisa mengurusmu." Suara itu dari Bram, suaminya. Pria yang baru beberapa hari menikahinya tampak berbicara seorang diri saat duduk di ruang tamu.

"Percayalah, aku tak akan pernah membuat ibu kecewa ...." Ucap Bram, Ranti merasa heran dengan siapa suaminya berbicara di ruang tamu sehingga ia mengintip dari balik pintu kamar lalu menghampirinya.

"Mas? Tadi ngobrol sama siapa?" Tanya Ranti bingung, Bram yang tak menyadari bahwa Ranti mendengar pembicaraannya segera bangkit meski wajahnya tampak sedikit gusar.

"Ra-ranti, kamu sudah bangun?" Ujar Bram gugup, ia segera bangkit dan mendekati Miranti yang masih kebingungan.

"Tadi aku dengar Mas menyebut ibu, aku pikir mas sedang berbincang di telepon," Ranti segera duduk di samping suaminya.

Bram menarik nafas panjang, ia meletakkan sebuah bingkai foto berukuran kecil kembali pada meja ruang tamu.

"A-aku ... aku hanya kangen ibu," Bram yang terbiasa tenang kali ini terlihat begitu gusar hingga keringat dingin mengalir di keningnya, ia seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

"Bukankah kita akan segera pulang ke kampung halaman, Mas? 'kan nanti ketemu ibu," Ranti coba menenangkan suaminya, ia paham betul bahwa suaminya begitu mencintai ibunya. Segera ia memeluk tubuh suaminya yang bersikap seperti bocah tersebut. Pelukan Bram mengencang, seperti tak ingin melepaskan tubuh Ranti.

"Mas ...," Ujar Ranti pelan, "aku tadi mimpi buruk, seperti sedang berada di sebuah rumah tua yang ...," Ia kemudian diam, merasa tak enak hati untuk melanjutkan cerita tentang mimpi yang ia alami.

"Ada apa, Sayang?" Bram ganti menatap Miranti, ia masih menunggu istrinya melanjutkan ucapannya.

"A-aku ... aku gak papa, Mas. Ya sudah, kamu belanja dulu biar nanti aku buatkan sarapan dulu, setelah itu kita siap-siap berangkat." Ujar Miranti.

"Iya, biar aku saja yang keluar sebentar mencari beberapa bahan yang bisa kamu olah buat masak, kamu mandi dulu sana," sahut Bram sambil mencubit dagu istrinya, segera ia kenakan kaos dan mengambil kunci mobil. Miranti mengangguk menatap redup suaminya, lalu perempuan itu bangkit dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

****

Di kamar mandi, Ranti mengguyur semua bagian tubuhnya dengan air yang mengucur deras dari lubang shower. Saat sedang mandi, samar ia mendengar seseorang bersenandung di luar kamar mandi. Ranti mematikan keran pada shower agar bisa dengan jelas mendengarkan suara tersebut, namun hanya keheningan yang ia dapati, merasa tak ada yang benar-benar aneh ia pun kembali melanjutkan untuk membersihkan bagian wajah.

"Ranti ...."

"Ranti ...."

Sayup-sayup terdengar suara serak parau menyebut namanya, Miranti segera mengenakan handuk untuk memeriksa asal suara tersebut. Jantung Miranti berdegup kencang, ia merasa tak nyaman merasakan hal tersebut.

"Apa mungkin ada orang lain yang berada di sekitar sini?" ucap Miranti dalam hati.

Saat berada di luar kamar mandi, pandangan Miranti tertuju pada jejak kaki yang basah seperti berjalan dari kamar mandi menuju kamar tidur. Ranti mengendap mengikuti jejak kaki tersebut, jika ja perhatian seperti jejak kaki seorang perempuan.

Hah! Miranti berdecak kaget ketika jejak kaki itu menuju arah tempat tidur.

"Kenapa pintu kamar terbuka? Padahal tadi sudah aku tutup rapat," ia mulai was-was, perasaan menjadi tak nyaman. Ia memandang seluruh penjuru ruangan mencoba mencari keberadaan seseorang yang baru saja masuk ke kamar, hingga pada pintu utama ia pun keheranan karena kondisi pintu utama masih terkunci dari dalam.

"Kok bulu kudukku merinding gini," Miranti bergumam, meraba bagian belakang leher.

Wuush!

Dari jendela samping terlihat sekilas seorang perempuan berambut putih berjalan begitu cepat, seperti melayang. Membuat Ranti memalingkan pandangan mencari kemana sosok misterius itu pergi.

"Si-siapa itu?!" Ranti segera berjalan memeriksa ke halaman belakang, namun tak ada siapa-siapa. Bahkan pintu pagar depan masih terkunci, tak mungkin ada orang lain selain dirinya saat itu.

"Ranti ...." Suara parau kembali terdengar, kali ini suara seperti menggema di ruang tamu.

Praaang!

Suara gaduh benda terjatuh cukup membuat Ranti kembali terkejut. Sebuah bingkai foto berukuran sedang yang semula terpasang di dinding ruangan terjatuh hingga kaca pada bingkai tersebut pecah berkeping-keping.

Ranti berjalan hati-hati, ia jongkok dan meraih bingkai foto tersebut. Tampak foto ibu mertua yang tengah tersenyum sementara tatapan mata dalam foto itu menatap tajam pada Miranti.

"Aaawh!" Ranti menjerit sejadi-jadinya, ia melempar foto itu dengan cepat saat sebuah tangan mengusap bahunya. Sebuah tangan yang sangat dingin. Belum sempat rasa takutnya mereda, dari arah pintu terdengar suara ketukan.

Tok tok tok!

Ranti menoleh pada pintu dengan keringat dingin yang mengucur membasahi hingga ke leher. Ia bahkan tak berani beranjak sedikitpun dari ruang tamu, suasana rumahnya pagi itu terasa sangat aneh bagai diliputi aura mistis.

"Ranti! Ranti! Buka, Sayang. Ini Bram, suamimu," ujar seseorang dari balik pintu. Ranti sedikit bisa bernafas lega, perlahan ia bangkit dan gegas berjalan untuk membuka pintu.

"Mas ...!" Rengek Miranti, ia segera memeluk tubuh suaminya yang pulang membawa beberapa bungkus makanan.

"Ka-kamu kenapa, Sayang? Wajahmu pucat seperti melihat hantu," tanya Bram penasaran mendapati tubuh istrinya lemas gemetaran.

"Foto itu ... foto itu jatuh dan pecah pada bingkai kaca-nya," Ucap Ranti terbata, tangannya menunjuk pada bingkai foto yang tadi terjatuh. Bram segera menarik tangan istrinya untuk memeriksa apa yang baru saja ia dengar.

"Mana? Fotonya baik-baik saja kok," ucap Bram bingung, Ranti perlahan memperhatikan di mana letak foto itu terjatuh, namun ia justru mengucek mata karena foto ibu mertua masih terpasang rapi di dinding ruang tamu.

"Ta-tadi foto ini jatuh, Mas ...," ujar Ranti, tapi Bram hanya diam termangu. Ia tak memahami apa yang dimaksud oleh istrinya.

"Ya sudah lupakan, kita lebih baik sarapan dulu, perjalanan nanti cukup jauh." Sahut Bram mencoba menenangkan, ia mengajak Ranti duduk di kursi di ruang makan, mengambilkan piring dan sendok agar mereka segera sarapan. Ranti menarik nafas dalam-dalam, ia mengira bahwa dirinya telah berhalusinasi.