Bab 3
**
Miranti meminum segelas air putih, perempuan berparas ayu itu mengedarkan pandangannya menyapu seluruh penjuru ruang. Masih terbayang jelas di ingatan ada sosok menyeramkan berambut putih panjang terurai. Ranti tak faham bagaimana hal-hal ganjil terjadi padanya belakangnya ini.
"Ran ... Ranti? Ayo kita segera masuk mobil," ajak Bram seperti tak sabar. Ranti yang masih dalam keadaan tegang sempat kaget atas ajakan itu, ia hanya memandang Bram dengan pandangan kosong.
"Ayo ...," ucap Bram sekali lagi.
"I-iya ... Mas duluan aja, sekalian bawa koper itu. Aku kunci ambil mau periksa lagi apa ada yang tertinggal." Ujar Ranti gugup.
Bram keluar menuju mobilnya yang telah terparkir di halaman dengan bagasi terbuka. Pria itu berjalan menenteng dua koper berukuran sedang dan menata dalam bagasi mobil.
Ranti telah berada di depan pintu, ia mencoba mengunci pintunya namun tak juga berhasil. Hal itu membuat Bram yang sudah duduk di depan kemudi kembali turun.
"Sayang, ada apa?" Tanya Bram.
"Pintunya susah untuk dikunci, Mas." Sahut Ranti, ia sekian detik berdiri berusaha mengunci pintu namun gagal hingga Bram terpaksa berjalan mendekatinya lagi.
"Nah, bisa!" Seru Ranti berucap lega. Namun kegirangan Ranti tak berlangsung lama, dari tempat ia berdiri tampak sesosok menyeramkan duduk di jog samping kemudi. Darahnya seketika berdesir, menahan langkah dan mundur.
"Mas! I-itu sosok perempuannya tua yang tadi ada di dalam rumah!" Ranti panik, ia menunda langkahnya dan bermaksud memperingatkan Bram tentang apa yang ia lihat.
Bram merasa bingung kenapa Ranti ketakutan seperti melihat hantu, pria itu menengok kanan dan kiri lalu mengangkat bahu.
"Ada apa lagi, Sayang?!" Bram berteriak dari kursi kemudi.
Ranti mencari keberadaan sosok perempuan renta berwajah menyeramkan yang baru saja ia lihat, tapi kursi itu kosong. Hanya ada Bram yang terlihat sudah tak sabar menunggunya.
"Apa aku salah lihat?" Gumam Ranti seraya meraba bulu kuduk yang masih berdiri pada lengannya. Perempuan dua puluh enam tahun itu melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam pintu mobil.
"Mas, kok perasaanku tidak enak," ucap Miranti memandang cemas suaminya.
"Sayang, kita hanya akan menemui ibuku. Ayo tenangkan dirimu, jika semua lancar magrib sudah sampai di kampung halamanku." Ujar Bram sambil menyalakan mobile, tak lupa sebuah kacamata hitam ia kenakan agar tak silau saat cahaya matahari menyeruak melalui pantulan kaca mobil.
Miranti terus mendandangi rumahnya dari kaca spion yang baru saja ia tinggalkan, hatinya terasa berat. Ia tak tahu bahwa itu terakhir kalinya ia melihat rumah hasil kerja kerasnya selama ini.
Perjalanan itu cukup jauh, mereka harus menempuh jarak dengan waktu tempuh nyaris empat jam waktu normal. Ranti yang merasa lelah dengan mudah tertidur di jog sampai Bram yang sedang mengemudi.
Saking lelahnya Ranti bermimpi melihat sebuah rumah dengan arsitektur Jawa kuno yang terbuat dari bahan kayu jati. Dalam mimpinya itu perasaan Ranti seperti ketakutan, bagaimana mungkin rumah kuno yang berkenaan alami itu menyiratkan aura mistis yang begitu kuat.
Ranti seperti mengalami mimpi buruk, ia mengigau hingga keringat dingin mengucur deras membasahi tubuhnya.
"Aaakh!"
pekik Ranti ketakutan, Bram yang menyadari istrinya sedang bermimpi langsung menghentikannya laju mobilnya dan menepi sesaat.
"Sayang, ada apa?" tanya Bram heran.
Ranti hanya terdiam, bibirnya terkatup memandang sekelilingnya. kemudian ia memeluk suaminya dan menangis tersedu.
"Mas, aku mimpi buruk. Entahlah, aku seperti sedang berada di sebuah rumah yang menyeramkan." Ranti terisak, Bram mengusap rambut istrinya mencoba untuk menenangkan
"mimpi buruk bagaimana, Sayang?" Bram hanya tersenyum dan kembali melanjutkan perjalanan seolah tidak terjadi hal aneh. Pria itu sesekali bersenandung riang, Ranti hanya melirik suaminya.
"Bu, sebentar lagi kita sampai ...," ucap Bram sambil bersenandung, ia bahkan lupa bahwa orang yang berada di sampingnya adalah Miranti, istrinya.
"Mas? tadi nyebut kata 'ibu'?!" tanya Ranti memperjelas ucapan suaminya.
"I-iya ... bukan! Maksudku ... maksudku kamu," Bram gugup. Ranti terlihat jengkel, baru kali ini suaminya berlaku aneh seperti itu kemudian kembali membenahi posisi duduknya dan memandang guyuran hujan yang turun melalui jendela mobil.
Aaakh!
Baru sejenak Ranti merasa tenang, tanpa sengaja matanya melirik ke jog belakang kemudi. Seketika ekspresi Ranti berubah sebab netranya menangkap sosok bayangan perempuan tua berwajah menyeramkan tengah duduk di kursi belakang. Bram tetap tenang tanpa bereaksi sedikitpun, bahkan ia masih bersiul sambil bersenandung sementara Miranti duduk dengan penuh rasa takut.
"Minumlah ini, akan membuatmu tenang ...." Bram menyodorkan sebotol air berwarna keruh, Ranti sempat melihat dan ragu untuk meminumnya namun Bram bersikeras agar Ranti segera meneguk air tersebut. Tanpa menunggu lagi akhirnya Ranti pun meminum beberapa teguk air berwarna keruh dalam botol tersebut.
"Mas ... kepalaku pusing, mata ini rasanya hanya ingin terpejam." ucap Miranti lirih, Bram melirik dan membiarkan Miranti tertidur makin lelap.
"Haha! Ternyata ramuan itu berguna juga!" Bram tertawa lepas, mempercepat laju kendaraannya menyusuri jalan tol panjang saat hujan deras mengguyur.
****
Hari telah beranjak senja, hujan yang sedari tadi mengguyur jalanan mulai mereda menyisakan genangan diantara jalan becek sebuah desa.
Jalan terjal penuh kubangan air membuat Ranti terbangun. perempuan itu memegangi kepalanya yang masih terasa pening. Tatapan matanya kosong hanya memandang keluar jendela mobil.
"Kita ini di mana, Mas? Kenapa hanya pepohonan dan bukit serta semak belukar yang terlihat?" Ranti bingung, ia memandang jalanan sepi tanpa kendaraan lain yang melintas.
"Kamu enggak salah jalan 'kan, Mas?" Lanjutnya, Bram masih diam sembari berkonsentrasi pada kemudi yang kadang harus menghindari jalan yang berlubang.
"Akh! kamu ini berisik sekali, diam aja kenapa?!" Bram justru sewot, ia merasa tak nyaman atas pertanyaan demi pertanyaan Miranti. Mendengar jawaban Bram, Ranti hanya menggeleng. Perempuan itu merasakan ucapan suaminya begitu kasar, sangat berbeda dengan sebelumnya. Suasana kembali hening, beberapa menit berlalu mobil memasuki sebuah desa setelah melalui jalanan diantara bukit dengan pepohonan Pinus dan hamparan kebun teh.
Sepanjang jalan tak ia temui satu wargapun terlihat di luar rumah, desa yang terlihat sangat sepi bahkan lampu-lampu tak menyala meski hari telah hampir gelap. Kali ini Ranti hanya diam, ia enggan bertanya pada suaminya tentang hal yang menurutnya ganjil.
Sebuah rumah lantai dua tampak berdiri mewah, sangat kontras dengan rumah lainnya yang berjarak saling berjauhan dengan bahan seadanya dan terkesan kumuh. Memasuki halaman yang begitu luas umah dengan pagar teralis tinggi kombinasi cat hitam dan emas membuat rumah itu begitu terlihat megah. Tampak juga didamping rumah sebuah rumah dengan arsitektur Jawa berbahan jati yang di tumbuhi bermacam tanaman bunga. Ranti membenahi posisi duduknya, ia dengan antusias mengamati dua rumah yang berdempetan tersebut seolah pernah berada di tempat itu.
"Aku seperti pernah melihat rumah ini, tapi di mana?" Tanya Miranti dalam hati, ia mencoba mengingat namun justru kepalanya semakin terasa berat.