Matahari sangat terik siang ini saat sebuah mobil sedan berhenti di kediaman keluarga Abraham. Rumah mewah yang berdiri di tanah seluas puluhan hektar itu sering di juluki istana oleh penduduk sekitar. Tak hanya bangunannya yang megah namun juga merupakan rumah terbesar di daerah ini.
Seorang gadis kecil turun dari mobil dengan tergesa gesa. Ia mendapat kabar bahwa orang tua dan kakaknya akan pergi keluar kota hari ini. Sayangnya, ia tidak diperbolehkan ikut. Tapi tak apa, ia masih punya kesempatan membujuk mereka beberapa menit lagi.
Kakinya yang mungil berlari menyusuri taman yang mengarah ke pintu utama rumah. Dua orang pelayan yang menyambutnya berteriak sambil mengejarnya.
Ia tertawa dan sesekali menoleh ke belakang. Walau masih kecil, tapi langkahnya secepat kelinci.
Para pelayan tersebut memintanya untuk berhenti. Mereka geram sekaligus takut, bagaimana jika majikan nakalnya itu jatuh? bisa bisa hari ini mereka menerima gaji terakhirnya dari nyonya Odeth si kepala pengasuh.
Namun bukannya patuh gadis kecil tersebut semakin kencang berlari sambil tertawa mengejek.
Brak!!!
Para pelayan itu berhenti dan berteriak.
Tiba tiba gadis kecil itu jatuh tersungkur. Ia bertabrakan keras dengan seseorang yang menghadang langkahnya di depan pintu utama.
Ia meringis sambil mengusap bokongnya yang sakit.
"Nona Anne..."pelayan pelayan yang mengejarnya langsung mengerubungi Anne, mereka gemetar memeriksa kondisi majikannya yang kesakitan.
"Sudah aku peringatkan berapa kali, agar kau lebih berhati hati?"
Wajah odelia yang dingin menatapnya dengan mata yang tajam. Ia melipat tangannya di dada berdiri angkuh di hadapan Anne.
Tubuhnya tinggi semampai dengan rambut tersanggul rapi. Wajahnya cantik dengan kulit kuning langsat yang mulus. Konon, banyak pria kaya yang ingin melamarnya dulu. Sayang, ia jatuh cinta pada paman Gerald yang pengangguran. Odelia merupakan adik Abraham satu satunya. Ia telah mempunyai dua anak kembar dan seumuran Anne.
Tapi Anne tak pernah menyukai bibinya itu. Ia bertaruh Odelia pasti sengaja menabraknya. Wanita kejam itu selalu mencari masalah dengannya. Ntah dosa apa yang dilakukan ayahnya dulu hingga ia punya adik seperti Odelia.
Awas saja, akan aku adukan kau pada ayah ku. Batin Anne.
Odelia tak mencoba meminta maaf dan malah melewatinya begitu saja.
Di beranda seorang supir sudah membukakan pintu mobil untuknya.
Pasti dia pergi untuk menjemput ke dua sepupunya yang sama sama menyebalkan seperti ibunya.
Anne merasa sangat kesal, sampai sampai ia menepis tangan pelayannya ketika mereka membantunya untuk berdiri.
seorang pelayan membukakan pintu utama. Anne melesak masuk ke dalam dengan wajah kesal.
Saat ini ia hanya ingin menemui ibunya, mengadu soal bibi Odelia yang kerap mengganggu hidupnya. Inginnya ia mengasingkan wanita penyihir itu beserta keluarganya ke pulau Komodo saja.
Walau pun ia tahu ibunya hanya akan tertawa dan menyuruhnya melupakan perbuatan bibi Odelia seperti biasa.
Belum sempat ia ke kamar ibu. Anne melihat
Davian dan Odeth pengasuh mereka sedang duduk di ayunan panjang. Odeth tampak serius memotong kuku Davian yang mulai panjang.
Davian memang sudah berumur 10 tahun, tapi Odeth selalu memperlakukannya seperti balita yang baru belajar berjalan.
Seketika terbersit keinginan untuk mengusili kakak semata wayangnya itu. Apalagi beberapa hari yang lalu ayah dan ibu habis habisan memarahinya. Davian yang pendiam namun di juluki si biang onar di sekolahnya. Ini sudah ketiga kalinya ia pindah sekolah karena membuat kekacauan. Tapi ini yang paling fatal, Davian diskors karena memukul temannya sendiri. Ntah apa alasannya Anne pun tak tahu.
"Odeth, rapikanlah kuku kakak ku agar dia tidak melukai teman temannya lagi. Jadi ayah dan ibu ku tak perlu memindahkannya lagi ke sekolah yang lain."
Odeth tersenyum, namun ia langsung menahan senyumannya saat melihat Davian yang merengut.
" Oya kakak, jangan lupa kirimkan foto mu di sekolah yang baru ya, dengan senyuman. Dan jangan buat masalah lagi. Atau ayah dan ibu akan memindahkan mu ke kuburan kakek." Anne tertawa terbahak bahak.
Davian semakin kesal, ia bangkit hendak menerkam adiknya yang nakal. Tapi ia lupa, kuku kelingkingnya belum selesai di gunting.
"Awwh..."
Darah mengucur di jarinya. Ia meringis dan Odeth meloncat kaget.
Ia takut kedua orang tua Davian akan menghukumnya karena kelalaian ini.
"Tuan muda, jari anda berdarah."
Davian menggelengkan kepalanya. Anne yang tadinya tertawa berubah khawatir, bagaimana pun ia sangat menyayangi kakaknya.
Odeth mengambil obat obatan dan membungkus kelingking tuannya dengan perban. Wajahnya memancarkan ketakutan. Bagaimana jika Davian mengadukan hal ini kepada orang tuanya.
"Ada apa ini?"
Suara lembut seorang wanita mengagetkan mereka.
Nyonya Magnolia mengernyitkan dahinya dan
melihat luka yang tertutupi perban kecil di jari putranya.
"Begini nyonya, saya tidak sengaja..."
"Tak apa ma, ini cuma luka kecil kok. Ayo aku sudah siap."
Davian beranjak dari kursinya. Odeth menarik nafas lega. Davian memang anak yang baik, namun entah mengapa ia mengacau di sekolahnya.
"Baiklah, mari kita berangkat. Ayo kita ke ruang kerja papa."
"Mama, bolehkah aku ikut?",pinta Anne memelas. Ini ke tiga kalinya ia memohon untuk ikut serta mengantar kakaknya ke sekolah yang baru.
"Maaf sayang, kamu harus sekolah. Lagi pula mama dan papa tidak akan lama kok. Besok sore kami sudah pulang."
Davian terkekeh. Ia mengejek dari belakang ibunya.
Anne semakin kesal. Ia berlari menjauh menuju ruang kerja ayahnya.
Ia hendak masuk ke dalam ruang itu. namun di urungkan saat ia melihat papa sedang berbincang dengan Gerald pamannya. Suami bibi Odelia. Sama seperti istrinya, ia juga menyebalkan.
"Anne sayang, masuklah," ujar Abraham.
Ia tak sengaja melihat putrinya yang mengintip di sebalik pintu.
Gerald yang tengah mengajukan beberapa laporan ikut melihat Anne dan terpaksa tersenyum. walau ia kesal karena pembicaraannya soal dana investasi Abraham ke perusahaannya harus terjeda.
"Sudah pulang sekolah ya?"
Anne mengangguk. Tubuhnya yang mungil bersandar manja di pangkuan Abraham yang bertubuh gemuk. Ayah kesayangannya tersebut langsung menggendong dan mencium pipinya.
"Bolehkah aku ikut ayah?"
Abraham menarik nafas. Ia tak tega melihat mata gadis kecilnya yang berkaca kaca. Namun Magnolia berkali kali mengingatkannya agar ia disiplin terhadap Anne agar tidak seperti Davian yang kerap mereka manjakan.
"Maafkan papa sayang. Kamu harus sekolah dan tidak boleh bolos. Papa janji akan membawa mu jalan jalan sepulang dari mengantar Davian. Bagaimana?"
"Janji pa?" Anne menjulurkan kelingkingnya.
"Janji."
Abraham melingkarkan kelingkingnya dan mereka tertawa.
Di beranda, Julius asisten pribadi Abraham membawakan koper koper mereka masuk ke dalam bagasi.
Ia tinggal di rumah kecil tepat di belakang rumah keluarga Anne. Abraham memungutnya di jalan ketika seluruh keluarganya tewas karena bencana alam.
Usianya empat puluh tahun namun ia belum juga menikah.
"Tuan, setelah anda tiba segeralah hubungi saya," pinta Alfred pengacara keluarga Abraham. Ia juga merupakan salah satu orang kepercayaan pria itu.
Abraham mengangguk. Matanya tertuju pada Anne yang berada di gendongan Odeth. Wajah lesu gadis kecilnya itu terasa menyayat hati. Walau sering meninggalkan Anne untuk perjalanan bisnis. Namun entah mengapa kali ini ia merasa sangat kehilangan.
Ia mendekat memeluk Anne. di keluarkan beberapa permen dari sakunya dan ia berikan pada putrinya tersebut.
"Kapan pun kau merindukan kami, makanlah satu permen ya."
Anne mengangguk, ia mencium pipi Abraham lembut.
Magnolia dan Davian keluar terakhir.
Wanita itu memeluk dan mengecup kening putrinya.
"Mama janji akan segera pulang."
"Bagaimana kalau tiba tiba besok tidak jadi pulang?" celetuk Anne.
"Baiklah, besok sore tunggulah kami di depan kolam itu." Magnolia menunjuk kolam ikan besar berbentuk bundar dengan air mancur di tengahnya. Kolam itu terletak di halaman utama yang menghadap pagar keluar.
Anne mengangguk. Tiba tiba Davian datang dan menggelitik kakinya. Anne tertawa sambil meloncat loncat karena kegelian. Odeth yang tengah menggendong Anne hampir saja terjatuh karena kehilangan keseimbangan jika Julius tidak menahannya.
"Seperti bayi, sudah besar masih saja minta gendong."
Anne merengut. Ia selalu merasa Davian bukan kakaknya karena ia kerap sekali mengganggunya.
"Pergi saja sana. Kalau perlu tidak usah pulang lagi."
"Baik, aku memang tidak akan pulang lagi."
Sahut Davian sambil tertawa mengejek.
Anne mengejar kakaknya itu sambil tertawa. Namun beberapa menit kemudian tawa itu menghilang seiring mobil milik ayahnya yang menghilang di tikungan jalan.
Anne menggenggam tangan Odeth semakin erat.
"Ayo kita masuk sayang."