Chereads / All Round Mage (Bahasa Indonesia) / Chapter 3 - Surat Misterius

Chapter 3 - Surat Misterius

Aku membuka kedua mataku perlahan terlihat cahaya redup yang hangat keluar dari jendela kayu. Aku mengusap mataku hingga terlihat jelas hari sudah pagi. Aku bangun dari tempat tidurku dan berjalan menuju jendela untuk membukanya. Seketika cahaya terang dari matahari terlihat jelas, sangat silau. Reflek, aku menutup mata dengan tangan hingga mataku mampu beradaptasi dengan cahaya tersebut. Kulihat di luar jendela, matahari masih setengah terbit. "Waktunya untuk mandi dan bergegas". Tanpa membuang banyak waktu aku langsung menuju sumur yang hanya ada di kamar mandi lantai satu.

Sebelum melepas pakaian untuk membasuh diri, aku mengingat anak kecil yang tadi malam di bawa Pak Alvin. Bagaimana kondisinya? Seketika aku sadar semua peralatan yang ada di kamar mandi berantakan. "Apa yang sudah terjadi?", kataku. Seorang anak dengan rambut hitam Panjang dan mata sipit yang duduk di pojok kamar mandi menutup mata dengan wajah memerah. "huh, anak….perempuan….", kataku dengan setengah sadar. "Waaaaa….., kenapa kau di sini", imbuhku sambil menutup Kembali pakaianku yang hampir terbuka. Spontan aku keluar dari kamar mandi. Dan menutup pintu. "Siapa kau? Apa yang kau lakukan di situ", kataku. "Tunggu dulu. Tingginya sama, rambut hitam dan wajah itu. Mungkin usianya sama. Aku tidak melihat keseluruhan wajahnya kemarin. HAH, Aku baru sadar dan dia juga anak perempuan". Chen datang mengendap dengan siap siaga membawa sapu khawatir orang aneh memasuki restoran ini lagi sejak kejadian dua minggu lalu. "Anak kemarin", bisikku kepada Chen. "Syukurlah", Jawab Chen. "Dia anak perempuan", kataku. Seketika Chen mengambil satu Langkah ke belakang menandakan keterkejutan. "Apa kau sudah selesai", kataku di balik pintu tapi tidak ada tanggapan bahkan suara air pun tidak ada. Aku mulai curiga terjadi sesuatu padanya. Sepuluh menit berlalu tanpa adanya suara sedikit pun. Takut terjadi sesuatu aku spontan membuka pintu dan melihat keadaan. Terlihat seorang anak perempuan yang meminum air dari ember. "Hei.., kau tidak seharusnya minum dari tempat itu. Itu untuk membasuh tubuh bukan tempat minum", kataku sambil menunjuk anak tersebut. "Aiiisshhh, aku kira kau sedang mandi", tanggap Chen. Dengan tanggap Chen mengambilkan segelas susu dan menaruhnya ke meja dekat kamar mandi. Aku langsung menggendong anak tersebut. "aaahhh, tidak, air—air", kata anak tersebut sambil menahan air mata. "yaa yaaa, oaaaaaaahhh", tangis anak tersebut pun pecah. Aku tidak menghiraukannya dan langsung menggendongnya hingga posisi duduk di kursi dekat meja tadi. Setelah melihat ke arah meja lalu melihatku, aku menundukkan kepala. Anak tersebut langsung mengambil segelas susu yang ada di atas meja dan meminumnya langsung tanpa jeda seakan dia sangat kehausan.

Chen menatap anak tersebut dengan ekspresi bingung, "Dari mana anak ini berasal? Sungguh aneh. Kemarin aku menanyakannya ke Pak Alvin dan katanya teman temannya tidak mengenalnya. Berarti anak tersebut bukan gelandangan. Satu hal yang mungkin. Pelarian". Aku merunduk tersenyum menghadap wajah anak tersebut. Dengan nada ceria aku berkata," Hei Cantik, Apa kau suka susunya?". "Em", kata anak tersebut sambil tersenyum dan menundukkan kepalanya. "Namaku Albert, dan paman yang di sebelah ini, Chen, Kalau boleh paman tahu, Siapa namamu?", tanyaku. "eeLUuuuNA", jawab anak tersebut dengan perlahan mengejanya. "Kau memang ahlinya soal anak-anak", kata Chen. "Luna manis, apa kau tidak rindu ibu atau ayahmu? Kalau boleh paman tahu, di mana rumahmu", kataku. "Ibu? Ayah? Kakak! Hiks hiks hiks uuuaaaaaaahhh", seketika tangis anak tersebut pun pecah. Aku langsung mengangkat dan menggendong anak tersebut lalu menepuk halus punggungnya untuk menenangkannya. "cup-cup-cup, sudah-sudah, nanti paman akan mencarikan keluargamu", tanggapku. Aku meraba kantong bajuku dan mengambil sesuatu. "ini paman punya hadiah untuk anak pintar yang tidak menangis. Eemm, sepertinya paman harus memberikannya ke orang lain", kataku sambil menunjukkan gulali ke anak tersebut. Perlahan anak tersebut mulai tenang. "Apa kau mau?", kataku merayu anak tersebut. "Em", kata anak tersebut sambil menundukkan kepalanya. "Anak baik", kataku sambil memberikan gulali yang tadi aku dapatkan dari saku. Sambil menggendong Luna aku melihat tangan ku satunya. Terlihat lipatan surat mencurigakan yang tadi kutemukan bersamaan dengan gulali dari kantong bajuku. Aku menurunkan Luna yang sudah tenang Kembali ke kursi dan melihat surat tersebut. "Surat? Dari siapa?", Kata Chen yang curiga terhadapku. "Entah, aku tidak pernah menerima surat", jawabku membantah kecurigaannya. Setelah mengecek surat terlihat segel lilin berwarna merah dengan cap sayap. Terasa familiar. Aku memasukkan Kembali surat tersebut ke kantong. "a-a-aah aku lupa, nanti aku cek lagi. Aku harus segera ke panti asuhan", tanggapku. Aku langsung segera mandi dan berpakaian.

Setelah selesai berpakaian aku menghampiri Luna. "Hai Luna, apa kau mau pergi dengan paman ke tempat bagus? Di sana ada banyak anak. Kau bisa bermain dengan mereka", Kataku sambil mengulurkan tangan ke arahnya. "Apa di sana banyak permen?", tanggap Luna. "eemmm, mungkin tidak tapi aku jamin kau akan suka dengan anak-anak di sana", jawabku. Luna meraih tanganku. "Aku akan membawanya ke panti asuhan untuk sementara waktu. Di sini tidak aman", kataku kepada Chen. "Sebentar, Aku titip beberapa barang yang sudah jarang terpakai", Tanggap Chen sambil memberikan Satu kantong kain besar. Perlahan aku menggandeng luna keluar restoran.

Di perjalanan menuju panti asuhan, aku membuka surat tersebut. Anehnya aku tidak terkejut melihat isi surat tersebut kosong. Banyak hal aneh yang Aku alami beberapa minggu terakhir tapi anehnya seperti aku terbiasa dengan itu. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi sebelum aku ditemukan oleh keluarga Lee, keluarga dari Chen. Anehnya bahkan mengingat Sebagian pun tidak. Seolah tidak ada jalan untuk mengingatnya. Aku menyimpan Kembali surat tersebut dan melanjutkan perjalanan menuju panti asuhan. Di tengah perjalanan, sepanjang kanan dan kiri jalan utama Kota Candle terdapat berbagai macam stan pedagang yang menjualkan dagangannya. Mulai dari perhiasan, pakaian, makanan, dan lain sebagainya dapat ditemukan di sini. "Waaah, ramai sekali", kata Luna sambil tersenyum lebar memandangi sekitarnya. "Apa kau belum pernah ke sini?", tanyaku. "Se-sepertinya sudah", jawab anak tersebut. "Tapi tidak ingat", imbuhnya dengan wajah "berpikir serius" yang menggemaskan. Luna terus memandangi ke beberapa stan makanan. "Apa kau lapar?", tanyaku. "Tidak", jawab Luna. Tapi perutnya berkata lain. Terdengar suara gemuruh ringan perut kosong. "ha ha ha, baiklah akan Aku belikan sesuatu yang ringan untuk mengganjal perut sementara.", Tanggapku. "Ti-ti-tidak perlu….paman", jawab anak tersebut. Aku tersenyum dan langsung berjalan ke salah satu stan. "Dua Kroket", Kataku ke penjual kroket. Setelah Aku pegang kroketnya aku memberikan salah satunya ke anak tersebut. "ini", kataku sambil memberikan kroket. Luna melihat ke arahku, lalu Aku balas dengan mengangguk. Dia mengambil kroket dan langsung memakannya. "ha ha ha…. Pelan-pelan saja makannya nanti tersedak", tanggapku. Aku masih penasaran dari mana asal anak ini. Dilihat dari perilakunya juga seperti bukan gelandangan. Aku melanjutkan perjalanan ke arah utara menuju Kota Candle bagian utara sambil menuntun Luna. Letak Panti asuhan memang di pinggiran utara kota Candle.

Di perjalanan sebelum mencapai panti asuhan, aku melihat dari jauh Seorang wanita dengan baju linen musim semi putih dan Wimple[1] pendek yang familiar keluar dari panti asuhan tersebut. Aku menghampiri wanita tersebut dan Luna mengikutiku. "Tunggu….", Kataku. Wanita tersebut Kaget melihatku seolah dia terpergok dan terjebak tidak bisa ke mana-mana. "Permisi, kalau boleh tahu apakah kau yang Bernama Grace", tanyaku. "Ah, i-i-iya", Jawab wanita itu. Mendadak aku teringat Perkataan Bibi panti asuhan, kalau Grace merupakan penyumbang bahan makanan rutin yang baru di panti asuhan. "Ah iya, Terima kasih sudah mau menyumbang untuk panti asuhan ini", kataku sambil sedikit merunduk ke Grace. "a-a-aaaahh tidak masalah, karena aku memang menyukainya", Jawabnya. Setelah Aku angkat kepalaku kembali, aku terpaku melihat wajah indah dan rambut pirang cerahnya. "Indahnya….", kata yang terlontar dari mulutku tanpa sadar. Wajahnya memerah sambil memandang ke arah lain membuatnya terlihat lebih indah lagi. Luna menarik tanganku. Seketika aku tersadar. "ma-ma-maaf, aku pergi dulu, ada yang harus Aku urus", kata Grace dengan tersipu malu. "Ah iya silakan", kataku sambil memalingkan pandanganku ke segala arah tanpa tujuan. Grace bergegas berlari kecil menuju ke arah berlawanan dengan Aku. Aku teringat saat itu aku melupakan Luna yang terlihat bingung memandangi Grace. "Siapa?", tanya Luna. "Ah iya dia…., Salah satu penyumbang panti asuhan, iya benar", Jawabku dengan nada bingung. Entah apa yang kurasakan.

Aku dan Luna memasuki Panti Asuhan. Di dalam kami disambut oleh Angela. "Paaaamaaaan Albeeeeert", Kata Angela sambil terengah engah berlari ke arahku. "oh, Hai Angela, hati-hati!", tanggapku sambil merentangkan kedua tanganku. "hup", kataku sambil memeluk dan menggendong Angela. "Paman, Jon menggangguku lagi", kata Angela dengan manja. "Di mana dia?", kataku. Dari sebuah kamar aku melihat Bibi penjaga panti asuhan membawa selimut keluar dari sebuah ruangan. "Tunggu dulu ya Angela", kataku sambil menurunkan Angela. "oohh Albert, Kau sudah datang rupanya", kata bibi tersebut. "Sebentar, biar ku bantu bi Jane", kataku sambil mengambil beberapa selimut yang Bibi Jane bawa. "Ngomong-ngomong kenapa kau datang pagi sekali hari ini?", Tanya Bibi Jane sambil berjalan ke suatu ruangan membawa selimut. Aku dan Luna mengikuti Bibi menuju ruang tersebut. Luna memegang celanaku sambil mengikutiku "Sebenarnya, aku membawa seorang anak malang yang entah dari mana asalnya. Kami tidak bisa merawatnya karena akhir-akhir ini, lingkungan sekitar restoran berbahaya, mulai terjadi beberapa kejadian ganjil", Jawabku. "Tidak masalah untuk anak itu, jika tidak untuk menampung anak malang seperti mereka lalu apa fungsi tempat ini? tapi kejadian aneh yang seperti apa? Apa kalian tidak apa-apa?", Tanya Bibi Lagi. "Untuk saat ini kami tidak bisa menjelaskannya, tapi kami tidak apa-apa", Jawabku lagi. "Syukurlah", Tanggap Bibi dengan lega. Setelah meletakkan selimut di tempatnya aku memperkenalkan Luna ke Bibi. "Ini dia Bibi, dia anak yang ditemukan Pak Alvin, tetanggaku, Terlantar di sekitar restoran", Kataku sambil memegang kedua lengan atas Luna dari belakang seperti memperkenalkan seseorang. "Bibi Jane ini Luna, dan Luna ini Bibi Jane", Kataku sambil menunjuk Luna dan Bibi Jane secara bergantian. "Hai Luna, Apa kau baik-baik saja?", tanya Bibi Jane dengan lembut ke Lyna. Aku jongkok sambil menghadap wajah Luna. "Luna Untuk sementara waktu, apa kau mau tinggal dan bermain di sini?", Tanyaku. Luna memegang erat bagian celanaku menandakan dia masih agak takut. "Tenang saja, aku akan datang ke sini setiap pagi. Juga, banyak anak-anak di sini. Kau bisa bermain dengan mereka. Luna masih memegangi erat celanaku. Dari sudut meja di ruangan tersebut terlihat Angela mengintip melihat ke arah Luna. Dia keluar perlahan. "Mau bermain?", tanya Angela dengan ragu ke Luna sambil membawa dua boneka di kedua tangannya. Luna menatap ke arahku seolah bertanya apakah tidak apa-apa. Aku menjawab dengan senyum dan anggukan. Dia berjalan perlahan menuju arah Angela untuk bermain dengannya. "Dia butuh teman bermain yang seusia dengannya. Sepertinya mereka akan cocok, kebetulan tidak ada anak perempuan seusianya di sini", Tanggap Bibi. Mereka pun keluar dari ruangan Bersama dengan ekspresi tersenyum. "ooh iya Bibi, Hampir lupa. Ini pakaian yang sudah jarang terpakai, titipan dari Chen, siapa tahu membantu", Kataku. "waaaahh, sangat membantu sekali, titip terima kasihku ke padanya ya", Jawab bibi. "Bibi, Aku langsung ke dapur saja ya! Agar makanannya bisa segera matang saat mereka semua sudah bangun", Kataku kepada Bibi.

Aku segera menuju dapur. Aku mulai membuat api dengan kayu bakar yang ada lalu meletakkan panci berisi air dia tasnya. Sambil menjaga api, aku membuka Kembali surat yang tadi aku dapat. Kira kira kenapa surat tersebut terasa familiar, apa makna di balik surat kosongnya, dan bagaimana bisa ada dalam kantongku. Dari balik jendela dapur, Aku melihat seseorang tinggi dengan postur membungkuk dan pakaian serba hitam. Sontak aku terkaget dan tanpa sengaja melemparkan surat yang aku pegang ke api. "Tidaaaak", Kataku sambil Kembali menoleh ke surat tersebut. Semua bagiannya terbakar kecuali sesuatu di bagian tengah. Terlihat bagian tersebut membentuk sesuatu secara perlahan. Semakin jelas hingga terlihat dalam bara api, bagian kertas tersebut yang masih tersisa membentuk beberapa kalimat yang bertuliskan "Masuk Mansion Keluarga Witslangie sesegera mungkin. Manfaatkan anak tersebut. Kegagalan tidak masalah asal jangan membuka segel lenganmu dahulu". Aku kembali melihat ke jendela tapi tidak orang tersebut sudah hilang. Segera aku melihat pergelangan tanganku. Terlihat tato ular mengelilingi nya. "Keluarga Witslangie? Anak? Segel?", kataku sambil bertanya tanya ke diriku sendiri. Melihat kalimat ke-3 berarti surat ini tidak sembarangan di kirim. Apakah maksud dari "Anak tersebut" adalah Luna? Berarti yang di tuju dari pesan tersebut adalah kediaman keluarga Witslangie yang merupakan Marquess[2] yang menguasai kota ini. Entah kenapa aku merasa harus melakukan sesuatu tentang surat tersebut. Sesaat setelah itu, surat tersebut sepenugnya menjadi abu.

Selesai memasak, aku berjalan membawa beberapa piring untuk di letakkan di meja ruang makan. Terlihat banyak anak kecil sudah mulai keluar dari kamar mereka, dan beberapa anak yang lebih tua membantu merapikan selimut, bantal, dan peralatan tidur lainnya. Di tempat makan Aku disambut dengan pemandangan lucu di mana Luna dan Angela membawa ranting kayu mengejar Jon. "Hei kalian, Hati-hati, ini panas", kataku sambil mengangkat lebih tinggi mangkok keramik besar berisi sup agar tidak mengenai anak-anak. "Tidaaak paman. Mereka akan memukulku aaaa….", kata Jon sambil berlari ke luar ruangan makan. Aku tersenyum melihat tingkah mereka. Sepertinya Luna cocok dengan mereka. Dengan begitu aku bisa menitipkannya di sini. "Ayo anak-anak, makanan sudah siap, saatnya makan!", Kataku sambil merapikan sendok dan mangkuk. Terlihat banyak anak memasuki ruang makan. "Lunaaa..., ke sini sebentar", kataku memanggil Luna. Luna datang menghampiriku. Aku menghampiri Luna dan berjongkok menghadapnya. "Sepertinya kau menikmatinya. Apa kau suka tempat ini?", tanyaku sambil mengelus kepala Luna. Dia menundukkan kepala. "Apa kau bisa tinggal di sini untuk beberapa hari? Aku juga harus ke restoran untuk bekerja. Apa kau tidak apa-apa?", tanyaku. Luna memalingkan pandangannya ke bawah lalu menoleh ke arah Angela yang sedang berada di pojok ruang makan. "hum hum", kata Angela sambil menganggukkan kepala. Luna Kembali melihatku dan menundukkan kepala juga tanda setuju. Tepat sebelum anak-anak memulai doa sebelum menyantap makanan aku berjalan ke arah bibi Jane dan berbisik, "Aku pamit dulu Bibi. Ada urusan yang harus saya kerjakan". "aahh ya silakan, terima kasih untuk hari ini ya", jawab bibi. Aku melangkah keluar meja makan sambil melambaikan tangan ke seisi ruangan termasuk Luna dan setelah itu meninggalkan panti asuhan.