Chereads / All Round Mage (Bahasa Indonesia) / Chapter 4 - Pembunuhan

Chapter 4 - Pembunuhan

Di perjalanan menuju restoran aku kemikirkan Kembali maksud dari surat tersebut. Kenapa harus Mansion keluarga Witslangie? Kenapa harus memanfaatkan anak tersebut? Mungkin surat ini berhubungan dengan rangkaian kejadian misterius yang akhir-akhir ini terjadi. Siapa pengirim pesan? Dan siapa diriku yang sebenarnya? Meskipun aku sedikit ragu, aku merasa harus melakukannya. Di perjalanan aku mengambil jalan yang berbeda untuk memeriksa tempat yang disebut di surat tersebut. Setelah sampai tempat. Terlihat Mansion yang besar dengan pagar yang tinggi seakan berusaha menutupi apa yang ada di Mansion tersebut dari dunia luar. Aku berjalan sampai di pertengahan terlihat gerbang dengan lambang pedang terbalik yang dililit ular putih sebagai lambang keluarga Witslangie, dan jaga dua penjaga gerbang dengan persenjataan yang hampir lengkap. Di dalam Mansion terlihat samar hiasan dua pilar dengan patung kesatria di atasnya serta Air Mancur di tengahnya. Kedua penjaga terlihat memelototiku saat ku lihat isi mansion seolah memperingatkan "jaga matamu". Aku pun memalingkan pandangan dan berlari kecil menjauhi mansion, begitu pun mereka.

Sesampainya di restoran aku menemui Chen dan menyampaikan salam dari bibi Jane. Dia tersenyum mendengarnya. "Syukurlah, setidaknya itu berguna untuk mereka", Tanggap Chen. Setelah itu aku mengambil peralatan bersih-bersih dan melanjutkan dengan membersihkan lantai dua terlebih dahulu selagi jam buka masih agak lama. Aku teringat sesuatu dan memasuki dapur dan keluar memegang pisau. "Chen, bisakah aku membeli peralatan masak yang baru? Sepertinya pisau ini semakin tua", Kataku dengan melihat dan membolak-balik pisau. "aaiisssh , Gunakan itu dulu saja, asah saja, asah saja, masih bisa", jawab Chen yang ada di lantai dua. Tidak jauh dari tempat Chen terlihat Grace keluar dari salah satu koridor. Dia melihatku. Aku tersenyum dan melambaikan tangan. Anehnya dia membalas dengan menutup wajahnya dan berlari ke arah Chen. Saat berlari dan berusaha menghindari Chen, dia terpeleset di lantai yang basah, hilang keseimbangan dan jatuh langsung melewati pagar pembatas lantai dua. Reflek aku melempar dua pisau yang ada di tanganku. Pisau tersebut tepat mengenai salah satu tali pengikat kayu pagar-pembatas-lantai-dua dan menjatuhkannya dengan Sebagian kayu masih terikat tali. "Pegang kayunya", kataku dengan tanggap. Sontak Grace memegang kayu tadi dan bergelantungan hampir terjatuh. Aku langsung berlari menuju ke arah Grace. Tepat saat tali pengikat kayu terakhir terputus dan Grace terjatuh, aku berada di bawah Grace dan menangkapnya. Aku terdiam memandang wajah indahnya Kembali. "eeemmm, bisa tolong turunkan aku", jawabnya dengan wajah merah dan memalingkan pandangan. Aku tersadar dari diamku dan menurunkannya serta sedikit mengalihkan pandangan.

"Ma-ma-maaf", tanggapku dengan gugup. "Ti-tidak, kau telah menyelamatkanku", Jawab Grace dengan gugup juga memandang kembali ke arah ku. "Eeehemm", Chen melihat kami dari lantai atas dengan tersenyum dan kami memalingkan wajah bersamaan untuk yang kedua kalinya. "Hem, Albert bisa ke sini. Karena kau yang merusakannya, bisa tolong kau perbaiki ini? Sebelum waktu buka restoran tiba", Kata Chen yang membebaskanku dari suasana canggung. "a-a-ah iya aku harus memperbaikinya karena aku merusaknya" kataku melangkah menuju lantai dua. "Tu-tunggu dulu, kau merusaknya karena menyelamatkanku. Bi-bi-bisa ku bantu juga?", Tanggapnya. Sepertinya Niat Chen untuk membebaskan dari situasi canggung malah berdampak sebaliknya. Situasi malah berakhir pada kondisi aku memperbaiki pagar pembatas berdua. Chen malah meninggalkanku dengan tersenyum lebar sekali.

Grace yang menuju ke arah ku membawa tali. "Bi-biar kubantu", Kata Grace sambil menghampiriku. Di sebelahku Grace jongkok lalu mengikatkan tali ke kayu yang aku pegang. "Te-terima kasih untuk yang tadi", Kata Garce canggung sambil mengikat tali. "a iya, tidak apa-apa", Jawabku. Setelah ku pandang wajah asingnya, cantik juga. Setelah ikatan dari kayu sudah dipastikan kuat kami berdiri. Saat berdiri tiba-tiba dia terpeleset lagi dan aku menangkapnya. Terdengar suara TANG dan saat ku lihat sebilah pisau jatuh. Dengan tanggap aku menyentuh pisau tersebut karena ku pikir itu pisauku, tapi tanpa sengaja tangan kami bersentuhan karena dia juga akan mengambil pisau tersebut. "Maaf aku pikir punyaku", Kataku sambil menarik tanganku. Dia juga mengambil dan menyembunyikan lagi pisaunya. "Indah", Kataku spontan saat melihat pisau tersebut. "Hah apa?", Tanggap Grace mendengar perkataanku. "Pisau yang indah dengan ujung tipis", Imbuhku. "aaa iya, pisaunya", Jawab Grace dengan mengalihkan pandangan tersipu malu. Tiba-tiba suasana menjadi sunyi. "Emmm melihat penilaianmu apa kau juga suka pisau", Kata Grace memecah suasana. "Mungkin iya, lebih tepatnya aku ahli dengan sesuatu yang berkaitan dengan pisau, seperti memasak, memotong dan yang tadi…..mungkin juga melempar jadi aku tau karakteristik pisau", tanggapku. "A iya, aku pamit dulu, ada sesuatu yang harus ku kerjakan", Kata Grace memutus percakapan sambil berlari.

"Tunggu, Hati-hati", Tanggapku memperingatkan. Belum beberapa detik dia terpeleset lagi. Aku dengan tanggap berlari ke arahnya dan meraih tangan dan menariknya, namun yang terjadi malah aku terpeleset setelah menariknya terlalu keras. Aku terjatuh terlentang diikuti dengan jatuhnya Grace ke atasku tengkurap menghadap ke arahku. Kami berakhir dengan wajah saling berhadapan dan menatap satu sama lain. "aaaaaaa", wajahnya benar-benar memerah dan langsung melompat berdiri. "Ma-maaf lagi", katanya sambil memalingkan wajah. Entah kenapa tubuh bagian atasku memanas dan jantungku berdetak kencang. Grace meninggalkanku sambil berjalan perlahan menuju tangga lalu keluar melalui pintu utama restoran. "Apa yang terjadi? Kenapa tubuhku terasa panas hari ini", Kataku bertanya tanya. "Dor", Kata Chen dengan menyentuh pundakku dan mengagetkanku. "Waaaaaaaaah, KENAPA KAU TIBA-TIBA DI SITU", tanggapku terkaget. Chen memandangiku sambil tersenyum. "Chen, Kenapa tubuhku terasa panas. Apa aku demam?", tanggapku sambil menyentuh wajahku yang panas. "itu namanya ja-tuh cin-ta", Tanggapnya sambil menggoda. "Aiiissh, Lupakan, percuma menanyakannya kepadamu. Ah sudah lah", Tanggapku. "Akui saja lah. "Apa mau ku kenalkan? Hehe", Kata Chen sambil tertawa. Apa yang terjadi pada tubuhku? Apa ini demam? Tapi aku tidak yakin. Aku langsung meninggalkannya untuk melanjutkan mengepel lantai bawah.

Setelah semua persiapan selesai, kami membuka restoran. Seperti biasa Restoran tidak terlalu ramai. Hanya 5-6 orang keluar masuk setiap satu jamnya. Hampir sama seperti kemarin. Untuk penghasilan kata Chen "tenang saja" karena masakan yang kami sajikan di restoran semua adalah masakan spesial maka tidak masalah mengambil untung lebih, Masakan yang kami sajikan berasal dari berbagai tempat, khususnya masakan dari benua timur tempat Chen berasal. Aku banyak belajar dari Ayahnya. Sejak saat itu, setelah melihat keterampilanku menggunakan pisau, ayah Chen selalu mengajariku memasak. Beberapa tahun setelah itu Beliau meninggal akibat insiden misterius beberapa minggu lalu. Banyak orang yang menghilang lalu ditemukan meninggal dalam kejadian tersebut. Kejadian tersebut disebut misterius karena, meskipun para squad penyelidik khusus telah dikerahkan, tidak pernah ditemukan jejak sedikit pun dari kejadian tersebut selain mayat yang ditemukan setelah insiden hilang. Itu pun tidak semua orang hilang ditemukan sebagai mayat. Banyak yang masih belum ada kabar.

Tak lama setelah pelanggan ke lima datang, Pria tua dengan tongkat yang familiar datang memasuki restoran. "Hai Anak-anak. Bagaimana kabar kalian hari ini? Apkah menyenangkan?", Sapa pria tua tersebut yang ternyata adalah Pak Alvin. "Selamat pagi, Pak Tua", Tanggap Chen. "Selamat pagi Pak Alvin", Tanggap ku. "Seperti biasa ya Anak-anak", Kata Pak Alvin. "Siap Pak", Kataku sambil berdiri tegap dan hormat dilanjutkan dengan meninggalkan tempat menuju dapur. "haaaah, situasinya semakin berantakan. Bagaimana kabar anak kema...", kata Pak Alvin dengan suara yang semakin mengecil karena aku menjauh menuju dapur. Sampai dapur aku menyiapkan menu yang biasa di pesan pak Alvin. "ah Asapnya terlalu tebal", kataku sambil mengibas-ngibaskan tangan. Dengan tanggap aku membuka jendela dapur untuk mengurangi pengap. Dari luar jendela terlihat seseorang berjubah hitam persis seperti kemarin. Apa dia berhubungan dengan kejadian misterius di sekitar tempat ini? Mungkin saja. Aku langsung melompat dari jendela untuk menghampirinya lalu mengejarnya, tapi larinya sangat cepat. Karena tertutup asap yang keluar dari jendela pandanganku terbatas dan tidak dapat mengikutinya. Aku berhenti mengikutinya karena kehilangan jejak. "hah hah hah, di mana orang tersebut, Hah, Aku tidak bisa mengikutinya", kataku sambil terengah-engah kehabisan nafas. "Ah sudah lah, Aku lanjutkan memasak saja", kataku sambil kembali ke dapur. Tak terasa aku menginjak sesuatu. Setelah ku periksa, sebuah surat telah ku injak. Aku mengambil dan memeriksanya. Ternyata surat dengan segel yang sama dengan kemarin. "Ada apa Albert", kata seseorang dari jauh di belakangku yang mengagetkan. "UWAAAHH, Hampir saja jantungku copot", kataku terkaget sambil reflek menyembunyikan surat tersebut. "Sedang apa kau di sini? Mana pesananku? Aku sudah lama menunggu", Protes Pak Alvin. "Ah iya, sebentar Pak", kataku sambil segera menuju dapur. Kenapa Pak Alvin bisa berada di belakangku tanpa terlihat hawa keberadaannya? "ah sudahlah", kataku sambil melanjutkan memasak. Meskipun aku berusaha untuk tidak bertanya-tanya, instingku berkata lain. Seperti ada sesuatu yang tidak beres. Aku melanjutkan memasakku dan dilanjutkan dengan menghidangkannya ke Pak Alvin yang sudah lama menunggu. Pak Alvin selesai makan dan berpamitan. Aku merasa terganggu dengan prasaan yang merasakan sesuatu yang tidak beres.

Setelah selesai aku menuju dapur untuk merapikan beberapa alat masak. Beberapa pelanggan yang tersisa di restoran sudah pergi. Untuk sementara restoran sepi. Aku membuka surat yang tadi aku dapatkan. Terlihat cap merah berlambangkan sayap. Aku baca dengan cara yang sama seperti kemarin. Membakarnya. Dari sisa kertas yang belum terbaca tersebut terlihat tulisan "Akan ada pembunuhan di belakang bangunan seberang jalan, waktunya malam, cegah sebisa mungkin. Untuk sementara aku tidak bisa menghubungi. Jangan khawatir" Apa ini? Pembunuhan. Tertulis aku harus mencegahnya. Sepertinya diriku atau pihak yang menulis surat ini bukan merupakan orang jahat. Aku semakin yakin harus melakukan perkataannya di surat ini. Dan Maksud kalimat ke dua mungkin adalah tidak akan ada surat untuk sementara waktu. Setelah beberapa saat sisa kertas tadi terbakar habis hingga tidak menyisakan apa pun bahkan abu. "Nanti malam di belakang bangunan seberang restoran. Aku harus bersiap-siap.

Beberapa saat kemudian pengunjung datang kembali memenuhi restoran. Meskipun tidak benar-benar penuh, tapi hari ini lumayan ramai juga. Sama seperti Lusa. Aku melanjutkan memasakku hingga tanpa terasa matahari sudah terbenam. Setelah semua usai, aku merapikan alat masakku hingga menyisakan pisau yang akan ku bawa sebagai senjata. Jangan bertanya kenapa aku membawa pisau? Karena aku merasa aman saja saat membawa benda satu ini, dan juga karena keahlianku yang berkaitan dengan pisau. Aku menyarungkan pisau sambil berjalan keluar dari dapur. "Sepertinya sudah sepi. Chen, apakah aku bisa selesai lebih awal hari ini? Aku ada beberapa urusan", Kataku dari depan pintu dapur. "Emmmm, Mencurigakan. Apakah kau akan peregi kencan", Kata Chen sambil tersenyum. "Aiishh, bukan, Aku ada urusan dengan tetangga di seberang restoran kita", Kataku membalas. "Lebih mencurigakan Tapi baiklah itu urusan pribadimu", Tanggap Chen menyetujui. Aku melangkah keluar dari restoran menuju bangunan di seberang.

Keluar dari pintu restoran terlihat langit berwarna oranye gelap yang menandakan matahari hampir terbenam sepenuhnya. Terlihat penjaga kerajaan yang sedang berpatroli sambil menyalakan Rushlight[3] pada setiap tempat untuk penerangan jalan diwaktu malam. Teknologio di Artoria memang lebih maju dari pada tempat lain oleh karena itu Rushligh di sini bahkan dapat bertahan semalaman dan di pasang di beberapa sudut jalan untuk penerangan malam. Selangkah demi selangkah aku berjalan terlihat langit mulai gelap. Setelah sampai di gang sebelah gang terlihat gang yang sangat gelap. Aku mulai memasuki gang tersebut yang anehnya tanpa ragu aku dapat berjalan ke dalamnya. Aku memang hampir tidak bisa melihat dengan jelas karena gelap tapi aku mampu merasakan sesuatu di sekitarku balok stok yang bertumpuk, batu, jendela yang sudah tertutup dan lain sebagainya. Aku mulai mesauki lebih dalam hingga sampai ujung gang dan melanjutkannya dengan berbelok ke sisi kanan untuk menuju belakang bangunan.

Aku berhenti melangkah karena mendengar bunyi Langkah kaki lemah, sambil bersembunyi. Semakin lama suara langkah semakin jelas hingga titik tertentu suara tersebut terhenti. Terlihat dengan buram seseorang berpakaian hitam sedang berhenti sambil membopong seorang anak kecil yang tertidur. Terdengar suara Wanita yang semakin jelas. "Maafkan aku karena ini tugasku", Kata Wanita tersebut sambil melepas anak tersebut. Wanita tersebut mengeluarkan sesuatu yang terlihat tipis dan Panjang. "Aku berniat baik mengurangi penderitaanmu dengan ini. Semoga kau damai dengan ini", kata Wanita tersebut mengangkat benda tersebut yang ternyata pisau tipis dan akan menusuk anak tersebut. Spontan seperti tadi pagi aku menaruik pisau dari sarung dan langsung melemparnya dengan satu pergerakan. "Ting" bunyi pisauku dan pisau Wanita tersebut yang bertabrakan sebelum mengenai anak tersebut. Wanita tersebut menoleh ke arahku dan terlihat Wajah familiar dengan rambut pirang cerah yang diikat. Terlihat matanya berkaca-kaca. "GRACE!", kataku lirih dengan perasaan kaget, tidak percaya yang saling campur aduk. "Apa yang kau lakukan", kataku sambil menunjuk anak tersebut yang terlihat jelas adalah Luna. Grace menatapku dengan tajam, mengambil pisau lainnya di bajunya, dan langsung melemparkannya kepadaku. Reflek aku menghindari pisau tersebut, langsung mengambil pisaunya dan siap siaga mengarahkan pisau ke depan seolah-olah aku terbiasa dengan situasi seperti ini. "APA YANG KAU LAKUKAN PADA LUNA?", Tanyaku tegas dengan suara lirih. Kemudian terlihat satu persatu pisau yang ada di pakaian Grace beterbangan lalu berhenti dengan posisi berjejer dengan mata pisau mengarah kepadaku. Satu hal yang tahu. "Telekinesis" salah satu jenis sihir yang umum dipakai di benua utara. Tunggu! Bagaimana aku bisa mengetahuinya? Dan Benua utara? Berarti sangat mungkin ada benua lain selain benua ini. Mataku tajam menatap satu persatu pisau terbang tersebut dan juga matanya memperkirakan arah lemparnya dan titik butanya. Grace mengangkat tangannya ke arah depan dan dengan sendirinya pisau-pisau tersebut terlempar ke arahku. Aku langsung memosisikan tubuhku untuk menghindari lintasan pisau-pisau tersebut sekaligus melangkah ke arah titik butanya. "Hiks, hiks, MAAFKAN AKU, Kau tidak seharusnya mengetahuinya", kata Grace dengan suara yang sama namun nada yang kurang familiar. Setelah berhasil menghindar aku langsung mengambil salah satu pisaunya dan langsung melemparnya sedikit jauh ke sampingku. "Ting" Terlihat pisau-pisau tersebut terbang menuju arah pisau yang ku lempar. Dengan cepat aku berlari memperkecil jarak sambil memegang dan menarik tangan Grace agar tubuhnya berputar hingga posisi kami bertukar lalu mendekatkan pisau lain yang kubawa ke lehernya. Terlihat pisau-pisau yang melayang mengarah ke arahku. Sayangnya aku menyandra tubuh Grace sehingga pisau-pisau tersebut tidak bergerak. "eeh, Bisa jelaskan apa yang kau lakukan?", kataku sambil memegang erat Grace. "Maafkan aku, aku juga tidak bisa melakukan apa-apa, aku hanya menjalankan perintah", Jelas Grace. Satu pisau terbang keluar dari kegelapan di belakangku. Sebelum sempat menusukku aku bergeser sedikit hingga pisau tersebut gagal mengenai jantungku. "AAAHHGGG", Kataku sambil menahan rasa sakit dan peganganku melonggar. Grace memanfaatkan kesempatan dengan meloloskan diri dan melompat ke atap dan menghilang di kegelapan. "Tidak-Grace-AAHHGG", Kataku sambil menahan rasa sakit. Aku menoleh ke sebelah melihat Luna yang sedang pingsan. "HeH-HeH, Kau tidur dengan pulas yah! HeH-HeH", Kataku dengan ter-engah-engah berusaha membopong Luna sambil berjalan keluar gang.

Aku berjalan dengan salah satu tangan memegang dada, dan satunya lagi membopong Luna sambil menuju memasuki pintu masuk restoran. "Cheeeen-HeH-Cheeeeen", Kataku dengan suara sedikit keras. "Hoooaaahh, Ada apa sih malam-malam begini", Kata Chen yang keluar dari balkon lantai dua menuju pagar pembatas lantai dua dan melihatku dari atas. "Cheeeen-HeH-Cheeeeen, Tolo...", Kataku dengan suara terputus karena sudah tidak kuat. "ALBERT! Kenapa kau?", Katanya dengan kaget dan berlari kencang menuruni tangga. Perlahan pandanganku buram dan akhirnya mataku tertutup.