Namanya Ajeng, gadis desa yang lahir dan dibesarkan dari keluarga yang sangat sederhana. Dia berumur 18 tahun dan kini sedang menempuh pendidikan S1 Arsitektur di kota. Selain kuliah Ajeng juga bekerja sampingan untuk membantu perekonomian keluarganya. Dia memiliki 2 adik laki-laki dan perempuan yang masih mengenyam pendidikan sekolah dasar, kedua adiknya hanya berbeda 2 tahun. Namanya Bima dan Sara.
Meskipun dari keluarga yang pas-pasan, Ajeng tidak ingin adik-adiknya terlantar dan tidak merasakan pendidikan sekolah, untuk itu Ajeng berusaha sebisa mungkin membantu keuangan keluarga dengan bekerja di sela-sela kesibukan kuliahnya. Ajeng ingin adik-adiknya mendapatkan pendidikan terbaik untuk masa depan adik-adiknya.
Beruntung Ajeng anak yang pintar dan cerdas, sehingga untuk kuliah dia mendapatkan beasiswa penuh sampai dia lulus. Berkuliah di Arsitektur bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi oleh beberapa mahasiswa, mengingat Arsitektur menjadi salah satu jurusan tersulit yang bersanding dengan jurusan kedokteran, hukum, kimia dan Fisika. Arsitektur bukan hanya menggambar dan mendesain sebuah bangunan, namun pengetahuan dan pemahaman tentang Geometri, trigonometri dan aljabar untuk bisa merancang sebuah dimensi, jumlah, volume, dan luas bangunan, cerdas dalam ilmu Matematika juga sangat diperlukan di Arsitektur, beruntung Ajeng dikaruniahi kecerdasan di atas rata-rata hingga itu semua tidak menjadi hal sulit untuk Ajeng hadapi.
Bapak Ajeng adalah seorang kuli bangunan harian di desanya, hal ini membuat Ajeng belajar banyak tentang bangunan dan material, ditambah rasa ingin tahunya yang besar dan sebuah mimpi untuk menjadi Arsitek yang handal membawa Ajeng memiliki sedikit bekal yang mungkin tidak dimiliki oleh teman-temannya.
Ketika lulus SMA Ajeng mencoba mendaftarkan dirinya di sebuah Universitas ternama di ibu kota dengan jurusan Arsitektur, mimpinya ingin mebangunkan rumah yang sederhana namun penuh dengan kebahagiaan untuk orang tuanya. Karena Ajeng memanglah anak yang cerdas, tak sulit baginya untuk diterima dan mendapatkan beasiswa penuh dari pihak kampus. Hal ini membuat Ajeng dan keluarganya sangat bahagia, orang tua Ajeng terutama tidak percana, anak pertamanya bisa mengenyam pendidikan di ibu kota dengan gratis. Tangis haru dan kebahagiaan menyelimuti keluarga kecil itu.
27 Juli 2007, Sumberbrantas
Bertemankan kabut pagi yang menyelimuti bumi, bersamaan dengan embun yang membasahi dedaunan dan dingin yang menyeruak masuk hingga ke tulang-tulang, kurapatkan jaket yang membalut tubuhku, ku tatap desa yang selama ini aku tempati, dengan menyuguhkan pemandangan hamparan lahan pertanian yang luas dan indah serta deretan pegunungan yang gagah mengelilingi desaku, sejuk di mata dan hatiku.
Tak akan aku temukan suasanya senyaman desaku, dan kini ku harus meninggalkan desa kecilku ini untuk menggapai mimpiku di kota orang. Aku berjanji suatu saat nanti aku akan kembali untuk membangun desaku, saat ini untuk pertama kalinya aku meninggalkan ibu, bapak dan adik-adikku yang mungkin dalam jangka waktu lama. Karena tidak mungkin setiap liburan kampus aku bisa kembali ke desaku, mengingat ongkos yang diperlukan tidak lah sedikit.
Pagi ini bersama bapak aku menuju bandara Internasional Juanda di Surabaya, menaiki bis yang bisa dikatakan kurang nyaman untuk di tumpangi dalam jangka waktu yang cukup lama, bapakku mengelus kepalaku dan dia berkata "Maafkan bapak nak, karena tidak bisa menyewakan travel untukmu ke bandara. Uang bapak hanya cukup untuk kita menaiki bis ini" senyumnya iba melihatku.
Bapak seakan tau apa yang sedang aku pikirkan, "Tidak apa-apa pak, bapak sudah mau mengantarku sampai Bandara aku sudah senang" jawabku dengan sebuah senyuman tulus untuk menenangkan hati bapak.
Sesampainya di bandara aku langsung berpamitan kepada bapak untuk segera chek in mengingat keberangkatanku sebentar lagi. Kupeluk tubuh rentan laki-laki yang kuingat umurnya sudah menginjak 53 tahun di depanku ini, beliau membalas pelukanku. Dan tanpa kusadari buliran bening kristal mulai mengalir membasahi pipiku. Bapakku mengelus punggunggu dan menenangkanku. "Belajarlah yang rajin di sana, jaga dirimu baik-baik nak, jangan kecewakan bapak dan ibumu. Jangan pernah tinggalkan sholatmu itu kewajiban bagi kita. Buhungi kami jika kamu ada waktu luang." Pesan bapakku kepadaku, kulepaskan pelukanku dan kucium telapak tangan yang kasar menandakan betapa kerasnya bapakku selama ini bekerja untukku dan keluargaku.
"Do'akan Ajeng pak, semoga segala urusan Ajeng di sana dipermuda oleh Allah, Do'akan Ajeng juga supaya cepat lulus dan cepat mendapatkan pekerjaan agar bapak dan ibu tidak lagi bekerja untuk Ajeng dan adik-adik." Pamitku kepada bapak dengan isakan tangis, lagi-lagi bapak hanya membalas nya dengan sebuah senyuman.
Tak lama setelah itu aku mulai meninggalkan bapak menuju ruang chek in, dan masih kudapati bapakku mematung menunggu aku hingga tak terlihat di pelupuk matanya, ku seka air mata yang masih mengalir.
…
Untuk pertama kalinya aku menaiki burung besi berukuran raksasa ini, kupasang sabuk pengaman sesuai dengan arahan dan kukencangkan. Sebelum penerbangan, kurapalkan beberapa do'a keselamatan yang ku tahu sambil memejamkan kedua mataku, jantungku seakan berdetak lebih kencang, aku takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi selama penerbangan.
"Baru pertama kali naik pesawat ya?" Sapa seorang penumpang yang berada tepat di sampingku, membuyarkan semua lamunanku.
Aku mengangguk sambil tersenyum malu, dalam hatiku aku mengutuk diriku sendiri yang sangat katrok dengan hal-hal baru. kulihat laki-laki barusan itu hanya tertawa kecil mendapati jawaban dariku.
"Rileks saja, tidak akan terjadi apa-apa." Kata laki-laki itu memenangkanku. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Kupejamkan mataku saat pewasat mulai berjalan, tak lupa do'a-do'a keselamatan masih aku lantunkan dalam hatiku. Hingga tanpa aku sadari 2 jam penerbangan kuhabiskan dengan tidur untuk mengusir semua ketakutaku. Dan kini pesawat telah mendarat di Bandara tujuan.
Semua penumpang mulai berdiri dari kursi penumpang dan membuka kabin tempat penyimpanan barang mereka, ku arahkan tatapanku keluar jendela dan aku tak percaya kini aku benar-benar berada di kota orang, kota yang asing bagiku dan aku harus memulai kehidupan baruku di kota ini sebagai seorang mahasiswa.
Aku mulai berdiri dari kursiku ketika kerumunan orang mulai renggang dan laki-laki disampingku sudah tidak ada lagi tanpa aku sadari ternyata dia sudah turun terlebih dahulu.