Menghabiskan waktu seharian bersama orang yang dicintai, rasanya sangat menyenangkan dan memberi kesan tersendiri bagi Mira. Walaupun dia sendiri belum tahu perasaan Arsen yang sebenarnya terhadap dirinya. Bagi Mira, untuk mengucapkan cinta terlebih dahulu sangat tidak mungkin. Itu sama saja menjatuhkan harga dirinya, jadi perempuan itu harus pintar juga menempatkan diri. Sebesar apa pun cintanya, ia harus bisa mengontrolnya. Itu adalah prinsip Mira.
"Apa kamu menikmati hari ini, Mira?" Arsen bertanya ketika motornya sudah berhenti tepat di depan sebuah rumah yang memiliki fasad megah bernuansa modern.
"Tentu, aku sangat menikmatinya. Terima kasih banyak sudah mengajakku jalan-jalan hari ini!" Mira turun dari motor Arsen dengan sangat hati-hati. "Mampir sebentar, ya!" ajak Mira.
Arsen berpikir sejenak, lalu ia pun menurut. Bukankah ia juga harus berpamitan pada Bibi Mary? Dan sangat tidak sopan jika langsung pulang tanpa ada basa basi. "Baiklah," ucapnya.
Keduanya berjalan beriringan memasuki rumah mewah Mira. Benar saja, di depan rumah sudah ada Bibi Mary menunggu kepulangan keponakannya bersama seorang pria muda. Sedari sore ia sudah menunggu Mira, karena khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan dengan keponakannya.
"Kenapa lama sekali?" tanya Bibi Mary dengan raut wajah khawatir, karena jam sudah menunjukkan pukul 7 malam.
"Tadi rencananya mau cepat pulang, Bi. Tapi ternyata ada flim baru yang tayang hari ini, jadi kami sempatin nonton dulu," jelas Mira tanpa ada rasa bersalah. Ia juga sengaja bergelayut manja di lengan bibi Mary agar wanita itu tidak memarahinya.
"Saya minta maaf, Bi! Udah terlalu lama membawa Mira jalan-jalan hari ini," timpal Arsen merasa bersalah. Seharian penuh ia telah membawa Mira hingga lupa dengan janjinya, tidak akan pulang hingga malam hari.
"Ya sudah, tidak apa-apa. Sekarang kalian masuk dulu, mandi, terus kita makan malam bersama," ajak Bibi Mary kemudian.
Mira bernapas lega begitu melihat bibinya yang sudah kembali melunak. Begitu juga dengan Arsen.
"Saya langsung pulang aja, Bi" pamit Arsen. Ia merasa tidak enak, jika harus mandi tanpa berganti pakaian.
"Loh ... kok pulang? Mandi di sini aja. Nanti saya carikan baju ganti untukmu di kamar atas," tawar Bibi Mary seakan tahu apa yang dipikirkan pria muda nan tampan itu.
Mira yang mendengar tawaran dari bibinya merasa heran, apa benar di rumah ini ada pakaian pria yang cocok untuk Arsen? "Di kamar atas? Kamar siapa itu?" gumam Mira dalam hati.
Selama tinggal di rumah ini, Mira memang belum pernah masuk ke dalam kamar yang dimaksud bibinya. Ruangan itu selalu terkunci dan Mira sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui isi di dalamnya.
Akhirnya Arsen mengiyakan, karena merasa tidak enak menolak permintaan wanita paruh baya di depannya. Selain Bibi Mary yang terlihat baik, ini adalah pertama kalinya Arsen berkunjung ke rumah besar ini.
Usai membersihkan diri, Mira turun lebih dulu untuk membantu bibinya menyiapkan makan malam. Sedangkan Arsen belum tampak batang hidungnya.
Pukul 19.35 WIB Mira dan bibinya sudah duduk di meja makan. Kedatangan Arsen membuat Mira takjub dengan pakaian yang melekat di tubuh pria itu. Arsen mengenakan kemeja hitam polos slim fit to body, sangat cocok di badannya. Yang Mira pertanyakan adalah, dari mana bibinya mendapatkan pakaian itu? Apa rahasia Bibi Mary tersimpan di dalam kamar yang sedang terkunci itu?
"Silakan duduk, Nak! Kita makan malam dulu," ucap wanita di sebelah Mira. Bibinya tampak senang, melihat pakaian yang dikenakan Arsen, hal itu membuatnya teringat pada seseorang. Seseorang yang sangat berarti bagi hidupnya dan juga Mira.
"Terima kasih, Bi!" kata Arsen sembari mendaratkan bokongnya di kursi dan berhadapan langsung dengan Mira. Ketiganya pun mulai menyantap makan malam dengan menu yang beraneka ragam. Karena lapar dan sesuai dengan seleranya, Arsen makan dengan lahapnya.
Makan malam berjalan lancar. Karena keasyikan bercerita, Arsen pun mengurungkan niatnya untuk langsung pulang, ia ingin berlama-lama di rumah gadis yang sudah memberinya rasa nyaman itu.
Di saat sedang berada di ruang keluarga, Mira menawarkan diri untuk mengambilkan minuman, sementara Arsen dan Bibi Mary tetap mengobrol di ruang tamu. Mary Sekali-kali menanyakan tentang keluarga Arsen. Pria itu pun bercerita bahwa ayahnya bekerja di kantor pemerintahan dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Arsen juga mengatakan bahwa ia ingin sekali menjadi seorang pengusaha sukses.
Tidak lama kemudian, Mira datang dengan membawa nampan yang berisi minuman dan beberapa snack. Gadis remaja itu meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja.
Melihat kedatangan Mira, Bibi Mary pun berdiri dari tempat duduknya. "Kalian lanjut saja ceritanya, saya mau ke atas dulu."
Mira duduk bersebelahan dengan Arsen, tangannya meraih sebotol minuman sembari menawarkannya pada pria di sebelahnya.
"Terima kasih!" ucap Arsen setelah menerima pemberian Mira.
Mira mengangguk. "Cerita apa aja sama Bibi Mary?" tanya Mira kemudian.
"Kepo," balas Arsen, lalu menyesap minuman di tangannya.
Mira terdiam, tidak melanjutkan pertanyaannya. Bibirnya sudah maju beberapa senti karena kesal dengan ucapan Arsen yang dinilainya tidak bersahabat.
Arsen merasa lucu melihat tingkah temannya. Akhirnya ia pun berkata jujur. "Kami cuma cerita seputar keluargaku saja, tidak ada membahas hal yang lain." Pria itu mengambil beberapa biji kacang dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
"Oh ...! Jadi hanya sebatas itu!" balas Mira santai. "Tidak ada hal yang lainnya?" tanyanya lagi.
"Ada satu lagi, tapi ini menyangkut dirimu."
"Apa?" Mira mengerutkan dahinya.
"Kata Bibi Mary kamu pengen jadi psikiater, ya?" tanya Arsen.
Mira mengangguk. "Hmmmm."
"Kenapa?" Arsen ingin tahu alasannya.
"Itu cita-citaku dari kecil. Aku ingin sekali menyembuhkan pasien-pasien yang memiliki gangguan jiwa." Mira menatap sendu Arsen. "Aku selalu merasa iba melihat ada orang yang sering menghina orang gila, padahal mereka juga makhluk tuhan, sama seperti kita. Dan aku yakin, mereka pasti sudah melewati banyak masalah sampai tidak kuat memikulnya. Bukankah harusnya kita membantu mereka? Bukan malah menjauhi apalagi sampai menghinanya." Mira teringat masa kecilnya, di mana teman-temannya sering membully, bahkan melempari orang yang sudah hilang akal.
Cita-cita Mira mungkin ada keterkaitannya dengan masa kecilnya yang dipandang sebelah mata oleh teman-teman sepermainannya. Membuat gadis yang kini sudah berumur 17 tahun itu, merasakan bagaimana sakitnya tersisihkan?
"Cita-citamu sangat mulia, Mira. Aku bangga punya teman sepertimu," puji Arsen. 'Ternyata bukan hanya wajahnya yang cantik, tapi hatinya juga tak kalah cantiknya. Beruntung sekali Jay, memiliki kekasih seperti Mira. Cantik luar dalam,' pikirnya.
"Terima kasih!" ucap Mira sembari melempar senyum manisnya.
"Dengan memiliki teman sepertimu , aku jadi tidak perlu takut lagi," kata Arsen sembari menampilkan senyum khasnya, pria itu ingin menggoda Mira.
"Maksudmu?" Mira mengernyitkan dahinya.