Mira nampak bingung dengan perkataan Arsen, " Maksudmu apa?" Dia mengulang kembali pertanyaannya.
"Maksudku, jika suatu hari nanti aku gila, kamu pasti akan membantuku juga, kan?"
"Hah ...!" Mira terkejut dengan pernyataan pria tampan di sebelahnya, hingga membuat Arsen tertawa melihat ekspresinya yang tiba-tiba berubah.
"Kalo psikiaternya cantik sepertimu, yang ada banyak orang pura-pura gila nanti. Jadi kamu juga harus lebih pintar menyeleksi yang mana yang layak untuk dirawat dan mana yang hanya modus." Arsen tertawa lagi, membuat Mira semakin dongkol.
"Gak lucu, tau. Awas lo, Sen. Perkataan itu adalah doa." Mira menanggapinya dengan serius, bisa-bisanya Arsen berkata seperti itu dan menganggapnya sebagai bahan lawakan.
Arsen sontak menghentikan tawanya. "Amit-amit," ucap Arsen sembari mengetuk-ngetuk jarinya ke meja.
"Semoga ucapanmu tidak diaminkan oleh malaikat," Mira memalingkan wajahnya karena masih ada rasa dongkol di hatinya.
"Aamiin." Arsen menengadahkan kedua tangannya, kemudian mengusap wajahnya layaknya orang yang sedang berdoa.
"Takut juga ternyata," ledek Mira kemudian.
"Ya iyalah, siapa yang mau jadi orang gila. Amit-amit," ucap Arsen lagi
"Tadi katanya kalo psikiaternya cantik mau jadi orang gila," Mira semakin menggoda temannya.
"Aku bilang pura-pura, bukan gila benaran," sanggah Arsen dengan cepat.
Tidak lama kemudian, Arsen meminta diri untuk pulang karena besok paginya mereka harus sekolah.
***
Meskipun lokasi sekolah Mira terletak di tengah-tengah kota, tapi suasananya sangat sejuk. Karena di sekolah tersebut di tanami pohon-pohon hijau yang rimbun. Pohon yang berjejer membuat udara yang masuk terasa sejuk dan segar. Dengan begitu, para siswa-siswi pun lebih bersemangat untuk belajar.
Walaupun setiap hari ada petugas kebersihan, tapi para siswa siswi selalu diarahkan untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan sekolah, agar tercipta suasana yang nyaman saat proses belajar mengajar.
Seperti pagi ini, Mira mendapat giliran untuk merawat tanaman. Ia tidak sendiri, ada Jay dan juga beberapa temannya. Dari kelas lain juga tampak beberapa siswa sedang sibuk bergotong royong.
Di ujung lorong sana, ada Vanya yang menatap sinis ke arah Mira, "Akan aku tunjukkan padamu, kalau Arsen itu hanya milikku seorang," ucapnya menyeringai dengan licik.
Sementara Arsen yang hendak menghampiri Mira terpaksa membatalkan niatnya, karena ia melihat gadis itu tengah mengobrol dengan Jay, yang ia kira adalah kekasih Mira. Seperti biasa, keduanya selalu tampak begitu dekat, tidak ada rasa canggung di antara mereka. Bahkan Jay tidak segan-segan merangkul pundak sahabatnya itu di depan orang ramai.
Melihat kedekatan keduanya, Arsen merasakan ada yang sakit dalam tubuhnya. Ia memegang dadanya yang mulai sesak, ketika seseorang datang dari belakang dan langsung merangkul lengannya.
"Lagi ngeliatin apa, Yang?" tanya Vanya berbasa-basi.
"Vanya ...." Arsen kaget karena kekasihnya tiba-tiba datang begitu saja, sedangkan ia tengah memperhatikan Mira.
"Kenapa kaget begitu? Apa aku mengganggumu?" Vanya bertanya lagi.
"Ah ... tidak. Ada apa kesini? Biasanya kamu tidak suka dengan acara yang beginian." Seperti yang Arsen tahu, selama ini Vanya selalu menghindar dari acara gotong royong karena tidak sesuai dengan image-nya yang cantik nan elegan.
"Aku gak sengaja melihatmu bengong dari tadi, makanya aku samperin. Kamu lagi ngeliatin apa sih?" Vanya hanya pura-pura bertanya, padahal dia tahu kalo Arsen sedang memandangi seorang gadis di ujung sana.
"Gak ada. Ayo kita ke kantin, aku haus," ajak Arsen kemudian. Ia tidak mau aksinya ketahuan oleh Vanya yang memiliki kecemburuan tingkat tinggi.
Seperti mendapatkan jackpot, Vanya langsung menggandeng lengan Arsen. Ini adalah saatnya dia menunjukkan bahwa pria itu adalah kekasihnya, miliknya seorang. Karena permintaan Vanya, mereka berdua melewati tempat di mana Mira dan Jay berada.
Jay yang melihat Vanya berjalan ke arahnya sambil menggandeng Arsen langsung mengalihkan perhatian Mira. Ia tidak mau sahabatnya itu kecewa dengan tingkah sepasang kekasih yang akan melintasi mereka.
"Mira, bantu aku ngangkat yang ini!" pinta Jay sembari menunjuk sebuah pot hitam yang baru ditanami bunga.
Gadis itu mensejajarkan badan mereka, "Ya ampun ... ini enteng, Jay. Masak pot sekecil ini aja kamu gak sanggup angkat. Malu dikit sama badan besarmu." Mira menatap kesal sahabatnya. Namun, pandangannya sontak tertuju pada dua orang di belakang Jay yang sedang berjalan santai ke arah mereka.
Seorang gadis bergelayut manja di lengan pria yang Mira sukai. Pria itu adalah orang yang menemani hari-harinya selama beberapa bulan ini. 'Kenapa dia melakukan ini? Kenapa dia seperti memberiku harapan selama ini? Jika memang dia sudah memiliki kekasih, kenapa dia tidak jujur dari awal?' batin Mira.
"Mira ...," sebut Arsen ketika mereka sedang berhadapan.
Yang dipanggil hanya terpaksa mengembangkan senyum seadanya.
Sedangkan wanita di sebelah Arsen semakin mempererat pelukannya, sengaja ia lakukan agar Mira terbakar cemburu seperti yang dirasakannya kemarin.
"Jay ... apa dia pacarmu?" tanya Vanya pura-pura peduli pada sepupunya.
"Iya. Aku pacarnya," ucap Mira tiba-tiba karena merasa sakit hati dengan sikap Arsen selama ini. Kemudian ia mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. Sekilas ia melirik Arsen yang tengah mengepalkan tangannya di bawah sana. Tapi ia tidak peduli sama sekali. Untuk apa dia cemburu? Toh, dia juga terang-terangan menunjukkan kekasihnya.
"Wah, kamu pintar banget milih pacar!" puji Vanya lagi. "Dia sangat cantik dan rajin menanam bunga, sangat sesuai denganmu yang hobi berkebun," sambungnya lagi.
Jay bingung sambil menggosok-gosok tengkuknya, ia tidak tahu harus berkata apa. Kenapa harus terjebak dalam kondisi seperti ini? Walaupun sebenarnya ia mencintai Mira, tapi Jay tidak pernah ingin memanfaatkan situasi. Apalagi ia tahu jika Mira mencintai Arsen sejak pandangan pertama.
"Kami ke kantin dulu, ya!" pamit Arsen kemudian. Keduanya berjalan lurus tanpa menoleh ke belakang. Bahkan Vanya sengaja menyenderkan kepalanya ke bahu Arsen.
Mira kembali menatap Jay. "Kamu mengenal gadis itu?" tanyanya.
"Dia sepupuku," jawab Jay singkat.
"Apa sebelumnya kamu sudah mengetahui hubungan mereka?" Mira hampir menitikkan air mata saat mengajukan pertanyaan lagi.
Jay menunduk lesu. "Maaf ...!" lirihnya.
"Kenapa kamu nggak cerita kalo Arsen sudah memiliki kekasih, dan kekasihnya adalah sepupumu sendiri?"
"Aku nggak tega, Mira. Aku takut kamu berpikiran buruk tentangku jika mengatakan yang sebenarnya," Jay berkata jujur.
Tidak ingin membahas Arsen lagu, Mira melangkahkan kakinya ke dalam kelas, meninggalkan pekerjaannya yang diambil alih oleh Jay. Ingin rasanya berteriak untuk menghilangkan rasa sakit di hatinya.
Jay hanya memandangi punggung Mira yang sudah hampir sampai di depan kelas. Entah kenapa ia juga selalu merasakan sakit jika sahabatnya itu sedang tersakiti. Semenjak Mira bercerita tentang kehidupannya, Jay selalu ingin ada di setiap kondisi sahabatnya itu, baik suka maupun duka. Tapi sekarang, Mira sedang kecewa dan patah hati, ia sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa.
"Apa yang harus aku lakukan, Mira? Agar kamu bisa melupakannya, apa aku tidak pantas untuk mendapatkan cintamu?" gumam Jay.