Acara sudah dimulai. Semua orang datang dengan pendampingnya masing-masing. Mau itu perwakilan dari pihak keluarga, sahabat, atau pun kerabat jauh yang menjadi penanggung jawab peserta. Tapi Naya datang hanya ditemani bayi imut yang usianya masih sangat belia.
"Ibu … " lirih Naya dengan tatapan yang sendu.
Tapi beberapa saat kemudian, Naya memejamkan matanya dan berharap agar acaranya lancar hingga dirinya bisa masuk ke babak final.
Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengirimkan berbagai foto ketika acara berlangsung kepada Dito sang sahabat. Di sana Dito langsung mengirim emotikon hati berwarna merah. Melihat jawaban Dito, Naya langsung menjawabnya dengan emotikon tangan mengepal.
"Gue off! Sepertinya gue harus memerhatikan hal-hal yang penting, bye!" Naya mengakhiri obrolannya di kolom chat.
"Wassalamu'alaikum!!" Dito mengejek Naya yang lupa mengucap salam. Tapi pesan Dito ini tidak dibaca Naya karena data nya sudah dimatikan.
Dua jam lebih Naya berada di gedung Wish, lalu ia keluar hendak mencari mobil umum. Namun, kedua netranya terfokus dengan mobil yang tak aneh lagi baginya.
"Seno?!" Lirihnya.
Tapi bukan Seno yang turun dari mobil, pak Rim lah yang keluar dan menghampiri Naya. Ia mengatakan jika Naya harus diantar olehnya, atas suruhan Seno. Naya sedikit terharu karena kebaikan dan perhatian Seno terhadapnya. Dengan itu ia mengangguk sopan dan mulai masuk ke dalam mobil.
"Ke rumah sakit, pak!" Jawab Naya saat dirinya ditanya oleh pak Rim.
Mereka pun berangkat menuju rumah sakit, beberapa tentengan pun dibawa Naya untuk Dito dan orang tuanya.
Di rumah sakit, ibu Asih terkejut dengan biaya rumah sakit Dito yang sudah dibayar oleh Naya. Sampai-sampai ia menangis dan memeluk suaminya karena terharu bahagia.
Saat memberi tahu Dito, Dito terkejut dengan berita itu. Ia langsung menghubungi Naya tapi handphone Naya tidak aktif, ia pun harus sabar menunggu sahabatnya itu hingga datang ke ruangannya.
Suasana haru di ruangan Dito berbeda jauh dengan suasana di restoran Firmando yang sedang disinggahi oleh Seno dan ayahnya. Seno pergi ke luar kota itu tujuannya bertemu dengan klien yang tertarik dengan perusahaan yang dipimpin olehnya. Tapi ternyata, hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di sana.
"Ayah, ini sedang membicarakan pekerjaan. Seno pun sedang berusaha untuk perusahaan yang dibina oleh Seno sendiri. Plis! Sebaiknya pembahasan seperti itu tak usah dibahas di sini." Pinta Seno yang geram dengan ayahnya karena selalu membahas soal pernikahannya yang entah dengan siapa.
Di sana, perempuan yang sebagai anak dari klien pun ikut merasa risih karena ternyata ayahnya pun mempunyai tujuan lain ketika mengajaknya bertemu di restoran Firmando. Selain diminta untuk menemani ayahnya bertemu dengan pemilik perusahaan, ia bertujuan untuk mempertemukan Seno dengannya.
"Rasa itu tidak semudah kedipan mata, Yah!" Ucap gadis itu dengan tegas. Ucapannya barusan tentu dapat didengar oleh Seno dan dua orang lainnya.
Seno menyeringai, akhirnya apa yang ia rasa serasa juga dengan gadis yang ada di hadapannya ini. Hatinya terus bergemuruh karena ia tidak mau menghianati dirinya yang sudah jelas menyukai Naya. Naya seorang!
"Kalian itu sudah pas untuk saling mengenal dan bahkan berkeluarga. Tidak ada salahnya ayah mempertemukan kalian berdua." Tatapan mata ayah Seno berbalik ke sana ke mari. Membuat Seno jengah dan berdecih tak suka.
"Karena apa yang kita bicarakan tadi tentang perusahaan sudah deal, saya pribadi undur diri terlebih dahulu. Saya rasa pembicaraan kalian tidak lagi profesional. Maaf!" Seno pergi menuju hotel yang sudah ia pesan.
Di sana Seno melemparkan jasnya ke sofa dengan sembarang, lalu ia menghempaskan tubuhnya dengan hembusan nafas yang terasa lelah.
"Naya, Naya!" Tiba-tiba kata itu keluar dari mulut Seno yang diiringi dengan goresan jarinya di atas layar handphone. Goresan jari itu mengarah ke galeri, di sana terlihat banyak foto dan video Naya.
Ia putar ulang video kebersamaannya bersama Naya saat memasak di dapur.
Rasa rindu itu semakin dalam ketika ia tahu jika cintanya bertepuk sebelah tangan. Tapi Seno akan terus berusaha agar cintanya dibalas oleh Naya.
Ide gila muncul di benaknya, ia menghubungi Naya dan hanya ingin mengutarakan rasa rindunya. Tapi beberapa kali ia menghubungi Naya, panggilan itu tak tersambung. Akhirnya rasa kecewa itu berselimut tebal di hatinya, sehingga ia menyimpan handphone-nya dengan harapan yang perlahan pupus.
Di rumah sakit, Naya masuk ke ruangan Dito setelah salamnya dijawab. Di sana Bu Asih langsung memeluk Naya dengan pelukan yang hangat, bahkan ia sampai menangis di dalam pelukannya.
Naya terheran. Mengapa Bu Asih melakukan itu? Apa iya pelukan itu hanya sebatas rindu?
Apa yang dirasa Bu Asih tentu dirasakan oleh suaminya. Ia pun ikut merasa bahagia dan terharu akan kepedulian Naya terhadap Dito. Berbeda dengan mereka, justru Dito tidak suka Naya melakukan itu. Ia belum tau uang yang dibayarkan oleh Naya itu uang dari mana.
Tadi pun Dito beberapa kali menelepon Naya, tapi Naya tidak aktif dan ia hanya bisa bersabar menunggunya pulang.
"Uang itu dari mana?!" Tanya Dito tiba-tiba.
Naya mengernyit hebat, "Uang apa?!" Tanyanya balik.
"Uang pelunasan administrasi. Pengobatan gue! Lo dapet dari mana uang itu." Nada bicara Dito sedikit berbeda. Membuat Bu Asih kesal dan menghampirinya.
"Kamu kenapa? Naya berniat baik, dia ingin membantu kamu, Dito!" Kesal Bu Asih.
"Bukan begitu, Mi. Tapi Naya dapet uang dari mana? Aku gak mau menyusahkan dia. Aku gak mau dia rela-rela minjem uang hanya untuk bayar administrasi pengobatan Dito, Mi!" Jelas Dito yang membuat Naya paham apa permasalahannya.
Naya menghampiri Dito dengan tarikan nafas yang panjang. Ia mengelus lengan Bu Asih dengan lembut sambil berkata, "Mami, tolong sampaikan sama Dito, jika uang itu hasil dari kerja saya sendiri. Saya tidak meminjam atau pun merasa disusahkan olehnya. Saya adalah sahabat Dito, dan saya tulus membantunya." Ungkap Naya yang jelas-jelas dapat didengar oleh Dito.
"Tuh dengerin!" Tegur Bu Asih sambil menepuk pipi Dito.