Menu kedua siap dibuat, Naya tak menghiraukan rengekan Dito. Kedua tangannya bergerak bagaikan chef profesional, tak ada yang perlu dipikir lagi untuk memasak.
"Ayolah Nay, buat dengan cepat. Lo gak denger apa cacing-cacing di perut gue pada demo?!"
Naya hanya terkekeh, ia kembali fokus memasak.
Lumayan lama menunggu, akhirnya menu kedua pun selesai dimasak.
"Nih, udah selesai." Naya memberikan mangkuk berisi menu sarapan kepada Dito.
Mereka makan bersama. Setelahnya, Naya memandikan Mauren dan lagi-lagi Dito hanya menyaksikan. Beberapa kali Naya mengusir Dito, tapi tak juga pergi.
"Bisa-bisa Mauren ngamuk nanti kalau udah gede Dit, awas ah aku tutup pintunya!" Naya sedikit menaikkan nada bicaranya.
Dito terkekeh melihat Naya marah-marah, ia senang jika emosi sahabatnya itu terkuras.
Ketika semua sudah selesai, Naya dan Dito pergi berbarengan. Di sana terlihat Ardi sedang memakai helm, "Ka duluan ya!" pamit Naya.
Lantas Ardi pun menjawab, "Iya Nay, hati-hati."
Di sana Dito menaikkan alis kanannya dan mulai menjalankan motornya. Mulutnya mulai bersiul menghilangkan kegaringan di atas motor. Dito ingin mengobrol, tapi ia gengsi untuk memulainya terlebih dahulu.
"Kenapa Lo diem aja? Biasanya juga cerewet, kenyang ya Lo sarapan tadi?!" ledek Naya dengan menatap sebagian wajah Dito di kaca spion.
"Emmmh, iya. Gue kenyang, jadi gue males ngomong!" bohongnya.
Naya pun ngangguk percaya, dengan itu Naya sendiri tak akan mengajaknya ngobrol lagi untuk saat ini.
Di saat motor mereka sampai di tempat tujuan, Ardi pun sampai dengan memarkirkan motornya di samping motor Dito.
"Fffuuuu..." Dito memalingkan wajahnya acuh.
"Nay, mau dibantu? Sekalian ke dalam, kamu kan gendong Mauren." tawar Ardi.
Tawaran Ardi ditolak mentah-mentah oleh Dito, sehingga Naya meliriknya aneh.
"Apaan sih Lo?!" tatap Naya sinis.
"Biar gue aja yang bantu Lo! GUE JUGA MASIH PUNYA TANGAN DAN KAKI UNTUK MENOLONG ORANG!" ucap Dito penuh penekanan.
Naya menarik nafas dan membuangnya kasar, lalu ia menunduk ramah kepada Ardi berniat meminta maaf.
Dito pun mengambil dua kresek yang berisi menu sarapan di tangan kanan dan kirinya. Ia berjalan seakan tau tujuan.
"Mau ke mana Lo? Itu arah toilet wanita!" ujar Naya lebih sinis dari tadi. Ardi yang sejak tadi mengekori mereka di belakang menyembunyikan tawanya melihat Dito salah arah.
"Iya Nay, galak bener dah jadi cewe. Jan galak-galak gitu, nanti pas udah gede Mauren ikut galak. Gue gak mau punya ponakan galak," celoteh Dito.
"Ponakan, ponakan, adek dong!" sahut Naya.
"Adek ipar maksud Lo?!" pancing Dito.
Naya tampak terdiam kaku, rupanya ia salah berbicara. Ardi pun jadi ikut terdiam di belakang Naya, ia melirik ke arah Dito dan Naya bergantian.
"Udah ah, nanti pak Hamdan nungguin. Keburu dingin juga itu lauknya!" timpal Naya enggan untuk memperpanjang pembicaraan barusan.
Langkah Ardi kembali terangkat setelah Naya dan Dito pergi dari hadapannya. Ia nampak menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum tipis.
Terlihat pak Hamdan sedang duduk bersandar di kursi kerjanya, sepertinya ia belum sarapan.
"Permisi pak, hhe maaf mengganggu waktunya. Ini ada sedikit lauk untuk sarapan, mungkin bapak bisa mencicipinya." ujar Naya lembut.
Pak Hamdan tentu menerimanya dengan antusias, hobinya makan, dengan itu ia tak pernah menolak makanan.
Naya pun pamit untuk memulai pekerjaannya, "Tunggu!" pak Hamdan menghentikan langkah Naya.
"Kalian di sini dulu sebentar, saya mau mencicipi lauk dan nasi ini di hadapan kalian. Nanti rasanya miring gimana? Kalian harus bertanggung jawab!" ucapnya.
Naya dan Dito pun terdiam di sana, mereka menunggu pak Hamdan makan.
Rupanya tidak ada ekspresi yang diperlihatkan oleh pak Hamdan, hanya ada putaran mata yang mengitari ruangannya.
"Haruskah kami bertanggung jawab pak?!" tanya Dito sedikit meledek. Ia tentu sudah tau rasa masakan Naya super lezat, ia kesal dengan ejekan pak Hamdan tadi.
"Kamu beli lauk ini di hotel berbintang?" pak Hamdan memastikan.
Naya menggeleng pelan, sedangkan Dito terkikik dengan pertanyaan pemilik restoran itu.
"Kami ini anak biasa pak, gak mungkin pergi ke hotel cuma beli lauk buat bapak." ceplos Dito yang langsung mendapatkan pelototan Naya.
"Emmm, maksud sahabat saya, kami tidak membeli lauk itu di manapun pak. Saya sendiri yang masak, dibantu oleh sahabat saya ini." Naya memperbaiki ucapan Dito.
Dengan ejekan Dito barusan pak Hamdan tidak terlihat emosi, padahal menurut Naya ucapan Dito sangat menjengkelkan. Tapi kenapa pak Hamdan tidak kesal? Apakah ia menahan nafsunya? Atau nafsunya itu terhapus oleh kelezatan dari masakan Naya?
"Ini bener-bener lauk yang beda! Penyajiannya simple tapi rasanya membuat lidah bergoyang." pak Hamdan menggeleng-geleng kepalanya tak percaya.
"Dangdut kali pak ah bergoyang.." ledek Dito lagi.
Brakk...
Pak Hamdan menggebrak mejanya, "Bukan dangdut, ini bener lidah saya sangat menikmati dan menyambut makanan ini."
"Ehh iya-iya pak," Dito sedikit mundur, Naya pun harus menepuk-nepuk Mauren karena terbangun dengan gebrakan pak Hamdan.
"Tapi, tamu undangan kali ah menyambut!" gerutu Dito tak puas mengejek pak Hamdan. Naya langsung menyuruhnya diam.
Semua terdiam melihat pak Hamdan diam, pak Hamdan seperti orang kebingungan yang baru ditemukan.
"Pak? Masih mau lagi lauknya? Jika tidak mau, saya mau ngambil tempat makan mami saya." lagi-lagi Dito berbicara.
Naya memejamkan mata dan mengontrol emosinya, Dito benar-benar tak tau sopan santun. Bisa-bisanya ia berbicara seperti itu di saat kondisi seperti ini.
"Dit!!!" panggil Naya dengan penekanan.
"Tapi kan bener kan Nay tempat makanan itu punya mami gue, bisa-bisa gue digorok kalau pulang gak bawa tu tempat makan." ujar Dito tanpa memperdulikan keberadaannya di depan bos restoran.
Pak Hamdan tertawa, spontan Naya dan Dito menatapnya aneh. Naya bertanya dengan mengangkat dagunya, "Gak tau, keracunan kali!" Jawab Dito tanpa bersalah.
"Ish, kalau ngomong tuh ya..." Naya memalingkan wajahnya.
"Akkkh, akkkh, akkh, aduh, aduh. Sahabat kamu ini ya, bener-bener lucu. Cuma gegara tempat makan plastik seperti ini, lehermu digorok? Ha, ha, ha, emang lehermu itu mirip leher ayam ko." bales pak Hamdan dengan tawa yang semakin kencang.
Dito mencengkram kedua tangannya, wajahnya pun melembek konyol.
Naya semakin bingung diantara dua pria aneh ini, ia hanya bisa menggeleng dan menyunggingkan senyumannya.
"Pak, sekarang saya bisa kembali untuk berkerja?" tanya Naya halus.
"Emmh, ya, ya, ya. Tapi nanti malam kamu harus hadir di acara pertunangan anak saya, di hotel Amstern Xiv. Saya akan membatalkan chef ternama hanya untuk melihat kamu masak di sana, ingat kami bukan hanya mencicipi masakanmu, tapi kami akan melihat caramu bermasak. Dengan itu saya percaya ini masakanmu!" ujar Hamdan dengan menunjuk makanannya.
"Hah?! Bapak yakin?!" Naya tak percaya.