"Boleh, aku akan sangat senang bisa menemanimu seharian. Tapi, bolehkan aku membawa Mauren?!" tanyanya.
Seno ikut menoleh ke samping, "Tentu boleh, Naya. Mauren itu adalah adikku," jawabnya.
"Oh, ya?! Tidak! Dia tidak pernah mau menjadi adikmu, dia hanya menginginkanku sebagai kakaknya." ledek Naya dengan sedikit menggunakan nada angkuh.
Seno semakin hanyut dalam ledekan sang istri, ia mengarahkan tubuhnya ke arah Naya. Menatapnya dengan tatapan yang siap membalas ledekannya, "Benar seperti itu?! Lalu kenapa Mauren tidak mau berhenti nangis saat berada di pangkuanmu? Justru dia mau berhenti saat berada di pangkuanku, bukannya aku yang lebih pantas menjadi kakaknya Mauren?!" satu alisnya terangkat menunggu jawaban dari Naya.