"Ini buatanmu?!"
"Iya. Tidak ada orang di sini, sejak tadi hanya ada aku dan Mauren."
Dari sorot matanya Naya bisa melihat kebahagiaan Seno yang sangat terpancar, bahkan ia sangat melihat jelas kedua mata Seno dipenuhi dengan air mata yang hendak jatuh namun ditahan oleh pemiliknya.
"Makasih," Seno mengecup puncak kepala Naya. Kali ini ia benar-benar merasa sedang menjadi suaminya. Tidak pernah luput dari harapannya, agar Naya bisa segera menerimanya seutuhnya.
Di tengah-tengah mereka makan siang, tiba-tiba Dito menghubunginya melalui video call. Naya menatap Seno dengan kaku, sedangkan Seno sedikit mengulas senyumnya. "Angkat saja," ucapnya.
Dengan cepat Naya meraih celemek yang tergantung di tempatnya, ia memakai itu dengan terburu-buru. "Jangan terburu-buru seperti itu," tegur Seno perlahan. Naya hanya mengangguk dan berusaha untuk tetap slow.
"Assalamu'alaikum, hai. Apa kabar?!" sapa Naya yang membuat hati Seno terkikis.