Dito terdiam dalam amarahnya. Deru nafasnya sudah tidak bisa tekontrol lagi, bahkan air matanya kembali membasahi sebagian sepatunya.
"Dito... maafkan aku, aku tahu kamu sangat terluka dengan perkataan Seno barusan. Pompaan dadamu terlihat begitu cepat hingga punggungmu pun bergerak megikuti kembang kempis dadamu yang tidak seperti biasanya." Naya membatin.
Dito membuang nafasnya panjang, lalu membalikkan tubuhnya ke arah Seno dan Naya. "Iya, tuan. Ada yang bisa saya bantu lagi?!" tanya Dito masih berusaha untuk profesional, namun kenyataanya ia sudah ingin mencekik Seno dan melemparkannya dari tebing tertinggi di dunia.