Pagi hari pukul 07.00 WIB
Mereka sarapan bersama. Entah mengapa Leandra tidak bisa sepenuhnya membenci pernikahannya dengan Rigel, karena ia memikirkan orang tuanya.
"Kelasmu hari ini sampai pukul berapa?"
"Pukul lima sore, kenapa?"
"Okay, nanti kalau mau pulang hubungi saja."
"Tetapi nanti merepotkan, enggak usah sok baik deh. Aku enggak apa-apa kok."
"Kamu mau jalan?"
"Ya kali aku jalan, enggak mungkinlah."
"Pokoknya aku yang akan jemput nanti, kalau terjadi apa-apa aku orang pertama yang disalahkan Ayahmu."
"Ayah saja terus, kenapa sih di dunia ini Ayah berkuasa banget."
"Beruntunglah kamu masih memiliki Ayah."
"Maaf, enggak begitu maksudnya."
Setelah mereka selesai sarapan kini Rigel mulai mengantarkan Leandra ke kampusnya. Rigel mengantarkan sampai masuk ke lingkungan kampus tersebut bahkan sampai tempat parkir.
"Kok kamu tahu sedetail kampus ini tanpa tanya aku sih?"
"Jadi kamu enggak mau aku antar sampai sini?"
"Jangan-jangan ini kampus kamu juga?"
"Iya, ada masalah?"
"Enggak."
Segera Leandra keluar dari mobil tersebut tanpa berpamitan pada Rigel. Akan tetapi ia berlari ke mobil tersebut.
"Apa?"
"Aku lupa minta nomor kamu, nanti bagaimana aku pulang."
Memang benar selama satu minggu lebih mereka tidak salling bertukar nomor telepon, hanya saja Rigel mempunya nomor Leandra.
"Aku sudah kirim pesan, simpanlah itu nomorku."
"Loh kamu sudah punya nomorku?"
"Itu mau kamu debatkan? Sana masuk kelas."
Leandra berlalu dengan wajah sinisnya. Ia memang tidak terlalu ramah pada siapapun kecuali pada orang-orang terdekatnya.
Pukul 17.30 WIB
Leandra sudah menunggu Rigel yang tidak kunjung tiba. Ia hendak pulang namun lupa jalan perumahannya dan juga lupa membawa dompetnya. Beberapa menit kemudian Rigel tiba.
"Kamu ke mana saja sih?" gerutu Leandra seraya masuk ke dalam mobil.
"Maaf tadi ada pasien mendadak."
Setelah sampai di rumah Leandra turun namun tidak dengan Rigel.
"Ini kunci rumah, Aku pergi lagi, jangan lupa kunci pintunya."
"Jadi aku sendirian?"
"Jadi kamu mau berduaan denganku terus?"
"Yee apaan coba."
"Aku nanti pulang malam, kamu hati-hati di rumah, ada apa-apa berkabar."
Leandra hanya mengangkat alis matanya saja tidak menjawab apapun. Leandra segera masuk ke rumah tersebut dan mulai membersihkan dirinya. Rigel pulang ke rumah sekitar pukul sepuluh malam.
["Kamu belum tidur 'kan?"]
"Belum, kenapa?" jawab Leandra yang masih berada di meja belajarnya.
["Aku di depan, tolong buka pintunya."]
Leandra segera ke depan membukakan pintu tersebut. Rigel segera masuk ke kamarnya dan membuka kancing lengan kemeja panjangnya. Karena ia lelah, tidak sengaja tertidur tanpa mandi terlebih dahulu.
"Rigel, bangun."
Tidak ada jawaban dari Rigel.
"Kebo banget ini manusia," gerutu Leandra.
"Rigel!" seraya menarik lengan Rigel.
Bukannya bangun, Rigel malah menarik tangan Leandra hingga ia jatuh dan tepat didepan dada bidangnya Rigel.
Deg!
'Astaga ganteng banget,' ucap Leandra dalam batinnya.
Seketika Leandra tersadar dan membangunkan Rigel.
"Rigel!"
"Astaga, maaf Lea aku enggak tahu kalau meluk kamu."
"Pasti kamu sengaja 'kan?"
"Kalau aku sengaja kayaknya enggak akan aku lepaskan, Lea."
"Ih apaan sih, sana mandi. Bukannya kamu belum mandi."
Rigel yang masih lelah segera bangkit dan mulai membersihkan dirinya.
Leandra sudah selesai mengerjakan tugas dan kini bersiap untuk tidur.
Wangi maskulin parfum laki-laki setelah mandi begitu menggoda, apalagi melihat tubuh Rigel yang begitu gagah di mata Leandra. Setelah membersihkan dirinya, Rigel kembali lupa tidak membawa baju karena yang ia bawa hanya celana panjangnya saja. Ia berjalan menuju lemari dengan dada tanpa sehelai benang.
"Rigel!"
"Apa sih Lea, enggak usah teriak ini sudah malam."
"Kamu ini enggak bisa apa pakai baju."
"Lagi pula hanya baju saja yang belum aku pakai, kamu kenapa sih."
"Itu dada bidang kamu kelihatan, berdosa penglihatanku."
Rigel membawa kaosnya dan berjalan menuju Leandra.
"Buka tanganmu, enggak usah ditutup pakai tangan."
"Enggak! Kamu pasti belum pakai baju 'kan?"
"Sudah, bukalah."
Leandra membuka tangan yang menutu wajahnya namun ia tertipu oleh Rigel. ia dikejutkan dengan dada bidangnya di depan wajanya.
"Gila kamu!"
"Kalau kamu melihat ini namanya pahala bukan berdosa, Lea."
"Apa-apaan?"
"Jangan-jangan kamu tergoda?"
"Enggak akan!"
"Okay untuk menguji apakah kamu tergoda atau tidak, tidur malam ini aku enggak akan pakai baju."
Leandra membelalakan matanya ia benar-benar gugup dan takut.
"Sumpah kamu kesambet apa sih!"
Rigel tertawa dan menurutnya berhasil menggoda istrinya. Segera Rigel memakai kaos putih lengan pendeknya. Jelas ancaman yang ia buat sebelumnya hanya candaan saja karena ia senang melihat Leandra marah.
Entah apa yang dirasakan Leandra saat itu yang jelas malam itu ia agak ketakutan degan Rigel yang lelah dan menakutkan hingga wajahnya murung.
"Kenapa?"
"Kamu jahat banget sih."
"Hah kenapa? Kamu takut aku berbuat semena-mena?"
"Ya jelas aku ini gadis baik-baik jelas takut sama om-om yang enggak pakai baju di hadapanku."
Rigel tertawa dan mulai duduk di ranjang tersebut.
"Lea, dengar ya sampai kapan pun aku enggak akan berani meminta hak sebagai suami sama kamu."
"Tetapi sama perempuan lain begitu maksudmu?"
"Enggak juga, aku enggak seburuk itu."
"Kenapa kamu enggak pernah marah kalau aku tidak memberikan itu?"
"Buat apa marah? Meski pun kamu istriku tetapi tidak seenaknya memperlakukan kamu, kenapa? Karena setiap orang mempunyai haknya."
Leandra terdiam.
"Tetapi kamu enggak akan bilang Ayah 'kan?"
"Enggaklah, Lea. Untuk apa aku bilang hal-hal yang menyangkut pribadimu, enggak etis."
Leandra bertepuk tangan seraya menatap Rigel.
"Buat apa tepuk tangan?"
"Loh kamu keren maksudnya eh enggak, ucapannya maksudku."
"Terserah kamu, aku capek mau tidur."
Rigel segera memejamkan matanya dan beberapa menit kemudian ia terlelap, ia begitu cepat sekali terlelap dibandingkan Leandra. Mungkin karena lelahnya pekerjaan.
*****
Pagi telah menyapa dan cahaya cepat sekali menyinari dedaunan dan rerumputan. Masih pagi sekali Leandra sudah sangat sibuk di atas meja belajarnya.
"Kamu ada kelas pagi?"
"Enggak, tetapi hari ini ada seminar dan kamu tahu pemateri itu katanya luar biasa dan ganteng."
"Sudah pernah lihat?"
"Ya belum 'kan katanya. Maka dari itu aku harus dandan yang cantik."
"Untuk?"
"Untuk memikat pematerinya lah."
"Kalau pematerinya bapak-bapak sudah tua kamu tetap goda juga?"
"Ya kali, enggak mungkin bapak-bapak tua, soalnya anak-anak bilang dan dosenku bilang beliau itu lulusan terbaik dan usianya mungkin kayak kamu."
"Kalau ternyata itu aku bagaimana?"
Leandra tertawa sangat keras mengejek Rigel.
"Hello! Enggak mungkin itu kamu, jangan mimpi ya. Kamu itu enggak masuk kategori itu."
Rigel hanya menggelengkan kepalanya saja dan mulai berjalan keluar kamar.
"Ayok cepat antar aku," pinta Leandra.
Mereka pergi bersama pagi itu. Saking bahagianya begitu sampai di kampus Leandra segera berlari meninggalkan Rigel.
Semua mahasiswa angkatan baru pagi ini diwajibkan mengikuti seminar pada gedung pertemuan. Leandra sengaja cepat memasuki ruangan tersebut untuk mendapatkan duduk barisan depan.
"Ci, sumpah ya kalau pemateri ini ganteng dan masih muda bakalan aku dekati."
"Heh sadar sudah punya Rigel."
"Yeee bodoh amat, makanya aku serapi ini hanya menunggu pemateri itu tahu. Eh tetapi enggak ada posternya ya?"