Naraya tidak pernah berpikir akan menikah dengan cara seperti ini. Bukan hanya aneh, namun juga tiba-tiba. Dimana-mana orang jika ingin menikah pasti memiliki persiapan baik batin maupun persiapan untuk acara. Sementara dirinya? Dia sama sekali tidak memiliki persiapan untuk itu karena rencana hidup untuk kedepannya hanya ingin berdua saja dengan Poppy.
Sempat terlintas ide untuk kabur. Tapi tidak jadi karena teringat ada banyak hal yang harus dia jaga di rumah ini. Andai saja dia tidak memiliki tanggung jawab, pasti dia akan melarikan diri dengan Poppy. Pergi sejauh mungkin dari sini dan hidup bahagia sesuai rencana hidup yang dia inginkan.
Sekarang gadis itu hanya duduk melamun di dalam kamarnya, tidak berniat membantu para ibu-ibu di dapur untuk menyiapkan kue yang akan mereka beri pada tamu. Acara arisan ditiadakan dan diganti menjadi acara ijab qobul pernikahannya. Sebenarnya dia tidak ingin mengundang warga sekitar di acara ijab qobul, tapi kata pak RT lebih baik di undang saja agar mereka semua tahu kalau Naraya sudah menikah dan tidak akan menimbulkan salah paham lagi.
Bunyi ketukan pintu membuat gadis itu menoleh. "Masuk," ucapnya memberi izin.
Bu Yuni memasuki kamarnya dengan sekantung plastik di tangan. Wanita itu tersenyum padanya. Ah, omong-omong dia adalah istri pak RT.
"Ada apa ya, bu?" Tanya Naraya dengan sopan dan mempersilahkan Bu Yuni untuk duduk di sampingnya.
Tangan hangat Bu Yuni mengelus lembut lengan Naraya. Dia tidak berbicara, hanya terus mengelus Naraya yang mulai meneteskan air mata. Air mata yang sejak tadi dia tahan mati-matian agar tidak dikatakan lemah. Tapi mendapatkan perlakuan hangat dari Bu Yuni membuatnya menumpahkan segala yang sudah susah payah dia tahan.
"Ibu tahu ini berat. Tapi ini demi kebaikan kamu, Nara. Dilihat-lihat sepertinya nak Sakha itu orang yang baik." Ujar Bu Yuni dengan lembut sembari menghapus air mata Naraya yang masih terus mengalir.
"Gimana... Gimana bisa saya hidup sama orang yang nggak saya kenal? Ibu kan tahu apa aja yang saya lalui selama ini."
Mendengar rentetan kalimat bernada sedih yang keluar dari bibir Naraya membuat Bu Yuni mendekap erat dirinya. Dia tahu betul apa yang Naraya alami selama ini, hanya dirinya, suaminya, dan Bu Tias. Hanya mereka yang mengetahui hal-hal berat apa saja yang Naraya alami.
Tangisan Naraya semakin kencang bersamaan dengan suara sesegukan yang mulai keluar. Bu Yuni tidak berkata apa-apa lagi selain suara tepukan yang ia beri di punggung Naraya agar membuat gadis itu tenang.
Setelah beberapa saat, Bu Yuni melerai pelukan mereka dengan tangisan Naraya yang sudah mulai mereda. Wanita itu mengambil kantung plastik yang tadi dia bawa dan memberikannya kepada Naraya.
"Ini, pakai ini buat ijab qobul nanti."
Penasaran, Naraya pun mengeluarkan pakaian yang ternyata sebuah kebaya berwarna putih tulang lengkap dengan kain batiknya. "Saya pakai kemeja putih sama celana hitam aja, Bu." Tolaknya, Naraya tidak ingin menspesialkan acara dadakan ini.
"Meskipun kamu menikah dengan tiba-tiba seperti ini, tetap saja kamu menikah kan? Ini cuma sekali seumur hidup, Nara. Setidaknya pakai kebaya ibu untuk membuat pernikahan mendadak ini jadi sedikit lebih berkesan." Jelas Bu Yuni bersamaan dengan tangannya yang menggenggam tangan Naraya, mencoba untuk memberikan kekuatan untuk gadis itu, "Kamu siap-siap ya. Sebentar lagi acaranya dimulai." Sambungnya lalu bangkit dan meninggalkan Naraya beserta jutaan perasaannya yang campur aduk.
Gadis itu memandangi kebaya yang berada di pangkuannya. Haruskah dia membuat pernikahan tiba-tiba ini menjadi sedikit lebih berkesan? Memang benar kata Bu Yuni, kalau ini tetaplah sebuah pernikahan. Tapi rasanya begitu...
Saat dicobanya kebaya pengantin, ternyata sangat pas dengan tubuhnya. Naraya kemudian melirik meja rias yang sudah lumayan lama tak ia sentuh.
Ya, baiklah. Dia akan membuat pernikahan ini menjadi sedikit lebih berkesan.
***
Sakha sedari tadi tidak berhenti bergerak. Padahal dia sendiri sudah lelah dan belum benar-benar beristirahat. Dan sekarang dia mondar-mandir kesana dan kemari untuk membantu memindahkan sofa agar orang-orang nanti bisa duduk lesehan di karpet yang sudah disediakan.
Dalam hati dia mengeluh kelelahan. Tapi tidak enak untuk mengutarakannya.
"Nak Sakha!" Sakha menoleh kepada pak RT yang memanggilnya. Buru-buru dia mendekati pak RT yang sedang duduk sambil memakan kue yang disediakan.
"Iya, pak?" Jawab Sakha sambil duduk di samping pak RT.
Pak RT menyodorkan piring berisi kue tersebut kepada Sakha, "Makan dulu. Bapak tahu kamu lapar."
Sakha mengangguk dan mengambil salah satu kue lalu memakannya dengan lahap. Benar sekali, dia sangat lapar sekarang. Sudah dikatakan kan dia kurang makan dan juga kurang tidur beberapa hari ini.
Soal pernikahan, Sakha sendiri hanya pasrah pada takdir. Dia tahu kalau pernikahan ini tidak benar, dan... Terlalu tiba-tiba. Dia takut tidak dapat berbuat apa-apa untuk Naraya. Dan tampaknya wanita itu juga tidak menyukainya.
"Kamu sudah bertemu dengan Poppy?" Tanya pak RT tiba-tiba, memecah keheningan diantara mereka.
Sakha hanya menggeleng sambil terus mengunyah. "Poppy siapa, pak?"
"Belum bertemu rupanya."
"Nanti kamu akan tahu dia siapa. Kalau misalkan dia tidak marah sama kamu, berarti kamu mendapat restu dari dia." Pak RT tertawa setelah mengakhiri perkataannya, sementara Sakha mengerutkan keningnya tak paham.
Poppy? Ulangnya di dalam hati. Apa dia adiknya Naraya? Tapi kalau keluarga, kenapa batang hidungnya tidak kelihatan? Sudahlah, toh itu bukan urusannya.
Satu per satu orang-orang mulai berdatangan. Rata-rata mereka memasuki ruang tamu dengan wajah kaget sambil bertanya hal-hal yang intinya sama, "Mbak Nara kok tiba-tiba nikahnya?" Yang hanya ditanggapi senyuman oleh Sakha. Sebab lebih baik dia diam daripada berbohong atau mencari alasan yang belum didiskusikan bersama Naraya.
Pak RT berdiri menyambut seorang pria yang tampaknya cukup tua. Tangannya menyalami pria itu dan menuntunnya untuk berkenalan dengan Sakha. "Sakha, ini wali hakim. Teman bapak."
Sakha mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan wali hakim yang datang untuk menikahkan mereka berdua. Wali hakim itu menerima jabatan tangan Sakha. Mereka mengobrol sebentar, atau lebih tepatnya hanya pak RT dan si wali hakim saja yang mengobrol karena Sakha hanya mendengarkan. Jujur saja, dia tidak mengerti apa yang kedua orang tua ini bicarakan.
Pak RT mendekatkan wajahnya ke telinga Sakha lalu berbisik, "Coba kamu lihat Nara ke kamarnya. Acara akan segera dimulai."
Mengangguki kepalanya, Sakha berdiri hendak menuju ke kamar Naraya. Tapi yang ditunggu sedari tadi sudah tiba dengan kebaya yang sudah melekat dengan indah di tubuhnya yang ramping dan tak lupa make up tipis menghiasi wajahnya. Sakha kira Naraya hanya akan mengenakan kemeja batik dan celana bahan–yang dipinjamkan untuk mengganti kemeja lusuhnya dari pak RT–seperti dirinya, ternyata wanita itu mempersiapkan dirinya dari tadi. Dan... Dia sangat cantik.
"Nah, Naraya dan Sakha ayo duduk di depan meja ini."
Kedua orang itu mengangguk dan duduk di depan meja yang diletakkan ditengah-tengah ruangan. Wali hakim sudah duduk lebih dulu di hadapan mereka. Sakha menjabat tangan wali hakim, mengucapkan ijab qobul dalam sekali tarikan nafas yang cukup membuat orang-orang terkesiap dan terkesan.
Mungkin itu karena tidak ada perasaan gugup saat Sakha mengucapkannya dan juga tak ada rasa bahagia setelah dapat mengucapkan ijab qobul itu. Hanya ada keterpaksaan disaat seharusnya ada perasaan haru dan bahagia. Bisa dibilang, Sakha hanya menganggap itu sebagai rentetan kalimat biasa. Walau kalimat itulah yang membuatnya menjadi terikat dengan gadis bernama Naraya Adisti.
"Sah?" Wali hakim melirik pada para warga.
Para warga mengangguk dengan semangat, "Sah!" Jawab mereka serempak.
"Alhamdulillah!" Wali hakim kemudian membimbing orang-orang yang ada di ruangan itu untuk berdoa bersama.
"Sekarang kedua mempelai sudah sah menjadi suami istri." Para warga yang menghadiri acara sederhana itu bertepuk tangan dengan meriah, lain halnya dengan Naraya dan Sakha yang hanya dapat diam dengan raut wajah datar. Mereka tidak mampu memaksakan senyum karena hati yang terlampau merasa terpaksa.
"Mempelai pria dipersilahkan mencium kening istrinya. Lalu, mempelai wanita mencium tangan suami."
Mendengar arahan dari wali hakim, Sakha pun menghadap ke arah Naraya yang juga menghadapnya. Dengan kaku, Sakha meraih kedua pipi Naraya dan menempelkan bibirnya sesingkat mungkin di kening perempuan itu. Baru sesudah itu Naraya menyalami tangan Sakha.
Tangan Naraya dingin dan gemetar, Sakha dapat merasakannya. Dia juga agak terkesiap saat Naraya buru-buru menghempaskan tangannya. Dia tahu ada yang tidak beres dengan gadis ini.
Setelah proses ijab qobul selesai, semua orang makan nasi kotak yang Naraya pesan dari catering kenalan Bu Yuni. Semuanya makan dengan lahap sambil bercerita, sementara Naraya dan Sakha memakan makanan mereka dalam hening. Naraya tidak berselera, tapi Sakha tetap memakan dengan lahap karena memang lapar.
Matahari sudah berada di atas kepala setelah semua orang mulai berpamitan pulang. Mereka menyalami Naraya dan Sakha beserta ucapan selamat karena sudah menikah. Beberapa diantara mereka memberikan amplop yang disiapkan secara tiba-tiba karena kaget Naraya yang juga tiba-tiba mengumumkan kalau hari ini akan menikah.
"Saya kaget lho, mbak. Nggak pernah bawa calon. Pas ditanya kapan nikah jawabannya nggak tahu terus. Eh tiba-tiba hari ini nikah sama mas ganteng." Salah seorang warga berucap dengan hebohnya, tak lupa lirikan genit dia berikan pada Sakha.
Naraya hanya tersenyum tipis menjawab celotehan wanita itu karena memang tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia sendiri tidak tahu akan menikah hari ini.
"Omong-omong kenapa mukanya kayak dipaksa nikah begitu. Senyum, dong!" Sakha sekaligus Naraya langsung gelagapan. Padahal niat wanita tadi hanya bercanda.
Setelah semua tamu sudah pergi dan menyisakan ibu-ibu saksi kejadian tadi pagi serta pak RT dan istrinya. Mereka semua duduk melingkar di atas karpet dengan raut wajah yang serius.
"Sesuai kesepakatan, Naraya dan Sakha sudah menikah. Jadi apa yang ibu-ibu lihat tadi pagi, tolong dirahasiakan. Itu juga demi kebaikan daerah ini."
Ibu-ibu itu tampak ragu dan saling pandang satu sama lain. Naraya yang melihat itu menjadi harap-harap cemas, berharap agar mereka mengikuti arahan pak RT dan mau merahasiakan hal ini.
"Sampai akhir... Saya akan mengatakan saya dan Sakha tidak pernah saling kenal. Tapi saya mohon kepada ibu-ibu agar merahasiakan ini." Pinta gadis itu dengan menundukkan kepalanya.
Helaan nafas panjang Bu Wati serta ibu-ibu lainnya hembuskan. Seperti saling membuat kesepakatan hanya dengan lirikan mata, mereka semua pun mengangguk.
"Kami janji tidak akan menyebarkan masalah ini."
Naraya menghembuskan nafas lega. Setidaknya dia bisa tenang dan memegang omongan ibu-ibu ini. Spontan Naraya menoleh ke arah Sakha yang ternyata menatapnya sambil tersenyum tipis. Seolah mengisyaratkan kalau semuanya tidak apa-apa.
Anehnya, senyuman tipis itu membuat hati Naraya menjadi tenang.