[24 Februari 2020]
Suara alarm yang terus berbunyi dengan nyaring itu mengganggu tidur nyenyak Naraya. Bukannya bangun, gadis itu malah bergelung ke dalam selimut. Mungkin pikirnya suara alarm itu akan menghilang kalau dia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut miliknya yang tebal, tapi sayangnya tidak. Suara alarm itu disetel dengan begitu kencang membuat siapapun yang mendengar pasti akan mengeluh dan langsung bangun untuk yang masih tidur.
Pada akhirnya dia sendiri juga tidak dapat kembali tidur karena sudah dipaksa bangun oleh alarm. Dengan kesal Naraya pun duduk dan menghempaskan selimutnya ke samping. Rambutnya terlihat acak-acakan, mungkin kalau ada yang melihat pasti mereka akan mengatainya singa. Karena rambutnya sedang mengembang seperti rambut singa.
Tangannya meraih alarm yang terus berdering, "Berisik banget, sih! Emang udah jam berapa?"
Matanya yang masih separuh terbuka langsung melotot karena melihat jarum jam yang sudah menunjuk ke angka 12 siang. Kenapa dia bisa bangun selama ini? Padahal dia tidur jam 8 tadi malam. Apa dia sedang berhibernasi? Oke, itu berlebihan.
Naraya langsung bangkit dari kasur. Kakinya yang bertelanjang langsung bertemu dengan lantai keramik dingin akibat AC yang gadis itu gunakan, membuat seluruh tubuhnya langsung bergidik dingin.
"Dingin banget! Kok bisa sedingin ini, sih?" Dumelnya lagi, padahal dia sendiri yang menghidupkan AC dan mengatur suhunya di paling rendah.
Dengan cepat dan terburu-buru gadis itu mengganti baju tidur tipisnya alias lingerie menjadi pakaian yang lebih sopan, yakni rok span di bawah lutut berwarna abu-abu dan sweater kebesaran berwarna hitam. Tangannya mengikat asal rambut kusut itu dan membuatnya tampak sedikit lebih rapi dan lebih enak dipandang, setidaknya begitu dia pikir setelah melihat ke kaca.
"Kalau aku nggak berangkat sekarang yang ada tu nenek lampir kabur lagi."
Nenek lampir yang Naraya maksud adalah salah seorang penyewa rumah kontrakannya. Wanita itu selalu kabur saat Naraya mintai uang sewa bulanan. Kalau ketemu pun dia selalu beralasan tidak memiliki uang padahal sebelumnya baru kredit motor.
Kali ini Naraya tidak akan bisa dibodohi lagi. Maka dari itu Naraya harus bergegas menemuinya dan meminta uang bulanan yang harusnya dia nikmati sekarang.
Dengan terburu-buru Naraya mencari buku catatan para penyewa yang dia tulis tangan agar tidak lupa tanggal berapa para penyewa harus membayar. Setelah menemukan buku itu, dia bergegas pergi setelah memastikan pintunya sudah terkunci rapat. Naraya juga tidak ingin ada pencuri yang masuk kan?
Naraya berjalan dengan cepat ke arah kontrakan 10 pintu miliknya. Iya, dia pemilik kontrakan. Bisa dibilang dia juga bawel. Bukan pemilik kontrakan yang baik hati dan penyabar, tapi pemilik kontrakan yang tidak boleh telat membayar atau akan dikejar olehnya. Sampai ke ujung dunia sekalipun.
Dulu pernah ada salah satu penyewa yang kabur dan tidak membayar sewa selama 3 bulan. Naraya tidak bisa membiarkan mereka kabur dengan tidak membayar rumah sewaannya, lalu dia mencari orang itu sampai ke pulau Kalimantan dari Jakarta. Begitulah, bagi Naraya tidak ada yang boleh telat membayar apalagi kabur tanpa membayar. Dirinya merasa sudah cukup berbaik hati dalam memberi tenggang waktu, dia juga membiarkan kalau ada yang mau bayar beberapa bulan sekali. Bukankah dia sudah sangat baik hati dalam memberikan kelonggaran pembayaran?
"Mbak Yayuk!" Panggilnya bersamaan pintu yang terus dia ketuk dengan kencang.
Gadis itu terus memanggil dan mengetuk pintu rumah, tapi tidak ada jawaban maupun pintu yang terbuka. Tapi tenang, Naraya tak kehilangan akal. Dia mengambil ponsel yang sudah berisi rekaman suaranya yang memanggil-manggil nama Yayuk, menghidupkan rekaman itu dengan suara yang paling kencang.
"Kalau mbak nggak mau keluar, aku bakalan berdiri di sini semalaman sama rekaman ini!" Jujur saja, suara itu mengganggu. Apalagi dia berteriak saat direkam, dia juga sadar suaranya terdengar begitu cempreng. Beberapa orang mulai keluar dari rumahnya dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Naraya tidak peduli dengan tatapan penasaran orang-orang, yang penting dia mendapatkan uangnya.
Ancaman Naraya baru berhasil setelah suara rekaman dari ponsel itu berbunyi nyaring selama lebih dari setengah jam. Pintu rumah itu akhirnya terbuka, menampilkan wajah yang sedang tersenyum kecut.
Naraya mendengus lalu mematikan rekaman ponselnya. "Mbak tahu kan kenapa aku ada di sini?" Tanya Naraya retoris yang membuat Yayuk menunduk.
"Saya lagi nggak ada uang, Mbak."
"Bohong!" Naraya terdengar begitu garang sekarang, "Itu mbak beli TV baru kan? Mana keluaran paling baru lagi, pasti mahal." Sindirnya sambil menunjuk sebuah televisi yang masih berbungkus plastik di ruang tamu itu.
Yayuk tersenyum malu. "Satu bulan dulu ya, mbak? Saya beneran cuma bisa bayar segitu." Yayuk menyerah pada akhirnya, apalagi sudah tertangkap basah seperti ini.
Menghela nafas pelan, Naraya akhirnya mengangguk. "Besok jangan telat lagi, terus jangan lupa bayar sisanya."
"Iya. Maaf ya mbak." Naraya berkata tidak apa-apa asal tidak diulangi lagi. Setelah berbasa-basi sebentar Naraya langsung pamit pergi. Karena sebenarnya dia juga tidak suka berada di luar rumahnya, alias dia itu anak rumahan.
Naraya tidak begitu suka berbaur dengan yang lain. Tapi bukan berarti tidak bisa, malah dia paling ahli soal senyum palsu dan akting ramah pada orang-orang. Tapi dasarnya saja sudah tidak suka, apalagi sekarang dia hanya perlu keluar rumah kalau perlu-perlu saja, semakin membuatnya tidak bersosialisasi dengan sekitar.
Naraya berjalan sambil menutupi wajahnya dari cahaya terik matahari. Dia lupa membawa payung karena pergi dengan terburu-buru, takut kalau-kalau Yayuk kabur. Selain tidak suka bersosialisasi, Naraya juga tidak suka berpanas-panasan begini. Selain dapat membuat kulit pucatnya menjadi gosong, berpanas-panasan dapat membuatnya menjadi mandi keringat dan terlihat kusam. Untung saja dia belum mandi tadi pagi, jadi masih bisa mandi dan merasa segar nanti saat tiba di rumah.
"Eh, mbak Nara? Sini, sini!" Sebuah panggilan dengan suara melengking membuat Naraya menghentikan langkahnya.
Menyebalkan! Teriak Naraya dalam hati. Gadis itu menggeram kecil sebelum membalikkan wajahnya yang kini dihiasi senyum palsu. Sudah dibilang kan kalau Naraya itu ahlinya tersenyum palsu?
"Iya, Bu?" Balas Naraya dengan sesopan mungkin, padahal aslinya dia sudah ingin mencak-mencak di tempat. Keinginannya untuk segera tiba di rumah dan langsung mandi itu sirna begitu saja karena seseorang memanggil namanya. Apalagi kalau berurusan dengan ibu-ibu di RT ini, percakapannya dipastikan tidak akan menjadi singkat!
Bu Wati–nama wanita yang memanggil Naraya–tersenyum lebar, "Kali ini giliran arisan di rumah mbak kan?"
Apa? Arisan di rumahnya? Naraya tidak dapat membayangkan rumahnya akan sekacau apa karena acara-acara seperti itu. Ugh, dia benar-benar tidak suka berkumpul bersama warga RT sini. Mengikuti arisan saja bisa dihitung jari, kenapa dia tiba-tiba menjadi tuan rumah?
Melihat Naraya yang hanya terdiam, Bu Wati kembali berbicara. "Berat ya, mbak? Tapi emang giliran di rumah mbak."
"Iya, bu. Apalagi saya sendiri. Saya juga nggak pernah bikin acara beginian karena saya hidup sendiri." Ucap Naraya dengan suara selembut mungkin. Barangkali Bu Wati akan terlena dan merasa iba lalu tidak jadi mengadakan arisan di rumahnya.
"Kalau gitu biar ibu bantuin besok pagi-pagi selesai shalat subuh. Ibu ajak ibu-ibu lain juga, deh, biar lebih seru."
Diam-diam Naraya menggigit pipi bagian dalamnya. Kini benar-benar tak ada celah untuk menolak. Apalagi mendengar nada yang semangat itu serta tatapan mata berbinar-binar yang Wati berikan tanpa sadar, semakin sulit untuk membuat Naraya menolak. Gini-gini Naraya masih punya hati untuk merasa iba dan tidak enakan.
Akhirnya Naraya pun mengangguk, "Ya udah. Besok ibu datang aja siap shalat subuh. Pintunya nggak saya kunci biar ibu langsung masuk aja."
Bu Wati tersenyum senang sambil mengelus lengan Naraya. "Kalau gitu ibu mau bilang ke ibu-ibu lain dulu, ya." Lalu pergi dan meninggalkan Naraya yang kini berwajah masam.
Hembusan nafas lelah bersatu dengan udara panas. Naraya benar-benar malas harus ikut acara-acara seperti ini, terus dia menjadi tuan rumah? Demi menghalau rasa kesal, gadis itu meyakinkan dirinya kalau ini akan menjadi yang pertama dan terakhir kali untuk rumahnya dijadikan tempat acara.
Perjalanan menuju ke rumahnya kini dilalui dengan langkah lunglai.
***
Naraya sudah sampai di depan pagar rumahnya. Gadis itu tidak langsung masuk, melainkan menatap rumahnya dari tempat dia berdiri.
Rumah ini berbentuk minimalis dengan cat berwarna putih. Ada sebuah pagar kayu berwarna senada yang Naraya tidak tahu kegunaannya apa, karena tingginya yang tak sampai sepinggang itu tidak mungkin digunakan untuk melindungi rumahnya. Apa ini hanya untuk hiasan saja?
Tangan gadis itu terulur untuk mendorong pintu pagar agar dapat masuk ke dalam rumahnya. Saat membuka pintu rumah, seekor kucing domistik berbulu putih menyambutnya.
"Poppy!" Sapanya riang sambil mengangkat dan menciumi kucing jantan berbadan gendut itu. Kucing bernama Poppy itu hanya diam, atau mungkin pasrah saja diciumi seperti itu oleh tuannya.
"Kita makan, ya? Poppy-nya mami pasti lapar." Sambil menggendong Poppy, tangan Naraya menuang makanan kering kucing itu ke sebuah mangkok khusus untuk Poppy makan. Segera Poppy meloncat dari pelukan Naraya dan melahap makanannya.
Senyuman Naraya tak dapat luntur melihat Poppy yang makan begitu lahapnya. Bagi Naraya tidak ada yang lebih berharga daripada dirinya dan Poppy di dunia ini, terutama dirinya yang hanya hidup sebatang kara. Karena hanya ada Poppy di tiap kesulitan yang Naraya alami dan hanya Poppy-lah alasan Naraya dapat melalui kesulitan-kesulitan itu. Naraya rela melakukan apa saja demi Poppy.
Puas memandangi Poppy yang lahap menyantap makanannya, Naraya menatap seisi rumah yang sepi ini.
Naraya pernah berpikir, mungkin menyewakan kamar-kamar yang tidak terpakai akan membuat suasana di rumah ini lebih hidup, tapi pikirannya itu salah. Satu diantara ketiga penyewa kamar itu mencuri barang-barangnya, yang mana itu membuat Naraya sulit mempercayakan orang yang akan menyewa kamar di rumahnya.
Walau sejujurnya rasa kesepian itu tak dapat dia usir dan hindari. Seperti saat ini.
Poppy mengeong, membuat lamunan Naraya bubar. Senyuman tulus langsung terbit di wajahnya, "Mami nggak butuh yang lain. Mami cuma butuh Poppy."