Seorang laki-laki berbaju putih tengah asik menyirami bunga anggrek miliknya, sesekali dia bersiul guna meramaikan suasana pagi itu.
Tiba-tiba saja ada seekor kucing liar yang berlari dan mengenai celana yang dia kenakan. Dia tak peduli, toh sebentar lagi dia akan mandi.
Nampak dari balik pagar bercat agak kecoklatan seorang lelaki berjalan sambil membawa kantong plastik hitam, dia melihat ke arah kebun bunga yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Bang Bumi?" panggilnya sambil berjalan mendekat.
Merasa di panggil, Bumi segera melihat ke arah empu yang memanggilnya lalu tersenyum.
"Apa?" tanya Bumi dengan mematikan selang air.
"Tumben belum mandi? Udah subuhan kan?"
"Udah, kamu habis dari mana? Beli sarapan?" tanya Bumi lalu melihat kantong hitam yang di bawa laki-laki itu.
"Oh ini? Bukan bang, ini garam tadi bang Saka bilang stok garam di dapur habis. Ntar bang Bumi ngamuk Andy juga yang kena." ucap laki-laki bernama Andy itu.
Bumi tersenyum gemas melihat tingkah adik terakhirnya itu.
"Iya deh makasih adek abang." ucapnya sambil mengelus rambut adiknya itu.
Sementara itu, di sebuah rumah bernuansa jaman 90 an tengah sibuklah seorang wanita yang sedari tadi bolak balik ke kamarnya untuk memeriksa tas sekolahnya.
"Kakak kenapa gak nyiapin dari subuh tadi sih?" risih wanita yang tengah duduk di kursi panjang dekat dapur sambil memakan sepotong roti.
"Kakak tidur dek, nyebelin banget bisa kelupaan kalo ini Senin." ujar wanita itu sambil mengikat tali sepatunya.
"Andara Bulan Septiani, padahal namanya udah bagus loh tapi kelakuannya.." ucap wanita dari dalam dapur.
"Marahin ma.." kompor wanita yang tengah duduk tadi.
"Ma, Bulan berangkat sekolah dulu yah!" ucap wanita yang memanggil dirinya Bulan itu lalu pergi.
"Kak gak sarapan?!" teriak Senja.
"Engga!!" jawab Bulan.
###
Jam menunjukkan pukul 06.30 pagi, Bumi sudah tiba dari tadi tapi enggan memasuki ruang kelasnya. Alhasil, dia duduk santai di tepi lapangan sambil mengawasi sekitar.
Beda dengan Bumi, Bulan memasuki gerbang dengan terengah-engah sambil mencari sesuatu di dalam tasnya sampai akhirnya dia melihat Bumi.
"PAK KETUA!!" teriaknya yang berhasil membuat Bumi terperangah kaget.
"Astagfirullah Bulan masih pagi ini!" kesal Bumi sambil mengelus dadanya.
"Maaf pak." senyum Bulan.
Bumi langsung berjalan pergi dia sudah terlanjur kesal.
"BUMI TUNGGU IH!!" Bulan langsung berlari mengejar Bumi.
Jam pertama sudah di mulai, para siswa memasuki ruang kelasnya masing-masing. Ada pula siswa yang tengah di hukum karena terlat, dan Bumi pula yang harus menghukum mereka.
"Bentar, kok yang cewek banyak banget yah?" tanya Langit.
"Modus tuh pengen liat Bumi." jawab Bulan.
"Sok tau jadi cewek." kesal Bumi.
"Jadi hukuman buat kalian adalah jalan jongkok 5 kali, kalo sudah bacain UUD 1945 lengkap dan jelas." perintah Bumi.
"SIAP!!" jawab para siswa itu kompak lalu melaksanakan perintah Bumi tadi.
"Gampang banget ya gak ada yang protes." ucap Bulan terkagum.
"Adik Lo tuh." ujar Langit sambil menyenggol punggung Bulan.
"Hah? Terlambat?!" Bulan mencari keberadaan adiknya di segerombolan tadi.
"Bukan di sana tapi tuh di atas, masih ngapain dia cengar-cengir kaya kerasukan." tunjuk Langit ke arah lantai 2.
"Kayaknya dia perlu di rukiah deh." kesal Bulan.
5 menit kemudian, segerombolan murid yang terlat tadi pun kembali berbaris menghadap Bumi. Langit dan Bulan terkagum karena mereka bisa teratur dan tidak mengeluh kepanasan sama sekali, padahal mereka saja ingin cepat-cepat pergi dari lapangan ke tempat yang lebih teduh.
"Kalian mau setiap hari gini ya?" tanya Bumi kesal. Pasalnya dia memang hafal muka-muka yang sering terlambat seperti mereka. Yang membuatnya heran lagi, mereka ini dominan wanita.
"Tidak kak!!" jawab mereka kompak.
"Langit, lanjutin sana." Bumi pun pergi diikuti oleh Bulan.
"Bumi Lo ada tugas kelompok sama gue jangan lupa yah." ucap Bulan mengingatkan.
"Lo udah nyiapin dokumen buat lomba sekolah nanti?" tanya Bumi.
"Masih di tangan Bintang sih, nanti gue coba tanya udah kelar apa belum." jawab Bulan.
"Terus sekarang Lo ngapain ngikutin gue?" tanya Bumi lagi.
"Lah emang Lo mau ke mana? Gue mau ke kelas emang Lo gak mau ke kelas?" tanya balik Bulan.
Pertanyaan Bulan tadi tak di gubris oleh Bumi, Bumi malah mempercepat langkahnya agar cepat sampai ke ruang kelas. Bulan hanya bisa tersenyum geli sambil berusaha mengejar dan menyamakan langkahnya dengan Bumi
###
Jam sudah menunjukkan waktu pulang, para siswa berhamburan keluar dari ruang kelas. Ada yang piket ada juga yang bermain bola di lapangan sekolah.
Sama seperti keempat sahabat yang kini tengah berkumpul di ruang kelas XI FISIKA 2. Muka mereka sangat serius sehingga siapa yang melihatnya pasti akan mengira jika mereka sedang perang dingin.
"Judulnya apa nih? Gue udah nulis banyak banget bagian dialognya gimana? Bahasanya udah bener kan?" tanya Bintang memastikan.
"Judulnya aksara atau kejora." usul Langit.
"Kalo menurut bulan?"
"Eh? Alam semesta?" jawab Bulan.
"Semesta dan kisahnya." tambah Bumi yang berada di samping Bulan.
"Bagus juga tuh, kan di sini menceritakan kita Bumi, bulan, langit dan bintang. Mereka satu kesatuan yang di sebut dengan semesta, karena ini di rancang dalam bentuk cerita berati judulnya Semesta dan kisahnya." jelas Bulan dengan bangga.
"Wah juara debat emang yang terbaik, dijelasin secara detail banget bangga gue sama Lo lan." puji Bintang.
"Bulan di lawan." jawab Bulan dengan wajah percaya dirinya.
"Apa hubungannya? Debat cuman menyampaikan pendapat bukan? Emang yang dia sampein tadi sesuai sama pemikiran gue?" tanya Bumi tak setuju.
"Pendapat gue gak usah sesuai pikiran Lo juga kan?" kesal Bulan.
"Kalo udah selesai gue mau pergi." ijin Bumi sambil membereskan buku miliknya.
"Besok tanggal 13 Agustus kan? Eh Bumi Lo ulang tahun!!" teriak Langit senang.
"Kalo iya kenapa? Gue harus jungkir balik, lari maraton, beliin kalian seblak?" tanya Bumi malas.
"Beliin kuota aja hampir habis nih paketan kuota gue menangis." jawab Langit dramatis.
"Gue pergi yah." Bumi segera pergi meninggalkan ruang kelas.
"Mau kemana dia?" tanya Bintang entah pada siapa.
"Lo nanya gue? lah gue nanya siapa?" Langit balik bertanya pada Bintang.
"Udah lah dia kan emang sibuk." jawab Bulan.
Bumi sekarang berada di depan perpustakaan umum yang tak jauh dari sekolahnya. Tak cukup lama untuk datang ke perpustakaan ini, hanya jalan sekitar 15 menit saja sudah sampai sekalian olahraga sore apa salahnya bukan?
Tak lama saat Bumi melangkahkan kakinya masuk ke perpustakaan tersebut, dia di kejutkan oleh sepasang suami istri beserta anak yang tingginya hampir sama dengannya. Bumi tahu betul siapa mereka itu, dia sangat ingin pergi saja tapi dia masih tau caranya sopan kepada orang tua.
"Bumi? Kamu sendirian? Mana Abang kamu?" tanya wanita tua yang kini sedang menggandeng sosok laki-laki yang sangat Bumi benci.
"Abang pulangnya nanti agak sorean jadi aku mau mampir ke perpustakaan sekalian nambah ilmu." jawab Bumi mencoba sopan.
"Kamu udah makan? Kok sekarang tambah kurusan? Mau mama kasih uang?" tanya wanita itu yang tak lain adalah mama kandung Bumi sendiri.
"Engga, aku udah di kasih banyak uang ma." tolak Bumi dengan nada ketus.
"Dari siapa? Ayah kamu ngutang lagi? Kamu gak takut di kejar sama rentenir?" tanyanya khawatir.
"Emang mama peduli?" Bumi menatap kedua lelaki yang kini sudah menjadi keluarga baru mamanya sekilas lalu pergi masuk ke perpustakaan.
Bumi kesal, dia sungguh sudah kehilangan niat awalnya untuk belajar. Dia hanya duduk sambil membayangkan wajah yang selama ini dia rindukan, wajah yang bahkan tak ingin dia panggil sebagai seorang mama.
Dering ponsel membuyarkan pikirannya saat ini juga, dia bahkan sekarang jadi pusat perhatian karena kebisingan nada dering ponselnya itu. Sungguh dia sangat ingin menebas orang yang berani menelponnya saat itu juga. Dia bergegas pergi ke luar agar orang di dalam perpustakaan itu tidak terganggu.
"Halo bang?" sapa Bumi.
"Abang nungguin dari tadi kok gak keluar sih? Ada rapat OSIS?"
"Otw bang." Bumi langsung memutuskan panggilan sepihak lalu bergegas kembali menuju sekolahnya.
Tak memakan waktu lama dia berhasil kembali dan menemukan mobil milik saudaranya itu. Dia segera membuka pintu mobil, ada jeda sebentar saat dia akan masuk ke mobil milik abangnya itu.
"Habis dari perpustakaan? Kan Abang bisa jemput sekalian ke sana." ucap laki-laki berkemeja putih.
Abang Bumi ini bernama Aji Saka Pratama, dia biasa di panggil bang Saka atau mas Saka. Saka ini anak fakultas hukum, tahun ini dia menjalani S2 dan berharap akan berhasil menjadi Jaksa sejati.
"Jangan, berat bang gak baik." jawab Bumi.
"Apanya yang berat hem? Masa jemput adik sendiri berat." Bumi tak menghiraukan perkataan abangnya itu, sekarang mood dia sudah benar-benar hancur. Dia tak ingin bicara banyak dulu.
Menyadari sikap adiknya, Saka segera menepikan mobilnya menuju warung makan. Bumi hanya melihat abangnya sekilas, ia enggan untuk bertanya toh dia sudah tau tujuan mereka datang ke tempat ini.
"Abang mau beli nasi goreng dulu yah, kamu mau beda?" tanya Saka memastikan.
"Samain aja bang gak pake wortel sama timun." jawab Bumi.
"Ntar Abang beliin Cimory deh." Saka langsung turun dari mobilnya dan berjalan menuju warung makan tersebut.
Kenapa dia sendiri yang pergi? Saka tau jika adiknya sedang dalam mood yang buruk, jadi dia tak mau memperburuk lagi. Bumi itu tipe yang tidak suka makanan buatan orang lain selain buatan dia sendiri atau mamanya. Lalu bagaimana keluarga mereka makan? Jika bukan bumi tidak masak maka mereka akan beli ke penjual yang lewat di sekitar rumahnya.
Semenjak ditinggal oleh mamanya, Saka sangat memperhatikan pola makan adik adiknya terutama ayahnya yang super sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai kakak tertua dia tak mau jika adiknya terus berlarut dalam kesedihan demi melepas sang ibu bersama laki-laki sialan itu.
Toh sekarang mereka sudah jauh lebih baik dari sebelumnya lagi. Mereka tidak akan mengharapkan kedatangan sang ibu kembali ke kehidupan mereka. Terkadang Saka kasian kepada ayahnya, dia rela kerja keras banting tulang untuk menghidupi kelima adiknya termasuk dia sendiri.
Mereka sudah banyak melewati masa sulit bersama, saat ayahnya di lilit utang mereka berjuang berhemat pengeluaran agar hutangnya cepat lunas. Mereka bahkan rela setiap hari hanya makan tempe atau telur dadar, itu suatu kesenangan tersendiri karena yang memasaknya adalah Bumi.
Tapi setelah ayahnya di terima kerja di perusahaan milik sahabatnya, kehidupan mereka perlahan berubah.
Mereka bisa merasakan makan enak lagi, uang saku banyak dan memiliki kendaraan sendiri. Tapi mereka tidak akan meninggalkan rumah mereka terdahulu, alasannya karena banyak kenangan di sana.
Jangan tanyakan apakah biaya Saka kuliah hasil jerih payah ayahnya. Dia bahkan enggan di beri uang oleh ayahnya, 1 tahun yang lalu dia mendirikan sebuah cafenya bersama sahabatnya. Tak berselang lama ternyata cafenya sukses besar, jadi Saka bisa mencukupi biaya kuliahnya dari pendapatan cafe tersebut.
###
Jam menunjukkan pukul 5 sore yang berati rumah keluarga Jayadi telah di penuhi oleh kebisingan anak-anaknya. Saka sudah tiba 5 menit yang lalu, dia sekarang sedang mempersiapkan makan malam bersama dengan Bumi.
"Abang nasi goreng yah?" tanya Andy adiknya yang paling kecil.
"Iya, mau bantuin abang ambil piring?" tanya Saka dengan senyuman.
"Laksanakan!!" Andy langsung melesat menuju rak piring dan mengambilnya lalu di berikan ke Saka. Sementara Bumi, dia sedang menyeduh teh untuk kepulangan ayahnya nanti.
"JENDRAL GAWAT!!" Teriak seseorang dari lantai dua, Saka mengenali suara itu. Iya dia adalah Devan, jika ada masalah di fakultas dia maka Devan akan mengadu kepada Jendral yang tak lain adalah adiknya.
"Apaan sih bang?" jawab Jendral sambil main PS.
"Ini masa Yuta ngambil Amel dari gue?" kesal Devan sambil menunjukkan foto seorang perempuan yang sedang makan bakso.
"Makannya jangan pake kode mulu, kan di pelet sama orang mampus." ejek Jendral.
"Bukannya Amel udah nolak kamu Van? Masih di kejar aja." tanya Saka.
"Bang Devan sadboy gak asik." kali ini Andy ikut mengejek abangnya itu.
"Lupain bang percintaannya gak sehat." timpal Bumi sambil mencuci gelas putih besar milik ayahnya.
"Kayaknya cuman mba Sipa yang tau tentang hati dan perasaan aku deh." adu Devan dramatis.
"Ngadu terus ke mba Sipa! Jangan buat beban pikiran mba Sipa bang." nasehat Jendral.
Asyifa Putri Diningrat, itu adalah nama anak ke dua dari keluarga Jayadi. Syifa atau mba Syifa ini sekarang berada di Surabaya guna mencari uang untuk menafkahi keluarganya. Dulu Saka menentang jika adiknya itu pergi jauh dari rumah, tapi Sifatnya yang begitu keras kepala akhirnya Saka mengijinkannya dan alhasil dia yang harus mengurus adiknya di sini.
Ayahnya juga menentang keras jika Syifa harus putus S1 demi bekerja, tapi Syifa meyakinkan jika dia tak butuh pendidikan tinggi untuk membahagiakan keluarga kecilnya itu. Menurut dia setinggi apa pun pendidikan perempuan akhirnya akan kembali ke dapur juga beda cerita dengan laki-laki, perempuan di takdirkan untuk di nafkahi bukan menafkahi.
"Ayah kapan pulang?" tanya Bumi.
"Mungkin habis maghrib kamu mandi dulu sana bau." ejek Jendral dengan cengiran.
Bumi langsung berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Jendral merasa ada yang aneh dengan adiknya langsung menghampiri Saka.
"Bumi kenapa bang?" tanya Jendral.
"Nanti kita tanya sendiri yah, dia kayaknya kesel sama orang." jawab Saka.
"Assalamualaikum..." terdengar salam dari ruang tamu, Andy yang dari tadi main PS segera berlari menuju ruang tamu begitupun yang lainnya terkecuali Bumi.
"Waalaikumsalam.." jawab mereka bersamaan lalu mencium tangan ayahnya secara bergantian.
"Bumi mana?" tanya Jayadi melihat sekeliling.
"Masih mandi yah, sini aku bawain tas ayah."
"Sini yah aku gantung jasnya."
"Mobil mau di masukkin ke garasi kan yah sini kuncinya biar aku aja."
Saka terharu melihat ketiga adiknya itu, begitupun dengan Jayadi. Mereka tersenyum bahagia, Andy dan Jendral meletakkan jas dan tas ayahnya ke kamar lalu Devan yang memarkirkan mobil ayahnya ke garasi. Saka mengajak ayahnya untuk duduk karena sebentar lagi jam makan malam.
"Ini tadi bumi buat teh tarik, katanya biar ayah seger pulang kerja." ucap Saka sambil membawakan teh tarik buatan Bumi. Ayahnya tersenyum bahagia lalu menyeruput teh buatan anaknya itu.
Walaupun bisa dibilang keluarga yang berkecukupan, tapi keluarga Jayadi tak suka hal yang berbau mewah. Mereka sudah cukup lama hidup dalam kesederhanaan, mereka juga tidak suka buang uang hanya untuk hal yang tidak penting.
5 menit kemudian, semua anak-anak Jayadi sudah duduk di kursi masing-masing. Mereka mulai acara makan malam dengan khitmat dan tak lupa ocehan dari sang bontot.
"Terus bang Jendral makan semuanya kan aku marah yah." adu Andy pada Jayadi karena Jendral telah memakan es krimnya sampai habis.
"Gak baik makan es krim terlalu banyak nanti ompong gak ganteng lagi." ledek Jendral.
"Itu belum aku makan padahal." Andy melihat Jendral dengan tatapan sinisnya.
"Bumi hari ini ngapain?" tanya Jayadi.
"Uhuk!!" Bumi tersedak saat namanya tiba-tiba di panggil, dia segera minum air putih.
"Kamu ngelamun ya?" tanya Jayadi lagi.
"Engga yah, aku hari ini kerja kelompok sama belajar gak ada yang spesial." jawab Bumi lalu tersenyum.
"Heum..." Jayadi mengelus rambut bumi dengan penuh kasih sayang.
"Oh iya ayah lupa, mba Sipa nanti lusa pulang." ucapan ayahnya berhasil membuat semua orang tersedak berjamaah kecuali Bumi.
"YEYYY PULANG!!!" bahagia Devan
"Dih! ntar cerita tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan." sindir Jendral.
"Terserah dong kan mba Sipa juga gak papa." jawab Devan tak suka.
Saka dari tadi terus memandangi Bumi, biasanya dia suka pertengkaran saudaranya itu. Tapi sekarang dia cuman diam saja, ada apa dengan adiknya itu.
Saat ini suasana mulai hening, entah kenapa tapi mereka melanjutkan makan dengan keheningan. Bumi benci itu, dia melirik keluarganya sebentar lalu memberanikan diri untuk bicara.
"Aku ketemu mama sama keluarga barunya."
"Mereka kelihatan bahagia..."
12 Agustus 2018
Bersambung...