Chereads / BELOVED HUSBAND / Chapter 5 - Si Penguntit Tampan

Chapter 5 - Si Penguntit Tampan

Arsha mengemudikan sepeda motornya sebaik mungkin untuk menuju tempat ia mengajar. Tepat ketika di lampu merah, perempuan itu menyempatkan diri terlebih dahulu untuk melihat wajahnya dari pantulan kaca spion. Ia tersenyum kecil tanpa orang lain tahu, toh memang wajahnya tertutupi oleh helm.

Tak sengaja, Arsha melihat sebuah mobil yang sudah tidak asing lagi di matanya. Mobil itu berada tepat di belakang sepeda motornya.

Namun, detik selanjutnya Arsha hanya bisa menggelengkan kepala. Jakarta adalah kota besar, dan tak sedikit pula penduduknya memiliki mobil, bahkan mobil dengan model seperti itu sudah digunakan oleh banyak orang Jakarta.

Lampu pun kembali hijau, itu artinya, para pengendara di jalur tertentu sudah diperbolehkan kembali melanjutkan perjalanan.

Beberapa saat sebelum akhirnya Arsha memasuki area sekolah, perempuan itu kembali melihat ke arah spionnya yang kembali terlihat mobil tadi. Ketika ia mencoba melambatkan kecepatan motor, mobil itu pun melakukan hal yang sama membuat Arsha heran sendiri melihatnya.

Tak ingin membuat kepalanya sakit di pagi hari, Arsha pun memilih masa bodoh dan segera memasuki area sekolah yang telah menunggunya.

Sambutan hangat dari penghuni sekolah menyambut kedatangan Arsha yang kini akan kembali mengajar. Tak jarang pula para murid mengungkapkan rasa rindunya pada guru tercintanya itu. Arsha memang dikenal sebagai guru yang paling dekat dengan para siswa.

***

"Telat lima belas menit." Andra yang baru saja memegang handle pintu ruang kerjanya mendadak terdiam mendengar ucapan sang asisten.

Barry pun mengalihkan tatapannya dari layar laptop pada pria yang berdiri menjulang tinggi di depannya itu. Tampak Andra mengangkat salah satu alisnya dengan maksud bertanya "kenapa?" pada sang asisten.

"Hanya mengingatkan, tidak biasanya Anda seperti ini," ujar Barry dengan nada formalnya.

"Tidak ada yang bisa memecatku," celetuk Andra yang setelahnya pria itu kembali melanjutkan niatnya untuk memasuki ruang kerja seperti biasa.

Barry hanya bisa menggeleng pasrah, hal yang perlu ia lakukan saat ini adalah kembali bekerja, bukan mengurusi sang bos yang memang cukup keras kepala untuk mengakui kesalahannya. Yang terpenting, ia telah tahu apa yang dilakukan oleh Andra sampai telat tiba.

Pria itu mengikuti Arsha.

***

Semakin hari, kedua insan itu terlihat semakin dekat. Entah dalam hal apapun, keduanya tak lupa untuk saling mengabari. 3 bulan memang waktu yang cukup lama antara keduanya, Arsha yang perlahan bisa menerima teman lawan jenisnya, begitu pula dengan Andra. Keduanya memang hanya sebatas teman, namun tingkahnya, membuat semua orang tahu jika keduanya memiliki hubungan.

Seperti saat ini, Andra baru saja selesai mengantar Arsha membeli beberapa barang yang perempuan itu perlukan. Andra yang memang sedang mendapat waktu luang tentu saja menawarkan diri untuk menjadi temannya. Arsha menerima saat itu juga.

"Apakah tidak ada hal lain yang kamu perlukan?" tanya Andra pada Arsha yang kembali memasuki mobil dengannya.

Arsha tampak berpikir sebentar, ia hanya ingin memastikan jika semua yang ia beli sudahlah cukup dan tidak ada yang tertinggal satu pun.

"Kurasa tidak ada, mungkin jika ada, aku akan membelinya esok hari setelah pulang mengajar," jawab Arsha membuat Andra mengangguk paham dan segera melajukan kendaraan roda empatnya.

***

"Orang seperti kita sudah seharusnya pintar sadar diri. Lihatlah Andra, pria itu terlalu tinggi untuk Arsha. Meskipun Arsha seorang guru, namun guru pun ia belum memiliki nama tinggi. Lagi pula, toh lebih sakit hati mendengar ucapan seperti ini dari pihak Andra daripada pihak Arsha sendiri." Drisana hanya mampu diam mendengarkan perkataan wanita di sampingnya.

Sudah sejak dua bulan terakhir ini ia selalu mendapat omongan seperti ini dari tetangga. Entah itu yang dekat atau pun yang jauh.

Drisana mencoba menguatkan hatinya sebisa mungkin, mempercepat gerakan memilih barang belanjaannya dan segera membayarnya agar bisa cepat pulang. Sungguh, ia benar-benar bosan mendengar perkataan seperti itu secara terus menerus.

Tepat ketika Drisana baru saja tiba setelah berbelanja beberapa barang dari toko tempat biasa ia membeli sesuatu, Arsha pun baru saja tiba dengan diantar oleh Andra. Sayangnya, pria itu hanya mengantarkan sampai gerbang saja dengan alasan ada urusan lain.

"Apa yang ibu beli?" tanya Arsha lantas ikut menyusul sang ibu yang kini mulai duduk di kursi ruang tamunya.

"Biasa, persediaan kopi ayahmu telah habis," jawab Drisana dengan senyum simpul yang menyertai.

Arsha pun ber'oh ria, perempuan itu pun memilih untuk membuka barang belanjaannya saja yang memang sebagian adalah hasil pemberian dari Andra. Toh pria itu sendiri yang memaksanya agar menerima barang-barang atau pun makanan itu, ia sama sekali tidak memintanya.

"Apakah kamu memiliki jalan keluar tentang hidup kita?" tanya Drisana pada sang anak yang tampak gembira menjelaskan barang apa saja yang diberikan oleh Andra padanya.

Gerakan tangan Arsha yang tengah sibuk mengeluarkan barang-barang itu mendadak terhenti, kedua matanya pun teralihkan pada sang ibu yang duduk di sampingnya.

"Maksud ibu apa?"

Arsha benar-benar tak paham tentang apa yang ditanyakan oleh sang ibu.

Sebelum menjawab pertanyaan sang anak, Drisana memilih memasukkan kembali barang-barang yang katanya hasil pemberian dari Andra. Wanita itu pun menatap tepat di kedua manik mata indah milik anaknya. Hal itu benar-benar membuat Arsha terdiam dengan hati tak sabar menunggu penjelasan dari sang ibu.

"Ibu hanya tidak ingin anak ibu sakit hati oleh perkataan orang-orang tinggi, ibu hanya tidak ingin keluarga ibu, yang telah puluhan tahun ibu jaga harus merasakan kesedihan karena perbandingan yang cukup jauh. Hanya itu keinginan ibu. Ibu hanya meminta solusi jalan keluar darimu, darimu yang sedang menjalani peran utama di kehidupan ini," ujar Drisana yang berhasil membuat Arsha tidak memiliki niat untuk membuka suara.

Ia tahu, sangat tahu dengan maksud perkataan sang ibu. Ia tidak tuli dengan berbagai macam cemooh dari orang luar sana yang sudah mengetahui kedekatannya dengan Andra. Namun, kedekatan itu terjadi bukan hanya karena dirinya saja, namun murni karena Andra juga. Pria itu selalu berusaha untuk ada di saat ia membutuhkan.

"Maaf, maaf kalau kelakuanku selalu membuat ibu tak nyaman. Aku janji Bu, cobaan ini akan aku lalui, dan akan aku temukan jalan keluarnya. Sekarang, ibu hanya perlu istirahat dengan baik dan tutup telinga rapat-rapat agar tidak bisa mendengar perkataan tidak baik di luar sana. Maafkan anakmu ini," ucap Arsha dengan kedua tangan terulur untuk menggenggam telapak tangan sang ibu.

Drisana tersenyum kecil, ia merasa berhasil mendidik Arsha sampai seperti ini, ia benar-benar bangga pada anaknya yang memang tidak egois.

Keduanya pun bergegas merapikan meja yang tampak berantakan karena digunakan untuk menampung barang belanjaan yang telah keduanya beli. Setelah memastikan jika meja itu benar-benar rapi, Arsha pun memilih untuk segera istirahat ke dalam kamarnya.

Di dalam kamar, tentu saja Arsha tidak bisa langsung istirahat. Pikirannya sangat berkecamuk, ia benar-benar bingung sekarang.

"Menjauh?"

***