'Tin'
Hilmi terus mengklakson di depan rumah. Menunggu keluarga lekas memasuki mobil. Dina memeriksa pekarangan rumah.
"Ada apa?" tanya Dina.
"Biar aku anter. Masuk!" titah Hilmi.
"Kita bisa kok naik bis. Kamu gak perlu antar," jawab Dina dengan penuh gengsi.
"Din ayo masuk!" Nadia melambaikan tangan ke arah adiknya. Ia dan Cindy sudah lebih dulu berada di dalam mobil.
"Mah, Rayan naik bis aja," ujar Rayan.
Dina memaksa Rayan. Ia mengatakan, "Rayan, masuk!"
Rayan hanya bisa menurut. Ia duduk di jok paling belakang. Sesampainya mereka di Bandung, Rayan mengutarakan keinginannya kepada Dina.
"Mah, Rayan boleh gak minta sesuatu?" tanyanya pelan.
"Boleh dong, apa?"
"Motor," jawab Rayan. Ia sangat berharap kepada Dina. Dina mengingat kejadian yang membuatnya khawatir. Dina langsung menyetujui keinginan Rayan.
"Pah, uang motor Rayan mana?" tanya Dina pada suaminya. Dina menagih hasil dari penjualan motor Rayan tempo lalu. Uang itu akan Dina gunakan untuk dibelikan motor.
Hilmi menggaruk kepala. Ia mengatakan, "Buat apa emang uangnya?"
"Rayan mau motornya kembali, Pah," jelas Dina.
Hilmi langsung mendekati Rayan. Ia bertanya, "Kamu mau motor kamu balik?"
Rayan mengangguk. Dina gegas mengekori Hilmi. Khawatir jika anak dan suaminya itu akan bertengkar lagi.
"Besok juga bisa, asal, kalo sampai bolos sekolah dan nakal lagi, langsung Papah tarik ya motor kamu," ujar Hilmi.
Dina bisa bernapas lega. Sebab, suaminya itu, mulai bisa memahami keinginan Rayan. Namun, Hilmi juga mengancam akan menyita motor Rayan jika Rayan melakukan hal yang akan merugikan dirinya.
"Kamu masih marah?" Nindia mengirimi Farhan pesan.
Nindia tidak mengerti apa pemicu utama dari kemarahan Farhan. Padahal, hubungan mereka baru saja terjalin.
"Duh, aku gak bisa ke tempat kamu. Hari ini, aku lagi jagain Nenekku yang lagi sakit," beber Amel.
"Yah, padahal aku kangen banget loh, sebentar aja," rayu kekasih Amel.
Amel juga merasakan kerinduan. Ia setuju untuk bertemu Nico-- kekasihnya. Amel berpikir tidak ada hal yang buruk jika meninggalkan neneknya sementara waktu.
"Jangan bolos?" batin Rayan. Padahal, Rayan telah merencanakan untuk bolos.
"Buka buku paket halaman 19 ya," titah Buk Gina.
Rayan tidak memiliki buku paket. Ia melihat ke buku milik Ayarra. Ayarra menutup setengah buku agar Rayan tidak bisa membacanya.
"Ih gue liat," bisik Rayan.
"Enggak mau," kesal Ayarra.
Buk Gina yang menyadari jika Rayan tidak memiliki buku berkata, "Rayan, kamu belum ada buku? Cari di perpustakaan ya."
"Iya Buk," kata Rayan.
Nindi mencari Farhan yang mendadak pergi ketika seorang guru masih mengajar.
"Biar Nindi cari, Buk."
"Kamu kenapa sih?" tanya Nindi yang menemukan Farhan sedang duduk di gudang sekolah.
"Kenapa ngikutin gue?" tanya Farhan.
"Aku khawatir, aku peduli," jawab Nindia.
Rania tetap nekat. Ia sudah diberitahu oleh Andri dan Bobi jika Rayan adalah pria yang ketus. Namun, Rania mengajak Rayan berbincang.
"Kamu Rayan kan. Anak baru?" tanya Rania.
Rayan malah pergi meninggalkan wanita yang mengulurkan tangan dan berniat untuk mengajaknya berkenalan.
"Ih, keterlaluan deh. Masa cewek secantik aku di cuekin?" batin Rania.
"Semoga aja, Rayan gak nakal lagi ya Din," harap Nadia.
"Kayanya sih enggak Kak, kan kan udah janji sama Hilmi," jawab Dina.
"Oh iya, mau beli motor tea ya," ujar Nadia sembari memotong sayuran.
"Rayan, dipanggil ke ruang guru tuh!" ungkap Karina.
Rayan diberi lembaran kertas. Ia harus mengisi beberapa jawaban. Bobi merengut kertas milik Rayan. Bobi membacanya.
"Pemilihan Ekstrakurikuler."
"Mendingan ikut basket aja!" saran Bobi.
Rayan merebut kembali kertas itu dari Bobi. Rayan lekas mengisi lembar Pemilihan Ekstrakurikuler. Ia memilih basket sebagai
ekstrakurikulernya.
"Sayang?"
Lagi-lagi, suara wanita terdengar dari ponsel Hilmi. Namun, sekarang keadaannya terbalik. Sekarang, sang penerima telepon adalah Dina. Hilmi yang sedang berada di dalam kamar mandi, tergesa untuk merebut paksa ponselnya dari genggaman Dina.
"Ini siapa? Salah sambung ya?"
Hilmi langsung menutup telepon genggamnya. Ia bilang kepada istrinya, "Telepon orang iseng. Aku sering dapat telepon gak penting."
"Nenek!" panggil Dinda.
Dinda kebingungan. Ia tidak mengerti mengapa Amel, meninggalkan neneknya seorang diri. Beruntung, Dinda menemukan neneknya yang hampir terjatuh.
"Kakak dimana sih?" tanya Amel melalui pesan. Amel juga mencoba menelepon kakaknya. Namun, tidak tersambung.
"Kamu wangi deh sayang," puji Nico.
"Mana ada sih wangi, aku belum mandi tau dari kemarin," jawab Amel.
Dengan tatapan nakal, Nico berkata, "Mandi bareng yuk!"
Amel tersenyum genit. Ia berjalan menuju arah kamar mandi. Nico membuntutinya. Nico juga langsung menutup pintu kamar mandi.
Untuk sejenak, Dina membeku. Ia berpikir apakah suami yang selama ini dia percayai, memiliki wanita idaman lain? Jika memang itu adalah sebuah kebetulan, mengapa itu begitu sering terjadi.
"Sungguh, itu hanya nomor iseng," ujar Hilmi terus menyakinkan Dina.
"Aku percaya kamu kok." Dina memilih untuk mempercayai Hilmi sekarang. Ia tidak ingin mencari kegaduhan. Terutama, ia sedang berada di rumah kakaknya.
"Si Rayan ikutan ekskul basket loh. Ih, pasti keren banget," gunjing para siswi di kantin.
"Wah, jadi pengen pindah ekskul deh," tutur salah satu dari murid perempuan.
"Gawat!"
Amel menepuk kening. Ia lupa waktu. Amel mengangkat panggilan dari Dinda.
"Kakak, dari mana sih? Tad---"
Amel segera mematikkan ponselnya. Ia meminta Nico untuk mengantarnya ke rumah sakit.
"Tadi, Nenek hampir jatoh, sepenting apa sih urusan Kakak sampai lupa ngasih Dinda kabar?" tanya Dinda ketika Amel baru kembali dari kediaman Nico.
"Ya, pokoknya penting," jawab Amel.
"Pokoknya, jangan laporin hal ini sama Mamah atau Papah!" larang Amel kepada Dinda. Dinda hanya mengangguk.
Dinda sebenarnya mengetahui bahwa kakaknya sedang berpacaran. Terlihat dari jendela kamar pasien, Amel kembali dengan seorang pria.
"Hallo, Mah?"
Amel mengangkat panggilan telepon dari Dina. Dina ingin mengetahui tentang kondisi dari mertuanya.
"Nenek baik-baik aja, Kok."
"Sekarang, waktunya Dinda yang jaga ya,"
"Iya Mah, Mamah ampe kapan sih ada di sana?" keluh Amel.
Bukan rindu yang Amel rasakan. Namun, dia ingin kebebasan. Amel merasa sangat lelah harus terus menjaga neneknya di rumah sakit.
"Doain aja secepatnya. Kayanya, setelah motor baru Rayan datang."
"Ih, masih kangen," tulis Amel melalui pesan singkat.
"Aku juga. Kapan dong kamu ada waktu lagi?" tanya Nico.
"Nanti malem juga bisa kok."
Amel sudah tidak sabar untuk bertemu lagi dengan Nico. Kini, giliran Dinda yang menjaga neneknya. Amel kembali ke rumah.
"Dih, ngapain sih ini cewek ngikutin gue mulu."
Farhan merasa risih ketika Nindia terus mengikutinya. Farhan memang tidak sepenuhnya mencintai Nindia dengan tulus. Ia hanya ingin menunjukkan kepada Rayan bahwa dia bisa merenggut apa yang Rayan milikki.
"Gak usah ngikutin gue!" larang Farhan.
"Tapi kan, biasanya, aku dianterin pulang sama kamu," jawab Nindia.